Senin (6/8) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menyelenggarakan seminar bertema “Pendidikan Berbasis Gender di Era Keterbukaan Informasi” sebagai salah satu rangkaian acara Kongres Nasional PPMI ke-XIV di Surakarta. Bertempat di aula lantai 3 Universitas Slamet Riyadi, seminar dihadiri oleh perwakilan sebagian besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang terdaftar sebagai anggota PPMI.
Seminar ini menghadirkan dua pembicara yaitu Elizabeth Yunuarti selaku aktivis SPEK-HAM Surakarta dan Ichwan Prasetyo selaku jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta. Acara dibagi dalam tiga sesi, pertama mengenai peran media dalam memberitakan kasus perempuan yang dipaparkan oleh Elizabeth sedangkan Ichwan sendiri lebih menekankan bagaiman pers mahasiswa berlaku, dan terakhir sesi tanya jawab.
Alasan Elizabeth memilih judul tersebut karena masih banyaknya pemberitaan kasus perempuan yang menyudutkan korban dan menyalahi kode etik jurnalistik, salah satunya adalah menyebutkan nama atau identitas korban kejahatan. Selain itu, ia melihat bahwa media hanya menjadikan korban kejahatan seksual sebagai objek untuk diekploitasi sehingga dapat menghadirkan berita yang menarik pembaca tanpa memperhatikan dampak yang dirasakan oleh korban dan keluarga.”Pers secara tidak sadar telah menjadi pelaku kejahatan seksual itu sendiri dengan membuat berita yang disertai unsur sensasi,” ungkap Elizabeth.
Dibahas lebih jauh lagi, terdapat dua hal yang diperlukan media dalam membuat sebuah berita yakni keberpihakan dan analisa kritis.”Saya rasa keberpihakan itu pasti ada dan setiap media harus dapat berpihak kepada hal yang menurut kita atau media anggak benar,” ujar Elizabeth. Dalam sesi pembicaraan yang kedua juga disebutkan jika media memerlukan sifat transparan karena itu sangat penting.
Kemudian Ichwan sebagai pembicara kedua juga mendukung pernyataan Elizabeth bahwasanya masyarakat saat ini mengonsumsi media dari media sosial bukan dari portal berita langsung karena rangsangan sesaat.”Mayoritas mengonsumsi media dari sosmed, bukan portal berita. Itu terjadi karena rangsangan sesaat bukan kesadaran dalam diri dan berita yang bukan dari portal berita langsung hanya memuat sensasi-sensasi,” ujar Ichwan.
Selanjutnya mengenai peran pers mahasiswa sendiri Ichwan menganjurkan untuk berperan dari hal- hal yang lebih mudah terlebih dahulu misalnya mengawal APBD kota atau anggaran kampus. “Sebenernya Persma dapat berpartisipasi mulai dari hal kecil seperti mengawal APBD kota atau anggaran kampus, jangan hanya berfokus pada penerbitan majalah secara rutin, itu impian yang muluk-muluk saya rasa, karena peminat pembaca belum luas,” tambah Ichwan.
Pers mahasiswa juga bisa belajar langkah apa yang bisa dilakukan untuk menghindari penyalahan kode etik jurnalistik melalui sesi tanya jawab pada sesi terakhir, misalnya berkonsultasi kepada aktivis SPEK-HAM tentang hal apa saja yang akan ditanyakan dan dicantumkan dalam memberitakan kasus kejahatan seksual seperti yang telah dilakukan Ichwan sejak awal menjadi jurnalis.”Sejak awal menjadi jurnalis, saya sudah sering tanya-tanya ke Mbak Eliz kalau saya mau mewawancarai korban, bertanya gimana seharusnya beritanya, itu bisa jadi langkah yang bisa dilakukan pers meskipun memang terkesan kolot,” tutup Ichwan. (Bunga)
0 Responses