Sumber gambar: Pexels
Hai Cuk!
Apa kabar?
Masih waras? Eh maaf salah, sudah waras?
Bukankah dari dulu, dari tahun ke tahun, kalian selalu kehilangan kewarasan. Bahkan dari tahun ke tahun, saya lihat ketidakwarasan itu semakin akut. Hal itu bisa dilihat dari perspektif kalian terhadap pers. Kalian begitu takut pada pers dengan alasan yang tak jelas. Saya kasih tahu ya, takut itu sama Tuhan, bukan sama anak-anak pers mahasiswa yang dekil-dekil itu.
Apa sih yang kalian takutkan dari pers? Begini, jika kalian merasa tidak ada masalah dengan kegiatan kalian, harusnya tidak perlu kalian tertutup begitu dengan pers. Jika kalian tertutup, itu justru membuat mereka semakin curiga, ada kebusukan apa yang kalian tutup-tutupi. Dan perlu kaliah ketahui, sebaik apapun kalian menyimpan bangkai, bau busuk akan tetap tercium.
Saya juga masih bertanya-tanya, kenapa semakin ke sini kalian semakin anti kritik? Semakin mempersulit pers untuk melakukan kegiatan dengan aturan-aturan yang lebay. Saya dengar dalih kalian itu semua demi kelancaran kegiatan OSPEK yang notabene adalah tanggung jawab kalian. Hai cuk! Memang kalian pikir pers itu mau ngapain? Kalian pikir mereka akan membawa bom ke area OSPEK? Atau membakar ban di tengah lapangan? Atau orasi untuk memprovokasi mahasiswa baru? Jangan lebay deh, mereka itu wartawan, bukan teroris, bukan juga ormas radikal yang sangat ditakuti pemerintah itu. Paling pol mereka hanya wawancara, itu pun dilakukan ketika jam istirahat atau ketika acara selesai. Jadi tidak ada alasan kehadiran mereka akan mengganggu kegiatan OSPEK.
Sikap anti kritik kalian itu mengingatkan saya pada seorang diktator besar yang pernah menguasai Indonesia selama tiga dekade lebih, siapa lagi kalau bukan Mbah Harto. Untung saja kalian tidak punya kekuasaan seperti Mbah Harto, kalau punya mungkin sedetik setelah artikel ini terbit saya hanya tinggal nama. Sebenarnya siapa yang mewarisi perilaku sok kuasa pada diri kalian? Birokrat kampus? Wajar! Saya selalu berharap, semoga kalian tidak akan pernah mendapat kekuasaan macam itu, kecuali Tuhan menganugerahi kalian sebuah pencerahan.
Cuk, sebenarnya bagaimana kalian memaknai sebuah kritikan? Sampai-sampai kalian begitu alergi dengan satu kata itu. Bukankah tidak akan ada sesuatu yang besar tanpa ada kritikan? Sebab tanpa kritikan maka kalian akan sulit melihat sebuah kekurangan dalam diri kalian. Dan tanpa kalian tahu kekurangan itu, kalian tak akan pernah bisa berkembang. Jika tidak bisa berkembang, maka kalian akan stuck, tak akan pernah menjadi besar. Akhirnya mahluk-mahluk macam kalian akan punah, tergilas oleh mereka yang berpikiran lebih terbuka.
Sadarilah cuk, paradigma kalian itu adalah paradigma yang primitif. Sebuah paradigma yang sudah sejak dua puluh tahun lalu dihancurkan, bahkan yang memotori penghancuran itu adalah para mahasiswa. Ya, mahasiswa, seperti status yang kalian banggakan sekarang itu. Kalian tahu, perjuangan itu bahkan harus melalui tragedi berdarah yang membuat ratusan pejuang gugur. Dan sekarang kalian justru dengan bangga menumbuh suburkan lagi paradigma-paradigma najis macam itu. Apakah ratusan pejuang yang mati itu tidak cukup untuk kalian, sehingga secara sadar kalian menghianati perjuangan mereka? Atau memang kalian tak pernah tahu sejarah itu? Wah, bahkan kalian sudah lupa pada pesan Bung Karno untuk tidak pernah melupakan sejarah. Astaghfirullah.
Cuk, ayo lah, jika sama adik-adik mahasiswa baru kalian begitu berani, kenapa sama anak-anak persma saja mereka begitu takut? Jika sama adik-adik mahasiswa baru saja kalian bisa begitu garang, kenapa sama anak-anak dekil dan kurang gizi itu kalian parno? Kenapa kalian beraninya hanya sama anak-anak ABG polos yang baru mentas dari dunia putih abu-abu? Jelaskan pada saya Cuk, jelaskan, saya butuh kepastian! Oh iya, satu lagi, kenapa dengan birokrat kampus kalian begitu nurut? Ah, lupa, bukankah kalian sendiri yang bilang, kalau kalian adalah tangan kanan birokrat. Sehingga yang utama adalah bagaimana bapak bisa senang. Maaf, usia yang semakin menua membuat saya agak pelupa.
Saya pikir surat ini sudah terlalu panjang untuk orang-orang yang malas membaca macam kalian, Cuk (semoga ini prasangka saya saja). Sebab orang yang rajin membaca tak akan berotak seperti Patrick, tidak berotak! Akhirnya saya hanya ingin berpesan saja, bukalah sedikit pikiran kalian untuk belajar. Bersikaplah sebagaiamana orang dewasa semestinya. Karena tidak terlalu jadi soal kalau kalian kere, asal tidak pandir saja. Tuhan tidak akan terlalu mempersoalkan kemiskinanmu, tapi celakalah kalian jika jadi orang malas belajar dan tetap nyaman berkubang dalam kebodohan. Pesannya tidak nyambung ya? Luweh!
Cukup sekian, cuk. Cukup cinta yang tak sampai saja yang membuat kalian baper, tulisan ini jangan! Jika ada salah kata dalam surat ini, itu sebenarnya penafsiran kalian saja yang cacat. Selamat bertugas.
Tabik.
2 Responses
Kalau tidak tahu hal yang sebenarnya jangan sok tahu ya, lebih baik di telusuri dulu . Saya tidak tahu apakah bahasa seperti ini sudah memperhatikan kode etim jurnalistik apa tidak. Menurutku (karena saya adalah orang jurnalis) bahasa seperti ini tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Mohon untuk kedepan nya kalian lebih profesional lagi dalam menyampaikan berita, nggih. Terima kasih
Dik Riski yang baik hati, sebelumnya terimakasih sudah membaca tulisan di atas sampai selesai (mungkin), bahkan sempat menuliskan saran di kolom komentar. Oh iya, kalau boleh tanya, Dik Riski jurnalis mana ya? Tahu satire? Boleh dong saya diajarin jadi jurnalis yang baik seperti Dik Riski 🙂