sumber gambar Pixabay
Oleh Widi Hermawan
Tempo hari saya membaca sebuah tulisan pendek di beranda sosial media saya. Penulisnya adalah salah satu orang yang ‘menyesatkan’ saya dengan bermacam pandangan-pandangannya yang ‘nyleneh’ tapi ya memang begitu adanya. Sebut saja orang itu Mas Ali, ya begitu saya kerap memanggilnya. Saat itu gempa Lombok sedang santer-santernya dibicarakan. Beranda sosial media saya bahkan hampir dipenuhi oleh lantunan doa, kata-kata mutiara, motivasi, juga berita-berita dari berbagai media online. Mas Ali ini justru membuat tulisan yang kurang lebih isinya gempa lombok hanyalah derita lombok, bukan derita kita yang di Jogja, Jakarta, Aceh, Papua, atau daerah-daerah lain di seluruh penjuru nusantara. Sebab kita tidak bisa apa-apa.
Sebagai orang yang sangat mencintai persatuan, dimana NKRI bagi saya adalah harga mati, saya tentu menolak keras pandangan tersebut. Karena sampai sekarang, nasihat guru PKn saya sewaktu SMP masih sangat membekas dalam benak. Guru PKn SMP saya berkata bahwa Indonesia itu kesatuan, masing-masing daerah, pulau, semua ibarat anggota tubuh yang saling melengkapi membentuk kesempurnaan tubuh seorang manusia. Sehingga jika tangan sakit karena tak sengaja teriris pisau saat masak, maka semua bagian tubuh yang lain juga merasakan sakit. Jika kaki yang sakit karena terperosok selokan saat mencari kecebong, semua bagian tubuh juga merasa sakit. Pun ketika gigi sakit karena tidak pernah menyikatnya menggunakan Kepsoden, semua bagian tubuh lainnya juga turut menderita. Apalagi jika hati yang sakit, hadeeuhhh.
Namun saya tak mau jadi warganet yang hanya baca judul berita pencari sensasi ributnya sudah setangah mati. Saya membaca tulisan itu larik demi larik sampai selesai, tak langsung terbakar seperti kaum sumbu pendek dan kaum pentol korek. Setiap selesai membaca satu larik, selalu saya ikuti dengan pisuhan, tentunya dalam hati, sebab saya tidak mau citra saya yang alim rusak karena kata-kata kasar tak senonoh. Sampai selesai membaca keseluruhan tulisan itu entah sudah berapa kali batin saya misuh. Sebab saya merasa sangat tersindir dengan tulisan itu. Di malam yang dingin dan sunyi itu saya merenung, benar juga, gempa Lombok memang bukan duka kita, melainkan duka lombok itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan kita? Kita masih baik-baik saja, tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita. Kita masih bisa makan enak, tidur nyenyak, nonton Liga Inggris sampai pagi, main game online, nonton Youtube sambil nyruput kopi, semua berjalan normal-normal saja tak kurang suatu apapun, seperti biasanya. Kita hanya pura-pura ikut sedih saja di sosial media. Melantunkan doa-doa indah di sosial media untuk Lombok supaya terlihat peduli demi mencari simpati orang-orang. Padahal di dunia nyata kita sedang happy-happy nonton dangdut koplo di Youtube pakai wifi kampus. Sedangkan kaum hawa tengah sibuk menghayalkan roti sobek Jojo. Kita sama sekali tidak pernah merasa berduka, karena musibah Lombok memang hanya derita Lombok.
Kita hanya pura-pura peduli, sok simpati, dan memberi semangat di sosial media, sedetik kemudian kita kembali ribut entah dengan persoalan apa yang seolah tiada habisnya. Kita kembali asik meributkan soal stuntman, tentang kekalahan atlet kita di Asian Games, tentang siapa yang berhak masuk surga, Wahabby, NU, Muhammadiyah, HTI, Sunni, Syiah, atau alumni 212. Semenit kemudian kita gaduh soal ganti presiden atau tetap setia dengan yang lama. Soal siapa yang paling berjasa atas suksesnya kontingen pencak silat kita di Asian Games, Jokowi, Prabowo, atau Pak Eko. Kita kembali gaduh soal suara azan di toa-toa masjid. Kita kembali gaduh soal mana yang lebih syahdu, musik jazz, folk, pop, dangdut koplo, atau campursari. Kita kembali gaduh soal siapa yang lebih pantas memerankan tokoh Minke dalam film terbaru garapan Hanung. Kita kembali gaduh dengan apa saja, bahkan hal-hal yang paling remeh temeh sekalipun.
Bencana di Lombok memang derita Lombok itu sendiri, bukan derita kita. Bahkan kita tega memanfaatkan musibah Lombok untuk kepentingan politik kita. Tanpa merasa berdosa kita balut duka Lombok untuk menyembah berhala kita masing-masing, lagi-lagi antara Jokowi atau Prabowo. Kita sangat suka menyangkut-pautkan gempa Lombok dengan keberpihakan petingginya yang menyeberang ke kubu pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, bahkan kita menyebut ‘Lombok sedang diazab Tuhan’. Lalu kita yang lainnya, selalu menyebarkan dan membanggakan betapa pedulinya pemerintah kepada korban gempa Lombok melalui besarnya bantuan yang digelontorkan. Bukankah kita memang tidak pernah memikirkan perasaan mereka yang kita sebut-sebut sebagai saudara di Lombok?
Kita hanya sibuk membuka pundi-pundi donasi demi menaikkan nama yayasan, ormas, atau LSM yang kita dirikan, bukan karena cinta kita pada saudara-saudara di Lombok. Kita hanya sibuk mengeksploitasi kesedihan korban gempa Lombok demi meraup rating setinggi-tingginya untuk media-media kita. Kita tampilkan kepedihan-kepedihan Lombok di layar kaca demi mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Kita datang ke Lombok, sekadar untuk ber-swafoto di lokasi bencana dan kemudian mengunggahnya ke sosial media demi meraup pujian dan ‘jempol’ sebanyak mungkin dari warganet. Kita hanya sibuk berebut menjadi yang paling ‘terlihat peduli’ pada Lombok. Karena memang gempa Lombok bukanlah duka kita, melainkan duka Lombok itu sendiri. Sehingga tak perlu kita bersungguh-sungguh mengorbankan waktu, materi, darah, keringat, dan air mata untuk Lombok.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri juga ada orang-orang yang bekerja di balik layar. Mereka yang mencurahkan seluruh tenaganya, jiwa dan raga mereka tanpa lelah karena kecintaan yang tulus kepada saudara-saudara di Lombok. Mereka sangat jarang tampil di media, karena memang bukan itu tujuan mereka. Karena itu, saya pun tak ingin menuliskan banyak tentang mereka, sebab mereka tidak memerlukan itu. Saya hanya berharap mereka tetap istiqomah, dan semua korban yang berduka senantiasa diberikan ketegaran jiwa dan raga. Satu lagi, semoga Mas Ali tidak marah karena potongan tulisannya saya catut, bahkan saya jadikan judul untuk tulisan ini.