Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepada Daerah (RUU Pilkada) telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada jumat 26/9 malah menimbulkan pro dan kontra. Undang-Undang ini mengatur pemilihan kepada daerah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Anggota Daerah (DPRD). Argumentasi dari Koalisi Merah Putih (KMP) kenapa pilkada harus dijalankan secara tidak langsung bahwa pendanaan yang besar dalam penyelenggarakan pemilukada, timbul potensi kasus korupsi pada kepala daerah yang lebih besar bila pilkada langsung, kemudian menyalahi konsepsi sila keempat pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Pengambilan keputusan RUU pilkada kemarin melalui voting, karena saat musyawarah dan loby tidak menemukan titik temu dan buntu. Kondisi politik saat itu terbagi menjadi 2 kubu yaitu KMP mendukung pilkada tak langsung dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendukung pilkada langsung, dengan pemetaan DPR RI periode 2009-2014, kekuatan KMP sekitar 45 persen, KIH sekitar 30 persen, sedangkan partai demokrat 25 persen. Jadi bila voting maka jelas pemenangnya. Dengan dalih apapun, baik itu atas nama rakyat atau sekedar demi kepentingan politik, jelas KIH akan kalah. Terlebih ketika demokrat malah walkout, yang sebelumnya mendukung pilkada langsung dengan 10 rekomendasi.
Pada paripurna 26/9 lalu, DPR dalam mengambil keputusan apakah murni dari suara rakyat, ataukah hanya kepentingan golongan. Tidak waras memang, kebijakan yang sangat substansi bagi rakyat ditentukan oleh ego pribadi, saat kalah dipusat lalu ingin menguasai pimpinan daerah. Perlu diketahui 28 propinsi DPRD-nya mayoritas dari KMP.
Demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Setiap manusia punya hak memilih pemimpinnya. Fungsi dewan (DPR dan DPRD-red) jelas, budgeting, pengawasan dan legislasi, yang terakhir itu ya membuat peraturan bagi rakyat agar sejahtera, bukan berarti lalu mereka bebas merampas hak-hak rakyat dalam berdemokrasi. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan/ perwakilan”, mempunyai makna bahwa semua kedaulatan ditangan rakyat. Intinya ini penghianatan terhadap semangat reformasi.
Memang presiden SBY telah mengeluarkan Perpu pengganti undang-undang pilkada tidak langsung. Tetapi kegalauan akan tercabutnya hak demokrasi masih ada. Perpu patut diapresiasi memang, tetapi melihat inkonsistensi demokrat kemarin masih membuat patah hati. Politik memang dinamis, tetapi kalau cara mainnya begini kan bikin pusing juga. Istilahnya buat rakyat kok coba-coba, pilkada itu penting. Bahkan Tempo menyebut ada permainan dibalik semua ini, kongkalikong, konspirasi, antara demokrat dengan KMP demi jatah kursi pimpinan di parlemen. Tidak mungkin SBY sebagai ketum demokrat alpa akan keputusan walkout partainya saat paripurna itu.
Apa pun itu, mau konspirasi atau kontrasepsi sekalipun, pilkada langsung itu milik rakyat. Itu sudah jelas bagaimana bunyi konstitusi dan ideologi bangsa menyatakan demikian. Anggota dewan buta, tuli atau bagaimana. Bahwa pilkada DPRD dan pilkada langsung memang hanya masalah pendekatan. Tetapi menurut konstitusi dan ideologi memilih pemimpin, pendekatan terbaik ya pilkada langsung, jelas. Anda-anda lupa banyak pemimpin daerah berprestasi dari hasil pilihan rakyat, langsung. Presiden SBY juga presiden pertama yang dipilih langsung, lupa atau bagaimana?
Pengesahan UU Pilkada menjadi ujian terhadap sikap kritis mahasiswa. Sudah jelas undang-undang ini tidak pro rakyat, meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, penghianatan pada semangat reformasi. Dimana sudah hak rakyat untuk menentukan siapa pemimpin terbaiknya, rakyat berdaulat akan demokrasi. Jadi jangan biarkan rakyat menjadi penonton, lalu tiba-tiba diminta tepuk tangan saja. Aneh memang kini rakyat diminta memilih sebenar-benarnya kadal. [Nanang]