Takut Kok Sama Organ Ekstra

Oleh Widi Hermawan

Menanggapi pemberlakuan uang pangkal beberapa elemen mahasiswa melakukan konsolidasi untuk pembacaan isu. Salah satu kawan saya turut berada di dalamnya. Pasca konsolidasi, kami berdua ngobrol santai di depan sekretariat.

“Bagaimana hasilnya tadi?” tanya saya.

“Masih belum ketemu titik temu, langkah yang diambil akan seperti apa belum ada kesepakatan,” jawab kawan saya.

“Lah konsolidasi lama-lama ngomongin apa saja?”

“Tadi malah ada yang mempersoalkan adanya organ ekstra yang ikut konsolidasi, mereka tidak terima ada organ ekstra masuk FT,” jawab kawan saya dengan wajah lesu.

Saya tidak melanjutkan lagi percakapan itu, sudah tertebak apa alasan beberapa mahasiswa mempersoalkan adanya organ ekstra. Bukan organ ekstra macam GMNI, KAMMI, PMII, HMI, dan kawan-kawannya yang biasa kita dengar. Tapi hanya sekumpulan mahasiswa UNY yang resah dengan lingkungan sekitarnya, lalu berkumpul dan berdiskusi melakukan pembacaan isu. Hanya karena tidak punya legalitas sebagai organisasi mahasiswa dari pihak kampus, mereka dianggap organ ekstra yang najis masuk dan berkegiatan di dalam kampus. Padahal mereka juga mahasiswa UNY, yang mungkin tidak menemukan wadah untuk menumpahkan keresahan mereka di organ intra. Mereka yang mewakili organisasi mahasiswa intra kampus merasa paling suci, hingga merasa tak level lagi berjuang bersama organisasi ekstra kampus. Mereka alergi, bahkan sekadar untuk mendengar nama organ ekstra.

Sentimen terhadap organ ekstra memang tidak bisa dipungkiri, bahkan sejak pertama saya menjadi mahasiswa aroma sentimen itu sudah bisa saya cium. Saya sendiri sempat begitu kontra dengan organ ekstra, tapi di sisi lain saya juga pernah menjadi bagian di dalamnya. Saya kontra dengan organ ekstra karena mereka kerap membawa politik praktis ke dalam kampus, bukan karena ideologi mereka. Kampus memang menjadi wahana pembelajaran politik yang sangat ideal bagi setiap mahasiswa, tapi bukan berarti dengan membawa kepentingan politik praktis ke dalam kampus. Saya kontra bukan semata-mata karena mereka adalah organ ekstra kampus. Ini perbedaan saya dengan pejabat kampus sekarang yang membenci organ ekstra secara membabi buta, bahkan tanpa mengetahui apa itu organ ekstra.

Mahasiswa sekarang hanya memakan stigma-stigma dari para seniornya tentang berbagai kebusukan organ ekstra, stigma-stigma yang memupuk kebencian terhadap organ ekstra. Sampai sini saya mengakui keberhasilan senior mereka, yaitu berhasil menanamkan kebencian dalam diri junior-juniornya. Entah, apakah keberhasilan ini pantas dibanggakan atau tidak. Satu hal yang luput dari perhatian mereka adalah, bahwa dunia ini serba paradoks. Tidak ada yang benar-benar suci, juga busuk. Sesuci-sucinya organ intra, pasti ada sisi busuknya, pun dengan organ ekstra yang tak sepenuhnya busuk.

Begini, ketika kita membicarakan masalah mahasiswa, itu berarti kita berbicara masalah bersama. Semakin banyak elemen yang berjuang bersama, itu akan semakin baik, meski kuantitas tak pernah menjamin kualitas. Tapi setidaknya modal pertama terpenuhi, yaitu massa yang besar, bahkan jika iblis bisa diajak berjuang bersama, ajak saja mereka kerja sama. Kontra dengan suatu hal boleh saja, tapi harus paham konteks, kapan kontra, kapan mereka harus berjalan beriringan. Lagi pula sampai sekarang apa yang mereka hasilkan dari egosentris yang sangat besar itu? Uang pangkal sudah resmi diberlakukan, dan adik-adik mereka kini terkena getah dari apatisme yang telah membatu itu.

Sampai sekarang saya masih heran, apa sebenarnya yang ditakutkan para pejabat organ intra dari organisasi ekstra? Jika yang mereka takutkan adalah ideologi organ ekstra karena kental dengan unsur politis, itu menunjukkan bahwa organ intra yang mereka urus tidak ideologis. Mereka gagal melahirkan kader-kader yang memiliki prinsip, sehingga mudah terpengaruh ideologi luar. Ya wajar saja, mereka merekrut anggota sebanyak mungkin bukan untuk dikader menjadi manusia-manusia cerdas, melainkan untuk dijadikan sapi perah. Mereka banyak namun hanya buih. Kata pergerakan sudah sangat asing di dalam organisasi internal kampus. Mereka lebih akrab dengan kepanitiaan, perlombaan, pameran, festival, seminar nasional, yel-yel tak jelas, workshop yang sepi feedback, konser musik yang sepi, dan istilah-istilah lain yang miskin esensi.

