Barisan Kehampaan

Oleh Ithak

“Aku tidak ingin mengalami kehilangan. Seandainya aku harus mengalami kehilangan, cukup kalian bertiga saja. Kurasa mengalami tiga kehilangan saja sudah cukup.”

Kau seperti kehabisan kata-kata kepada setiap orang yang kau jumpai akhir-akhir ini. “Banyak merenung,” itu yang orang bilang tentangmu. Kau menjadi sangat tidak bersahabat dengan semua manusia disekitarmu, tidak menyenangkan lagi, dan bersikap dingin. Mungkin lebih tepatnya penulis menyebut acuh. Kau menjadi acuh terhadap segala jenis manusia lain disekitarmu.

Hari ini kau berencana menemui dosen pembimbing untuk mengajukan percepatan masa studi. Sebab kau sudah tak tahan pada manusia yang menyebut diri sebagai ‘kawan’ yang selalu minta tolong dan meminta penjelasan. Kau sungguh muak dan berpikir bahwa manusia benar-benar merepotkan, dan menjijikan. Bagaimana bisa mereka berpaling pada orang yang memberi mereka keuntungan, sementara dihari lain lantas menghina. Mereka mengabdi dalam sekejap. Apalagi bicara soal cinta di kalangan manusia. Kau merasa begitu jijik hingga tidak ada sepatah kata pun yang ingin kau katakan. Di siang hari kau membenci dirimu sendiri yang juga manusia.

Dosen pembimbing menyetujui percepatan studimu, dan kau yang selalu serius segera menyelesaikan urusan ‘konyol’ tentang kertas dan angka itu. Lalu Kau teringat seseorang pernah berkata bahwa hidup itu hanya mengejar dua hal kalau bukan angka ya kertas. Lantas kau tidak memercayainya. Kau hanya berpikir bahwa siapa pun yang memulai, dalam artian ini yang penulis maksud adalah masuk kuliah, maka orang itu harus menyelesaikannya.  Sehingga bagimu kau harus lulus, tidak peduli orang mengataimu mengejar angka atau kertas. Kenyataannya mereka yang berkata demikian juga melakukan hal yang sama. Dan setiap hari itulah kebencianmu pada manusia meningkat.

Siang yang teduh di jalan raya pusat kota, kau mengendarai sepeda motormu dengan baik. Sehingga tidak pernah harus berurusan dengan siapa pun. Di lampu merah kau berhenti, berada di seberang kanan jalan. Dan disisi sebelah kiri jalan untuk mereka yang akan belok, disilakan tidak mengikuti lampu merah. Ibu-ibu yang sepertinya lupa mematikan kompor itu berlari dengan kencang dan mobil yang lupa belum menjemput istrinya itu melaju dengan kencang, sebab tidak ada siapa pun. Buku Tuhan pun sudah mengatakan mereka harus ada pada satu garis yang bertabrakan maka mereka bertabrakan. Ibu-ibu itu terlempar di depanmu yang masih menunggui lampu merah. Tubuhnya hancur lebur, tidak berbentuk, tapi diwaktu itu kau masih bisa melihat tangannya berusaha menggapaimu.

Kau mendapati dirimu tertidur di kamarmu sendiri, kau menyadari apa yang terjadi lalu berpura-pura lupa. Kepada keluargamu kau berkata bahwa kau dalam masa percepatan studi sehingga benar-benar sibuk dan meminta mereka tidak mengganggumu. Kau berkata untuk tidak mengajakmu mengobrol. Karena keluargamu akan tahu kau sedang serius dan sedang terluka. Kau lelah menjawab dengan kalimat tidak apa-apa pada setiap orang yang menanyaimu. Entah karena punya keinginan tahu atau sekadar percakapan bodoh karena mereka kesepian. Hingga akhirnya kau mulai membuat prinsip baru dalam hidupmu.

Kau mulai berpikir kalau lulus dari universitas sedikit banyak akan menyenangkanmu. Karena kau lagi-lagi tidak harus berurusan dengan manusia-manusia kecil yang berlagak menjadi besar, atau manusia-manusia bodoh yang berlagak dungu, atau intelek yang berlagak dungu, atau sebaliknya. Kau juga tidak harus berurusan dengan tukang parkir yang selalu saja tidak suka kau parkir ditempat sama, entah apa masalahnya. Kau juga tak harus merasa perlu berterima kasih pada setiap dosenmu karena prinsip yang sudah kau buat. Bahwa manusia selalu saja melakukan semuanya untuk dirinya sendiri. Dan cinta bukan lagi soal saling memberi karena itu adalah hal yang muskil tanpa pamrih. Kau menjadi tak takut pada apa pun setelah hari itu. Hari dimana seseorang mati didepanmu dengan tubuh hancur dan tangan yang berusaha menggapaimu

Dulu, kau selalu bercanda pada setiap orang dan mereka beranggapan bahwa kau orang yang ‘gila’(red-gokil). Dan kini semua orang percaya kau benar-benar gila. Karena sikapmu yang pendiam, bertingkah aneh dan sangat dingin. Tentu kau sama sekali tidak bermasalah dengan semua pemikiran orang-orang itu. Bagimu manusia tetaplah menyebalkan. Karena tidak ada seorang pun termasuk kau yang berlari menuju ibu-ibu itu. Begitu juga mobil perak yang menjauh dengan cepat. Orang-orang bungkam sampai hari penguburannya, keluarganya terisak-isak tetapi tidak ada siapa pun peduli.

Sesuai prodi yang dulu kau ambil, sekarang kau bekerja di perusahaan dengan baik, kau sama sekali tidak suka ditegur untuk suatu kesalahan atau sapaan. Sehingga kau bekerja dengan baik walau selalu bersikap dingin pada siapapun. Cara itu berhasil, kau beranggapan manusia itu benci diabaikan dan iri pada orang lain, kau berhasil membuat dirimu sendiri dimusuhi dan tidak ditegur. Apalagi makan malam bersama, sama sekali mereka tidak mengajakmu dan tentu kau bersyukur. Kemudian prinsip itu semakin dalam mengajakmu untuk menyendiri.
Aku tidak ingin mengalami kehilangan, seandainya aku harus mengalami kehilangan cukup kalian bertiga saja, kurasa mengalami tiga kehilangan saja sudah cukup. Aku tidak akan menambah jumlah kehilangan dengan memiliki teman atau pasangan dalam kehidupan ini. Lagi pula semua manusia itu sudah sangat menyebalkan bagiku. Kemudian ibu bertanya padaku; lalu apakah aku, ayahmu dan kakakmu juga menyebalkan? tanya beliau. Aku menjawabnya dengan baik karena beliau ibuku. “Sedikit, oleh karena itu ku minta kalian jangan sering mengajakku mengobrol sehingga aku tidak akan menganggap kalian menyebalkan seperti manusia-manusia lain itu. Sebab itu pula aku sudah membeli rumah, biarkan aku hidup sendirian,” kataku.
Kau mungkin merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong ibu-ibu yang mati didepanmu, tapi keadaan itu juga sudah ada di buku Tuhan. Kau lebih baik jangan menyalahkan dirimu sendiri seperti orang bodoh. Kujawab; tentu saja aku tidak pernah menyalahkan diriku sendiri, aku membenci manusia karena tingkah mereka yang ku amati semakin menyebalkan. Dan tidak pernah berubah sejak tahun-tahun lalu, selalu saja sebagai penjilat dan kaum munafik. Aku sudah tidak suka pada mereka, aku juga membenci kehilangan. Sehingga aku akan sendirian saja sekarang, kau tau apa maksudku kan?

Tokoh kita ini tinggal sendirian untuk tiga bulan kedepan dan hidup dengan baik sampai pada ketika tanggal merah di suatu bulan itu. Keluarganya menggunakan mobil untuk rekreasi ke pusat kota dan mengalami kecelakaan karena harus bertemu dan bertabrakan dengan mobil yang mungkin berisi keluarga yang akan rekreasi juga. Tokoh kita mengalami kehilangan. Satu kehilangan atau tiga kehilangan?, penulis tidak bisa memilih salah satunya. Dan pada akhir pemakaman itu, tokoh kita tidak menangis, apa yang membuatnya tidak menangis tentu ia sendiri tidak tahu. Ia berlalu dari pemakaman dengan senyuman.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *