Uang Kuliah Tunggal, Keasyikan Atau Kemalangan

Sebentar lagi birokrasi UNY akan melaksanakan kebijakan baru terkait format pembayaran untuk mahasiswanya. Format pembayaran itu dikenal dengan istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT), dengan sasaran mahasiswa baru angkatan 2013. Dimana, dengan kebijakan tersebut mahasiswa baru tidak akan lagi membayar uang sumbangan operasional (Down Payment-red), KKN-PPL, yudisium hingga wisuda. Isu keberadaan UKT sendiri sebenarnya telah ada beberapa tahun sebelumnya, dan gong-nya terjadi tahun ini.

Dengan disahkannya sistem ini membuat sumbangan operasional akan dibagi tiap semester.  UKT sendiri, adalah instruksi langsung kementrian pendidikan lewat surat edaran Dirjen Dikti Nomor. 97/E/KU/2013, tentang Uang Kuliah Tunggal. Besaran untuk per semester pun bervariasi tergantung dari fakultas masing-masing, dimana untuk teknik UNY biaya persemester menjadi 3,5 juta. Rincian biaya tiap fakultas dapat dilihat di website UNY, meski informasinya tidak detail dan rinci. Hal tersebut menimbulkan pertanyaaan sampai semester berapa mahasiswa harus membayar UKT, serta besaran tersebut dipakai untuk pembayaran apa saja.

Rasionalitas UKT dibuat agar biaya kuliah makin terjangkau dan minimum. Lalu, menghindari pungutan liar oleh pihak kampus dan mempercepat kelulusan mahasiswa. Namun, kenyataanya bila dikalkulasi biaya SPP justru naik. Sehingga menimbulkan kesan, UKT hanya jadi lip service. Mahasiswa pun harus senang, girang, acuh atau malah sedih dengan kebijakan tersebut. Karena dengan sistem ini, bila dibandingkan dengan mahasiswa regular nominalnya masih lebih terjangkau sistem lama. Indikasinya jelas pemerintah hendak menghapus peranannya dalam kelola keuangan pendidikan tinggi, supsidi yang harusnya menjadi hak mahasiswa justru dikikis.

Celakanya, tidak ada transparansi serta proses sosialisasi yang baik. Terlebih kajian dan penelitian terkait implementasi UKT tidak benar-benar dilakukan, jadi diumumkan langsung ribut. Meski penulis yakin rata-rata mahasiswa akan mampu membayar UKT, tetapi hal itu datang dari mahasiswa strata menengah keatas. Kemudian, minat kuliah di UNY termasuk tinggi jadi persaingan memperebutkan bangku kuliah bakal ketat, tetapi apa iya sebagai kampus pendidikan, cukup elegan untuk ikut-ikutan memberlakukan kebijakan itu (UKT-red). Karena melihat 3,5 juta per semester untuk teknik, kalangan menengah kebawah pasti bakal berpikir sangat-sangat keras.

Memaksa mahasiswa lewat kebijakan anggaran makin menegaskan normalisasi kegiatan mahasiswa. Calon aktivis akan enggan berorganisasi, sehingga personal yang kritis, berjiwa sosial dan sosok leadership makin jarang ditemui. Karena kalau pun berorganisasi, motifnya sudah berbeda dan keluar dari jalur idealisme. Kenapa, karena Anda pintar bukan untuk diri sendiri, jadi guru, insinyur, pns, karyawan, pejabat atau profesi yang lainnya untuk kebermanfaatan bersama. Saling menyatu menjadi jalinan kehidupan tidak perduli ras, golongan dan agama.

Intinya mahasiswa perlu transparansi dan rasionalitas guna meyakinkan bahwa, dengan besaran UKT tersebut memang layak untuk dibayarkan oleh mahasiswa. Bisa dikira permasalahan tidak semata-mata pada uang. Iya memang penting, namun konstitusi negara (UUD45-red) sepertinya tidak berbicara demikian. Negara ini jelas membutuhkan pemetaan cerdas dan ide brilian, karena lulusan S3 bukan sarjana biasa.

Pantas kita bersama, sekali-kali menyimak alunan kata-kata romantis dalam kisah buku Indonesia Mengajar, tentang lika-liku keterbatasan yang ternyata mampu memberi inspirasi dan makna, dimana kebahagian justru datang dari kesederhanaan. Juga tidak lupa jalinan kata sasta dalam cerita Laskar Pelangi. Karena, bila demikian kebijakan ini telah menjadi ketetapan semoga landasannya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa sesuai semangat nurani seorang pendidik.

 

  Inspirasi dari diskusi rutin LPMT Fenomena.

Oleh : Farchan Riyadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *