Fenomena Sibuk Beragama Lupa Bertuhan

Oleh Widi Hermawan

        Sila pertama ideologi bangsa Indonesia, membuat setiap warga negara wajib memiliki atau memeluk suatu agama yang di percayai kebenarannya. Agama yang boleh dianut ialah agama yang sudah tercatat dan diakui oleh negara. Ketika menjalankan kewajiban beragama ada beberapa tipe, seperti orang yang sekadar menggugurkan kewajibannya saja, yang penting kolom agama di KTP-nya terisi. Ada juga yang benar-benar menjalankan perintah agama sebaik-baiknya, bahkan sampai ada yang fanatik dengan agama atau alirannya.

        Semakin terkikisnya nilai-nilai toleransi antar umat beragama sering kali membuat umat antar agama saling menyalahkan, saling menyesatkan antar kepercayaan, bahkan konflik beratasnamakan agama sempat melahirkan tragedi berdarah seperti tragedi Poso yang lukanya masih membekas dalam hati. Ada juga kasus Tolikara, serta yang masih sangat hangat yaitu kasus pembakaran gereja di Aceh. Semua tragedi tersebut diduga dilatarbelakangi oleh konflik antar umat beragama. Fenomena ini menunjukkan masih rendahnya rasa toleransi yang dimiliki oleh pemeluk agama di negeri ini. Tidak hanya antar agama, konflik juga sering terjadi dalam satu agama, dimana banyak yang saling mengafirkan antar aliran sesama agama.

        Orang-orang macam inilah yang disebut-sebut sibuk beragama namun lupa untuk bertuhan. Sibuk dengan aturan dan perintah agamanya namun tidak paham esensi dalam beragama yaitu menjalankan perintah Tuhan. Sibuk menyesatkan agama lain namun lupa akan perintah Tuhan untuk menjaga dan melindungi satu sama lain demi terciptanya kedamaian. Sibuk menyalahkan aliran orang lain namun lupa bahwa setiap orang memiliki perspektif yang berbeda mengenai suatu ajaran.

        Bukankah Tuhan tidak pernah mengajarkan hal semacam itu? Tuhan mana yang mengajarkan umatnya untuk saling menyalahkan ajaran lain? Tuhan siapa yang mengajarkan untuk menyesatkan dan mengafirkan kepercayaan lain? Bukankah Tuhan mengajarkan untuk selalu menjaga perdamaian? Bukankah Tuhan mengajarkan untuk saling menjaga dan menyayangi sesama?

        Sangat disesalkan memang fenomena semacam itu. Egoisme dalam bergama itu sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa, karena dapat merobek sendi-sendi persatuan dalam bernegara. Oleh karena itu, sikap dewasa dari tiap individu sangat diperlukan dalam beragama. Mamahami bahwa setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap sesuatu merupakan sebuah keniscayaan. Rasa toleransi harus kembali dipupuk, supaya dapat tumbuh subur dalam setiap individu umat beragama.

        Dapat menerima setiap perbedaan sebagai suatu anugerah, suatu rahmat yang akan memperkaya budaya yang dimiliki. Dengan memiliki pola pikir seperti itu niscaya dapat menjadi umat beragama yang cerdas, karena sesungguhnya umat beragaman memang harus cerdas dalam beragama. Sehingga tidak akan terjadi lagi sentimen antar umat beragama, konflik-konflik pemicu tragedi dan pergolakan yang membahayakan persatuan akan dapat diredam, sehingga dapat tercipta perdamaian dan kerukunan dalam kehidupan beragama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *