Rendahnya budaya literasi mahasiswa di era reformasi melatarbelakangi Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah FIS UNY mengadakan Talkshow Jurnalistik bertajuk “Menilik Kesucian Reformasi: Provokasi Politik Melalui Pers” pada Sabtu (15/11). Talkshow yang digelar di Ruangan Ki Hadjar Dewantara FIS UNY ini dimoderatori oleh Ersyah Yulia Nur dengan Mohammad Sobirin (Wartawan Kedaulatan Rakyat) dan Sihono (Ketua Persatuan Wartawan Indonesia DIY) sebagai pembicara.
Sihono menggambarkan bahwa sebelum Reformasi, pers sangat dijaga ketat oleh rezim Orde Baru. Namun sejak era reformasi pun perkembangan pers dirasanya justru memprihatinkan. “Kita sebagai bangsa seperti tidak mempunyai jati diri, yang katanya dasar Pancasila tadi justru makin menjauh,” ujarnya.
Bahkan, Sihono mengkritik sistem pers saat ini tidak jauh dari sekedar bagian dari kepentingan bisnis dan mengarah kepada kapitalisme dan liberal. “Sistem di pers di Indonesia sendiri sudah mengarah kepada kapitalis dan liberal. Jangankan di bidang pers, di bidang lain pun sama,” tegasnya.
Maka itu pada tanggal 16 Juli silam, Sihono membacakan Deklarasi Pers Pancasila. Dalam deklarasi tersebut termaktub lima poin:
- Wartawan Indonesia menghargai pluralisme, toleransi, dan keberagaman dalam menghasilkan karya jurnalistik,
- Wartawan Indonesia akan terus mengobarkan semangat gotong royong, solidaritas, saling berbagi dan tolong menolong di antara elemen bangsa,
- Wartawan Indonesia mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan,
- Wartawan Indonesia menghargai musyawarah mufakat dan tidak akan memaksakan kehendak dalam mengambil keputusan.
- Wartawan Indonesia siap mencerdaskan masyarakat dengan liputan inspiratif berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Dengan deklarasi ini Sihono berharap pers diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. “Kami deklarasikan ini karena nurani kami terusik oleh keadaan pers yang seharusnya untuk kepentingan rakyat justru lebih dinikmati oleh para pemilik modal dan pebisnis,” ungkapnya. (iqbal/afma)