Oleh Willy Andryan Permana
Beberapa mahasiswa memang kadung memiliki stigma negatif kepada organisasi mahasiswa ekstra kampus. Bahkan ada beberapa kampus yang menolak keras masuknya organ ekstra di lingkungannya. Pemberitaan baru-baru ini tentang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang ditunggangi partai politik melalui organ ekstra sebetulnya sudah jadi rahasia umum, pasalnya organ ekstra kampus memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Hampir setiap organ ekstra memiliki kesamaan ideologi dan hubungan yang sangat intim dengan partai politik. Hal ini yang biasa dijadikan alasan bahwa organ ekstra kampus berafiliasi dengan partai politik. Tidak sedikit pihak yang mengutuk tindakan partai politik karena telah memanfaatkan organisasi mahasiswa seperti BEM sebagai alat politik praktisnya.
Terlebih kita memasuki musim politik. Berbagai cara dilakukan partai politik untuk meraup suara generasi milenial. Mahasiswa adalah sasaran yang sangat strategis. Yang jadi soal, apakah salah ketika kader BEM misalnya, bergabung dengan organ ekstra yang sarat dengan kepentingan partai politik? Bukankah kampus memang wadah pembelajaran politik yang sangat strategis? Kalau tidak dari kampus, tidak dari generasi-generasi yang katanya intelektual ini, dari mana lagi partai dapat mencari kader? Bergabungnya mahasiswa ke dalam organ ekstra juga sebuah bentuk kebebasan berpolitik. Lalu kenapa kita begitu resah dengan kehadiran organ ekstra ke dalam kampus? Jawabannya karena kita tidak ideologis, kalau kita memiliki kader-kader dengan prinsip yang kuat, kenapa harus takut dengan ideologi partai politik yang dibawa organ ekstra? Ah, atau mungkin kita hanya takut eksistensi kita kalah dengan kader-kader organ ekstra?
Bagi saya, tidak jadi soal mahasiswa mengikuti organ ekstra kampus, tentunya selama dia tidak melakukan praktik-praktik politik praktis. Misal dengan terang-terangan berkampanye di dalam kampus untuk memilih Jokowi, Prabowo, atau Pak Eko. Karena saya yakin setiap organisasi mahasiswa entah itu intra maupun ekstra pasti memiliki tujuan yang mulia, baik untuk kader maupun untuk sekitarnya. Ingat ya, organisasi mahasiswa, berarti organisasi yang didirikan oleh mahasiswa, bukan oleh birokrat kampus, emak-emak muda, atau alien dari luar angkasa.
Yang perlu diresahkan justru mahasiswa-mahasiswa yang apatis, masa bodoh dengan sekitranya, tidak peduli dengan politik kampus maupun politik di negeri kita. Itu artinya atmosfer di dalam kampus gagal dalam membangun sisi kemanusiaan mereka. Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang, harusnya semakin tinggi juga nilai-nilai kemanusiaan di dalam dirinya. Semakin meningkatkan kepeduliannya dengan sekitar. Jika pendidikan malah hanya menciptakan manusia-manusia individualis yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, lebih baik ditiadakan saja pendidikan itu sama sekali.
gambar yang tersebar di sosial media (akun instagram @Pintarpolitik) tentang BEM dan Organ Ekstra
Semuak apapun dengan politik, setidaknya mahasiswa melek politik kampus, atau isu-isu yang tengah berkembang di sekitarnya. Bukan hanya jago bikin event, tapi juga lihai mengawal isu-isu kampus. Sebab mahasiswalah yang digadang-gadang akan memegang estafet kepemimpinan di negeri ini nantinya. Kalau sejak mahasiswa sudah apatis, apa jadinya dengan rakyat yang mereka pimpin nantinya? Mungkin para koruptor yang dibui itu adalah hasil dari mahasiswa apatis yang memegang jabatan. Hanya peduli pada perut sendiri, tanpa peduli dengan penderitaan rakyat, walhasil mereka tega memakan uang rakyat.
Entah apa yang membuat mahasiswa jadi apatis. Karena bawaan lahir atau karena system pendidikan di kampus yang memaksa mahasiswa menjadi apatis dengan tuntutan prestasi akademis, segudang tugas, dan masa studi yang semakin dikurangi. BEM atau organisasi mahasiswa apapun seharusnya menjadi rumah model bagi mahasiswa untuk belajar tentang politik dan isu-isu sekitarnya. Lebih dari sekadar rumah untuk berkumpul tanpa hasil, kecuali sentiment dengan sesamanya yang berbeda jalan dan pandangan. Mahasiswa bukanlah sekumpulan filsuf pemikir yang mementingkan nasibnya sendiri-sendiri dan terpisah dari realitas kehidupan. Mahasiswa adalah agent of change, agen perubahan bagi masyarakat, seperti yang digaungkan oleh para pendahulu. Sayangnya sekarang tinggal konsepsi kosong karena pada realitasnya kita masih apatis terhadap sekitar.
Jadi bukan masalah apabila kader BEM menjadi anggota organ ekstra, karena itu adalah jalan yang dipilih mereka untuk mengasah pemikiran kritis dan berproses menjadi manusia. Yang jadi masalah itu jika ada anggota BEM atau organisasi mahasiswa apapun yang menjadi apatis. Jika para organisasi mahasiswa saja sudah menjadi apatis, siapa lagi yang akan menjadi inisiator dalam mengasah nalar sehat dan pemikiran kritis? Dosen, birokrat kampus? Huh. Apakah separah itu krisis panutan yang dialami generasi kita?
Ke mana hasil pelatihan-pelatihan softskill yang sangat sloganis dan menghabiskan dana puluhan juta itu? Lebih baik anggarannya dipakai untuk meremajakan buku-buku using di perpustakaan. Itu adalah yang paling mendasar. Karena dari buku demi buku yang dibacalah akan tumbuh sisi kemanusiaan. Dan dengan banyak membaca, mahasiswa akan lebih ideologis, sehingga tidak perlu takut dengan kehadiran ideologi organ ekstra kampus atau bahkan partai politik. Kalau tidak percaya, tanya saja sama orang-orang yang alergi dengan organ ekstra, berapa buku yang sudah mereka baca sampai setua itu.
1 Response
Sudut pandang yang bagus, semoga banyak mahasiswa yang punya paradigma ini. Tidak hanya dari satu lubang kecil melihat suatu hal yang besar.