Para senior di organ intra kampus lupa dengan tugas utama mereka, mengkader para juniornya, mencerdaskan, meluaskan pengetahuan, mengasah intelektualitas anggota, menanamkan idealisme sehingga tak mudah terbawa arus. Bukan sekadar menjejali anggota-anggotanya dengan slogan-slogan yang mereka sendiri tak paham maknanya, apalagi cara mengimplementasikannya. Itu bukan mengkader namanya, tapi pengkerdilan pemikiran. Walhasil yang mereka lahirkan bukan kader-kader yang cerdas, tangguh, dan beradab, melainkan manusia-manusia pengecut yang hanya berani bersembunyi di balik ketiak birokrat.

Dalam konteks memperjuangkan kepentingan mahasiswa, sebut saja salah satunya terkait uang pangkal, seharusnya organ intra dan organ ekstra berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Organ intra yang lebih suka memilih jalan ‘aman’ tidak akan efektif jika berjuang sendiri. Selama ini yang mereka tempuh sekadar langkah-langkah diplomasi atau audiensi, yang sebenarnya isinya hanya mempertanyakan kebijakan birokrat setelah itu menyampaikannya kepada mahasiswa. Itu tentu bukan memperjuangkan aspirasi mahasiswa, namun mereka lebih menjalankan peran sebagai humas birokrat.

Karena itu, ‘perjuangan’ mereka perlu dilengkapi oleh organ ekstra yang terkenal lebih berani mengambil langkah-langkah ‘bahaya’, sebut saja aksi demonstrasi. Hal ini wajar, sebab organ ekstra tidak terikat oleh kebijakan-kebijakan birokrat kampus. Bisa dibilang mereka lebih independen, bebas dari intervensi sehingga lebih leluasa dalam bergerak. Lain dengan organ intra kampus yang langsung melempem ketika diancam akan diberhentikan aliran dananya.

Kawan-kawan organ intra tampaknya butuh jalan-jalan, safari ke sekretariat-sekretariat organ ekstra untuk diskusi atau sekadar ngobrol santai sembari menikmati secangkir kopi di ujung senja. Sebab seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Tidak bijak ketika mereka membenci organ ekstra tanpa mengenal dan mempelajari bagaimana bentuk organ ekstra itu sendiri. Jangan puas dijejali dengan stigma-stigma penuh kebencian dari para senior. Harapannya setelah itu pikiran mereka akan sedikit terbuka. Ya, baru sedikit, sebab harus dibuka lebih luas lagi melalui penguatan budaya literasi. Seorang guru pernah menasihati saya, “Kalau kamu merasa bodoh, banyak-banyaklah belajar. Kalau malas belajar, ya sudah, jangan banyak omong. Karena kamu hanya akan mengeluarkan statement yang menggelikan”.

Saya tidak bermaksud berpihak kepada organ ekstra. Saya hanya berusaha memperbaiki kecacatan berpikir yang sudah sangat akut di tengah organisasi mahasiswa. Saya juga menyayangkan organ-organ ekstra yang beberapa tahun terakhir tiarap, seperti hilang dari peredaran. Entah karena mereka sedang menyusun strategi dalam diam, atau bahkan sudah melakukan pergerakan bawah tanah. Namun jarang sekali ada organ ekstra yang lantang menyuarakan argumennya dalam menyikapi berbagai isu, baik di dalam maupun di luar kampus. Mereka ada, namun tiada. Sentimen antar sesama organ ekstra juga masih sangat terasa. Apakah perlu penguasa otoriter macam Soeharto untuk dapat menyatukan mereka? Saya pikir tidak.

Pada akhirnya saya hanya ingin berpesan, sudahilah konflik-konflik horizontal antar organisasi mahasiswa. Baik organ intra dengan organ ekstra, sesama organ intra, juga sesama organ ekstra. Kesampingkan dulu kepentingan-kepentingan golongan, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar di depan kita. Jangan buang sia-sia tenaga kita hanya untuk masalah-masalah yang tidak penting. Lihatlah, kebebasan berekspresi semakin dikekang, kapitalisasi pendidikan semakin merajalela, penggusuran semakin biasa dilakukan atas nama pembangunan, buruh dan kaum tani semakin tak tentu nasibnya, apa itu belum cukup untuk menyatukan kita? Saya ingat kalimat yang pernah dikatakan Che Guevara, “Jika kau bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, kau adalah kawan saya”.

2 Responses

  1. Tulisanya keren, akhirnya mas widi nulis dg style kaya dlu lg. Aku jg heran sama anak2 ormawa yg pandirnya naudzubillah, hehehehe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *