Mencabut Benih Korupsi

Wujud negara baldatun toyibatun warobbun ghofur laiknya susah diwujudkan lantaran polah pemimpin bangsa ini semakin tak karuan. Mana mau rakyatnya ikut-ikutan berpolah seperti munyuk yang rakus makan pisang, kelak jadi negara apa tanah air ini? Korupsi dimana-mana terjadi, tak pandang pejabat tinggi, kepala dinas, bahkan kepala desa sekalipun.  Seakan wabah ini tak pandang siapa orangnya, berapa jumlah harta kekayaannya, dan seberapa tinggi tingkat pendidikannya. Nyatanya orang – orang berpendidikanlah yang kebanyakan tersangkut kasus korupsi seperti rektor di salah satu perguruan tinggi. Rektor sekalipun yang memiliki jabatan penting dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi malah ikut tersangkut dalam kasus ini. Sebagai tempat mencari ilmu mahasiswa, sudah ternodai oleh tingkah kebinatangan seorang pimpinan. Lantas mau dibawa kemana pendidikan kita ini?

Susah sekiranya mengantisipasi terjangan tindak pidana korupsi. Berbagai macam cara yang dilakukan memang sudah disosialisasikan oleh Lembaga Anti Korupsi  baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya guna mengantisipasi adanya kasus tipikor. Namun, sosialisasi saja dirasa kurang, perlu adanya roadmap yang tepat agar nilai – nilai anti korupsi tertanam di setiap diri manusia. Peran pendidikan disini mutlak diajarkan,  pendidikan yang mengandung nilai – nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, integritas, dan lainnya. Beberapa nilai ini memang tidak diajarkan kepada siswa  di sekolah, melainkan harus ada tindakan tepat dan nyata. Selain di sekolah, peran keluarga khususnya kedua orangtua wajib memberikan penguatan akan nilai – nilai tersebut. Penguatan dan pengawasan terhadap anak menjadi penting demi perkembangan nantinya.

Dukungan antara keluarga dan pihak sekolah sebenarnya sudah bisa membentuk sifat anak yang anti korupsi. Keduanya saling terpadu dalam hal pengawasan baik di lingkungan keluarga dan sekolah. Akan berbahaya saat anak atau seseorang dihadapkan pada sistem yang korup, akan ada dua cerita yang berbeda. Satu sisi membentengi dirinya untuk tidak ikut terlibat dengan cara keluar dari sistem (resign). Kedua, ia ikut terhanyut dalam sistem dan menjadi tersangka kasus tipikor sekalipunia memilki integritas. Masihkah ada peluang dimana anak – anak penerus bangsa hinggap di sistem yang bersih? Ataukah mereka ditugaskan untuk membersihkan sistem korup ini? Tak mudah kiranya menjawab tantangan dilematis hanya karena ulah ketamakan oknum pemimpin negeri.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2013 menyodorkan sejumlah kasus selama satu dasawarsa, berhasil merugikan keuangan negera sebesar RP 619 miliar. Sungguh miris melihat kasus terbesar ini berada di sektor pendidikan. Pendidikan sebagai pemenuh hak, meningkatkan kesejahteraan warga negara, dan pencetak jiwa anti korup telah lumpuh akibat ganasnya kasus korupsi. Perlu adanya revolusi pendidikan yang rapat-rapat tanpa celah bagi korupsi. Jangan sampaiterulang kembali dimana pendidikan sebagai senjata utama memberantas korupsi malah ternodai akan tindakannya sendiri. Mengingat 20% dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk pendidikan malah menjadi ladang basah bagi oknum tertentu. Anggaran yang seharusnya diberikan kepada siswa – siswi tidak mampu, merelokasi fasilitas sekolah, beasiswa, dan lainnya ludes tak bersisa. Kekecewaan pasti dirasakan, namun hati masyarakat kecil seakan bergejolak, berontak mengharapkan hak pendidikan mereka dikembalikan. Hak yang telah dirampas oleh oknum seakan tidak pernah bisa dimaafkan. Ibarat hutang nyawa dibayar nyawa, maka hukuman seberat-beratnya sangat pantas bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Oleh Farrizka Annafi

 

1 Komentar

Tinggalkan Balasan ke bung Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *