Oleh Adnan Achmad Fauzi
Pesatnya perkembangan zaman membuat segala aspek kebuhutan hidup dituntut mengikutinya, tak terkecuali sandang. Dewasa ini banyak bermunculan berbagai model busana, mulai busana modern hingga klasik. Ada juga yang memadukan busana modern dan klasik, bahkan sekarang ini banyak desainer yang mengangkat kembali busana-busana tradisional dengan berbagai macam desain dan model sehingga jauh dari kata kuno dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya adalah batik jumputan. Meski tidak dipungkiri, batik jumputan ini menuai banyak pro dan kontra. Sebabnya menurut beberapa budayawan dan akademisi, ‘batik’ dan ‘jumputan’ adalah sama. Batik ya jumputan, begitupun sebaliknya, jumputan ya batik. Namun para pengrajin batik tulis tidak membenarkan teori itu, meski batik dan jumputan sama-sama motif yang digambarkan pada selembar kain.
Namun jika dilihat dari cara pembuatannya, antara batik dan jumputan menggunakan teknik yang berbeda. Batik tulis menggunakan canting untuk menggoreskan motif, dan pewarnaannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam sebagai perintang zat warna yang diserap oleh kain. Lain lagi dengan jumputan, dimana motifnya didapatkan melalui teknik ikat celup. Artinya untuk mendapatkan motif pada kain, digunakan perintang berupa jahit jelujur kemudian diikat menggunakan tali rafia, karet, maupun benang. Untuk melihat hasil akhirnya, batik tulis harus dilorot, yaitu dicelup dengan air panas untuk menghilangkan malam yang menempel pada kain. Sedangkan pada jumputan dilakukan dengan mendedel ikatan-ikatan pada kain, sehingga menyisakan motif-motif putih yang tidak terkena tinta. Pewarna yang digunakan untuk keduanya sama, yaitu pewarna yang biasa digunakan untuk membuat batik.
Di tengah masyarakat, jumputan inilah yang biasanya disebut sebagai batik jumputan. Pemahaman itu sebenarnya mengarah pada kain jumputan. Namun kain jumputan ini lebih populer dengan sebutan batik jumputan. Seiring perkembangannya, kain jumputan ini banyak diaplikasikan menjadi pakaian jadi sesuai dengan tren dan permintaan konsumen. “Ya macem-macem mas, mulai dari kain, rok, blus, pasmina, tas, dompet, kaos juga ada,” ujar Rani, salah satu pengrajin jumputan di Kampung Celeban, Kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Berbekal keterampilan yang didapatkan dari pelatihan di kelurahan selama tiga hari serta ilmu yang ia peroleh di bangku sekolah kejuruan jurusan tata busana, Rani memulai usahanya seorang diri benar-benar dari nol, sejak tahun 2011 silam. Tentu tidak mudah mengawali sebuah usaha, keterbatasan tempat produksi, kesulitan pemasaran, hingga cemoohan tetangga sudah jadi makanannya setiap hari. “Dulu buat jemur aja masih pakai bambu dari tetangga, pokoknya apa aja mas asal bisa buat jemur,” ujarnya.
Namun berkat ketekunan dan kemampuannya berinovasi membuat berbagai model desain dan motif jumputan, kini produknya semakin banyak diminati dan usahanya semakin berkembang. Di awal usahanya, proses pembuatan motif, menjahit, hingga menjadikannya pakaian jadi Rani lakukan sendiri. Kini, Ia sudah memiliki sedikitnya 50 pegawai yang kebanyakan adalah warga sekitar mulai dari ibu rumah tangga, lansia, janda, bahkan ada diantaranya adalah difabel. Alasannya, tidak banyak usaha yang mau mempekerjakan mereka. “Sekarang siapa mas yang mau mempekerjakan lansia? Gak ada kan? Tapi kami sebaliknya. Namanya juga usaha bersama, jadi kami mempekerjakan masyarakat sekitar sini. Kami mempekerjakan ibu rumah tangga, lansia, janda, mahasiswa, difabel juga ada lho. Bahkan anak sekolah kalau lagi libur juga banyak yang kerja di sini,” jelas Rani ketika kami wawancarai di kediamannya.
“Pertama-tama cuma buat dua potong (kain), tiga potong (kain). Terus untungnya saya belikan hanger, manekin, kain, sama bahan-bahan buat (kain) jumputan. Sekarang kalau produk jadi seribu aja ada,” tambah Rani menceritakan keadaan usahanya dulu sampai sekarang.
gambar macam-macam produk dari kain jumputan
Awalnya banyak tetangga yang meragukan langkah Rani untuk memulai usaha kain jumputan. Banyak yang meragukan apakah nantinya bakal laku, karena saat itu memang belum banyak yang tahu keberadaan Kampung Wisata Batik Jumputan di Kelurahan Tahunan. Tapi Rani menganggap semua itu adalah tantangan, dan kini Ia menjawab semua keraguan orang-orang tersebut.
Rani juga sempat bimbang ketika akan menjajal usaha kain jumputan, pasalnya sebelumnya Ia sudah menjadi seorang penjahit. Sehingga Ia harus membagi waktu dan tenaga antara menjahit dan memproduksi kain jumputannya. “Sebelum ke jumputan ini kan saya menjahit, kalau kerja bisa sampai jam 2, jam 3 pagi. Otomatis konsentrasi sudah terkuras. Saya harus fokus ke jumputan. Jadi pelan-pelan saya lepas jahitan, terus fokus ke jumputan,” ujarnya.
Untuk memasarkan produknya, awalnya Rani mengikuti berbagai pameran, paguyuban, menyebarkan kartu nama, hingga akhirnya kain jumputan buatannya mulai menyebar dari mulut ke mulut, hingga akhirnya Ia membuka show room di kediamannya. Ia juga banyak dibantu oleh mahasiswa yang kost di sekitar rumahnya untuk memasarkan produknya secara online. Facebook dipilih sebagai media pemasaran online utama oleh Rani, sebab pertemanannya di akun Facebook mencakup berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat negara. “Saya itu gak tahu komputer sama sekali, internet juga gak tahu. Jadi kan banyak mahasiswa kost di sini, saya minta tolong dibuatkan Facebook, ng-upload foto, ngetik, caranya buat iklan. Kadang kalau saya lupa (cara membuat iklan), tengah malam saya bangunkan itu anak-anak (mahasiswa),” jelasnya antusias.
Satu potong kain jumputan dijual dengan harga beragam, mulai dari 125 ribu sampai 700 ribu Rupiah. Sedangkan untuk barang jadi dijual dengan harga 150 ribu sampai 500 ribu Rupiah. Dengan modal awal tidak mencapai 200 ribu Rupiah, kini pendapatan Rani bisa mencapai 50 juta Rupiah tiap bulan. Bagaimana, berminat menjadi pengusaha kain jumputan, atau masih mantap beternak ikan lele? Hehehe
Semakin populernya jumputan, membuatnya banyak ditampilkan sebagai busana peraga atau aksesoris untuk berbagai macam acara. Misalnya ketika acara pagelaran malam tirakatan di Kampung Tuntungan, Kelurahan Tahunan, Umbulharjo pada 16 Agustus lalu. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama pemuda desa dan mahasiswa KKN Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Salah satu acara di dalamnya adalah penampilan fashion show jumputan yang diperagakan oleh mahasiswa UST. Menurut Imam Mustofa salah satu panitia penyelenggara, jumputan sengaja ditampilkan karena merupakan salah satu identitas Kelurahan Tahunan. “Jumputan kan identitas Tahunan, Tahunan terkenal dengan kampung jumputannya. Makanya kami tampilkan,” ujar Imam.
Usaha jumputan yang kian banyak peminat membuktikan bahwa menjadi sukses dengan penghasilan besar tak selalu harus merantau ke kota. Desa yang awalnya dipandang tidak mempunyai apa-apa sebagai kekuatan ekonomi, kini dengan adanya industri jumputan mampu membuka lapangan pekerjaan sekaligus menopang perekonomian masyarakat setempat. Pengrajin jumputan yang awalnya hanya sebanyak hitungan jari, kini sudah mencapai ratusan. Jadi tidak salah jika pemerintah merencanakan pembangunan ekonomi berbasis desa. Dan yang harus diingat, seperti salah satu lagu Efek Rumah Kaca, bahwa pasar bisa diciptakan. Yeahh.