Organisasi mahasiswa (ormawa) merupakan instrumen, barometer serta tolak ukur utama terhadap aktualisasi fungsi mahasiswa sebagai seorang intelektual, yang menjunjung tinggi idealisme dan moral. Lembaga-lembaga kemahasiswaan ini menciptakan apa yang disebut dengan “students governance” atau pemerintahan mahasiswa yang kini jamak digolongkan menjadi 2, yaitu kelompok eksekutif dan kelompok minat bakat.
Karena idealnya suatu organisasi mempunyai visi dan misi untuk mencapai tujuan. Ormawa tersebut harus bisa mengembangkan fungsi dan perannya. Seperti pengembangan intelektual, dengan pandai berwacana, mengkonsep sesuatu yang beda, sekaligus mewujudkannya.
Namun disadari atau tidak, banyak ormawa telah melupakan esensi atau peran mahasiswa. Dimana ormawa telah bergeser dan berubah hanya sebagai event organization (EO) semata. Mereka seolah-olah terlalu fokus agar bagaimana mengadakan sebuah event berjalan, tanpa memperhatikan esensi atau kebermanfaatan dari acaranya tersebut.
Saya hanya ingin menggugat efektifitas akan pendekatan dalam menjalankan program kerja (proker) yang cuma begitu-begitu saja. Memang proker telah terlaksana, namun manfaat dan pembelajaran jadi terasa minim, tidak inovatif, dan cenderung membosankan, karena notabene hanya mengulang dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya belum efektif, pengurus terkesan hanya mendapat rasa lelah, letih, terkuras tenaga, bahkan tombok untuk menutupi acara dan event-nya agar bisa jalan. Istilahnya sebenar-benarnya pemberdayaan.
Mahasiswa tentu bukan seorang robot, yang hanya mengikuti intruksi tanpa berpikir. Mahasiswa memiliki posisi untuk mampu memberi perubahan, bukan cuma melaksanakan sebuah kegiatan tahunan semata, yang lagi-lagi event saja yang dikedepankan.
Mungkin sudah jadi kebiasaan dan budaya dalam membuat proker dan arah kerja yang sasarannya pada event. Perlu kiranya agar ormawa kembali pada jalan pergerakan, kritis, lalu mampu menghantam, bahwa ini pembodohan tersistematis, agar ormawa tidak lagi lantang berbicara dan berpendapat.
Sudah begitu ormawa malah bangga, dengan proker terlaksana tanpa memperhatikan kualitas, dengan mengejar ketercapaian formalitas. Perlu keberanian bagi pimpinan baru dipengurusan mendatang untuk mengubah paradigma jalannya ormawa. Karena saya melihat belum ada keberanian dari suatu ormawa untuk tidak hanya mengedepankan event organizazion semata.
Hasilnya makin jelas, generasi ormawa ini gagal berdialektika, lemah dalam mengelola masalah, lalu dalam berargumen dangkal dan lemah sehinga mudah dipatahkan karena bicara tanpa dasar, tetapi cenderung ngeyel. Diskusi pun tidak nyambung, sehingga membawa permasalahan malah menjadi mbulet (rumit-red), yang ujung-ujungnya gagal paham. Tetapi ya itulah, setiap generasi tentu memiliki cara dan solusinya masing-masing.
Nurus Sarofa