Cerita di Balik Kota Tua

Sumber foto: travelingyuk.com

Oleh Akbar Farhatani

Tidak seperti biasa, Stasiun Manggarai kali ini penuh sesak. Aku memanggul satu tabung gambar yang entah telah berapa kali hampir remuk di pundak kanan. Setelah tap-in, aku menaiki tangga di tengah ratusan atau bahkan ribuan manusia. Kali ini tabungku aku angkat tinggi-tinggi.

Aku terduduk di peron, seraya menikmati pemandangan yang begitu indah di Senin pagi yang cerah. Orang-orang berjubel keluar masuk kereta listrik. Semuanya dengan raut muka yang sama: kantuk dan rasa muak yang tertahan. Mereka memaksa diri untuk naik di kereta yang sudah penuh. Dengan dorongan, bahkan caci maki.

Keretaku datang. Dan seperti dugaanku, kereta ke Bogor selalu kosong di pagi hari. Dengan ini aku bebas untuk memilih tempat duduk, tanpa harus berdesak-desakan.

Aku duduk santai di pinggir pintu. Mataku rasanya tidak dapat lagi menahan kantuk. Tapi akan aku ceritakan, mengapa aku menuju Bogor di pagi yang padat ini:

Tiga hari yang lalu, aku, Utomo, dan Kohler pergi ke Kota Tua untuk menggambar perspektif, seperti yang biasa siswa Arsitektur lakukan. Aku berada tepat di depan Fatahillah. Utomo ada di samping kiri, dan Kohler ada di samping kanannya.

Tanpa aku ketahui, Kohler secara diam-diam pergi makan di siang yang terik itu. Di bawah pohon rindang sambil memegang sepiring nasi dan mengenyot es cendol. Utomo, juga secara diam-diam pindah ke Stasiun Kota karena perspektifnya telah lama selesai. Aku dengan teguh menyelesaikan gambarku dengan naungan topi pemberian mama lima tahun lalu.

Disela-sela istirahatku setelah menggambar, seorang pria paruh baya menepuk pundakku dari belakang. Pria itu berpakaian plesir dengan kacamata tebal dan kumis seperti orang Madura.

Nugas, mas?” Tanya bapak itu.

“Eh, iya, pak. Maklum mau deadline, hehe,”

“Haryoto, IAI,” sang bapak mengulurkan tangan. Aku kaget setengah mati, bapak ini dari IAI rupanya. Aku raih tangannya lalu ia kembali berkata, “Nanti mas, hasilnya kalau karya kita dimanfaatkan masyarakat, kita akan puas.”

“Wah, iya, pak. Saya juga maunya begitu, punya karya yang bermanfaat, enggak asal bagus,”

“Bagus kalau begitu. Oh ya, kebetulan, minggu depan ada sayembara gambar fasum (fasilitas umum-red, berupa taman. Kamu mau ikut?”

“Di mana, pak?”

“Di sini kok, cuma nanti harus ke Bogor dulu buat pameran. Nah, kalau mau, ini ada kartu nama saya. Di sana ada nomor Whatsapp dan situs IAI. Kamu cek saja. Saya juri di sana. Sampai bertemu.” Bapak itu menepuk pundakku lalu pergi entah ke mana.

Singkat cerita, aku, Utomo dan si perut karet Kohler mulai menyusun rencana untuk sayembara ini. Kami berdiskusi hingga larut malam hanya untuk memastikan fasum yang kami gambar tidak asal jadi.

Setelah dua hari, kami mulai untuk membagi rencana. Aku sebagai ketua kelompok harus mengikuti aanwijzing sayembara, terus update soal lomba dan mulai menggambar. Utomo harus pulang-pergi dari bangunan yang direncanakan, sementara Kohler dengan chocolate ball-nya duduk di depan komputer untuk mengonversi gambar di CAD.

Hasilnya, kami lolos tahap satu.

Pak Haryoto mungkin punya andil soal ini. Tapi aku tidak begitu percaya dan fokus pada pembuatan maket, pameran, dan pemilihan atau voting.

“Eh, ini komputer gue install ulang saja, ya,” ucap Kohler.

“Lah ngapain?” Utomo kali ini yang menjawab.

Gue bosan cuy, ini komputer nge-lag banget,”

Back-up dulu film gue,” aku menambahkan.

“Siap bosku.”

Tidak diduga, maket yang kami buat bisa berhasil di luar dugaan. Lebih cepat tentunya. Tapi, komputer Utomo yang di-install ulang oleh Kohler berujung masalah: gambar CAD yang telah setengah mati dikerjakan, lupa untuk di-back-up. Padahal, Pak Hartoyo meminta ulang file tersebut karena file yang dikirim melalui email corrupt.

Dengan sisa satu hari kami membagi-bagi tugas. Kohler tetap pada komputer Utomo, tetapi tanpa chocolate ball-nya karena telah dibuang oleh Utomo. Utomo sendiri bekerja keras dengan laptopnya, begitupun aku dengan laptopku.

Pekerjaan Kohler selesai jam tiga pagi. Utomo selesai satu jam setelahnya. Setelah subuh, gambarku baru selesai. Kami bertiga tidur dengan pulas.

=====

“Bangun, bangun!” Suara khas Kohler membangunkanku.

“Eh? Ya Allah,” ucapku seraya menggaruk-garuk kepala.

“Ayo buruan mandi! Lu enggak tau tugas Pak Gentar dikumpulin besok?”

Buruan! Nanti Kota Tua keburu panas, males ah!,” sambung Utomo. “Karena lu telat, lu gambar tampak depan Fatahillah! Titik!”

Selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *