Perspektif Lain G30S Dalam Sebuah Film

DSCF4187

Suasana diskusi di Aula PKM Lantai 3 FT UNY

Gerakan 30 September (G-30S) adalah sebuah peristiwa yang terjadi semalam dari 30 september sampai 1 oktober 1965, saat itu tujuh perwira tinggi militer indonesia diculik dan dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta, yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Kejadian tersebut masih menjadi kontroversi sampai sekarang, dimana efek dari peristiwa itu masih terasa di indonesia karena belum di ketahui sejarah dan motif yang sebenarnya.

Telah banyak film yang menceritakan peristiwa G-30S, sebut saja Sang Penari, Gie, Penghianatan G30S/PKI, Jagal – The Act of Killing. Lalu, 40 Years of Silence yang pada selasa (30/9) kemarin menjadi bahan diskusi film (Disbufi) Fenomena. Bertempat di ruang sidang PKM FT lantai 3 acara ini ditujuan sebagai pembelajaran kembali akan peristiwa G30S yang tentunya dari sudut pandang lain. Meski seperti biasanya peserta dari luar Fenomena masih minim.

Inti cerita film ini tentang pembunuhan massal pasca tragedi G30S. Dimana pada media oktober 1965 sampai april 1966 diperkirakan 500 ribu sampai 1 juta orang mati dibunuh. Pembunuhan massal itu merupakan salah satu yang paling masif, mengingat dari jumlah dan tempo kejadiannya sangat singkat. Pembersihan terhadap orang yang dianggap komunis, tetap terdiam, hilang dan mungkin tak tertulis dalam sejarah, gelap hingga jatuhnya orde baru di 1998.

“Meskipun peristiwa G-30S/PKI sudah lama sekali tetapi efeknya masih terasa sampai sekarang, masyarakat yang dituduh sebagai PKI tidak memiliki hak suara dalam pemilu,” ujar Agung Widadi.

“Permasalahannya sangat kompleks dan dalangnya pun belum diketahui, segi pandangku karena Soeharto ingin naik jabatan, karena ada suatu permasalahan internal Soekarno, seperti perebutan kekuasaan, dan masyarakat seperti dibodohi karena mereka tidak tahu apa-apa malah di cap komunis,” ungkap Nanang Yuniantoro selaku pimpinan umum LPMT Fenomena.

Pada 40 Years of Silence ditunjukan selama lebih dari 40 tahun korban tidak berani bicara, mengingat masih berkuasanya orde baru, serta minimnya kebebasan berpendapat. Sejarah diputar balik dan disembunyikan. Edwin Widianto mengungkapkan kalau Indonesia tidak akan maju ketika sejarah masih di tutup-tutupi. Bahwa sejarah ada untuk diambil pelajarannya agar kejadian serupa tidak lagi terulang.

Pandangan banyak orang bahwa PKI itu adalah pembunuh, penculik, dan jahat, dengan menonton 40 Years of Silence diakui oleh Ade syaifulloh kita bisa mendapat informasi dari perpektif berbeda, yaitu dari saksi pembunuhan massal, eks tahanan politik, dan pihak-pihak yang disangka orang komunis. Wajar mengingat pelajaran sejarah kurang bercerita banyak mengenai pembunuhan massal pasca 30 september.

“Tak heran juga kalau mahasiswa banyak yang kurang minat atau mungkin sudah lupa tentang sejarah, karena sejarah mungkin merupakan suatu hal yang nggak menarik buat diperbincangkan,” tambah Nanang Yuniantoro.

Ada satu kata yang sempat menarik perhatian, yang terucap oleh Lanny salah satu tokoh dalam film dan menjadi korban bahwa, “ketika saya memendam kebencian berarti kita menanamkan bom, kenapa kita tidak mencoba melupakan itu atau ibaratnya melupakan kesalahan orang lain yang telah diperbuat, dengan begitu hati menjadi akan lebih aman”. [Nurus]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *