Sumber Gambar : merdeka.com
Oleh : Mukhamad Fairuz Zaman
Jika membicarakan permasalahan pendidikan, tentunya akan sangat luas sekali cakupannya. Permasalahan yang datang bisa datang dari konsep pendidikan (kurikulum), dari praktisi lapangan pendidikan (tenaga pengajar), atau bisa juga dilihat dari sudut kurangnya minat untuk menjadi guru. Dalam mengatasinya, pemerintah memfokuskan ke dalam beberapa hal, salah satunya untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan sarana dan prasarana pendidikan. Untuk merealisasikannya 20% dari Anggaran Pendapatan, dan Belanja Negara (APBN) dikerahkan untuk menunjang sektor pendidikan. Jika dikonversikan kedalam rupiah sebesar 444,1 Triliun Rupiah, naik 3,2 T dari RAPBN 2018 (kemenkeu.go.id).
Minatnya menjadi guru menjadi permasalahan yang riil bagi calon mahasiswa yang notabene lebih ingin menempuh pada profesi-profesi yang dirasa lebih “aman” dalam memperkaya materialnya. Kamarudin Amin selaku Dirjen Pendidikan Islam mengatakan “ sampai pada tahun 2021, kekurangan guru secara nasional sudah mencapai 40% dari total jumlah guru se-Indonesia. Sedangkan untuk Guru Agama berjumlah 20 ribu orang” ujarnya saat memberikan pengarahan pada rapat koordinasi rektor/ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri(24/09).
Untuk menepis hal itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru yang dirangkum dalam Program Pendidikan dan Pelatihan Guru. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagai salah satu upaya peningkatan minat dan mutu guru pada satuan pendidikan formal. Hal ini dikukuhkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentag Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan.
Namun, sertifikasi guru per 1 Januari 2018 dialihkan ke dalam program baru bernama Program Profesi Guru (PPG). Mengacu kepada PERMENDIKBUD No. 37 tahun 2017 tentang peraturan PPG, program prematur ini terbagi menjadi dua, PPG Pra Jabatan dan PPG dalam jabatan. Yang menarik dari peraturan kementrian pendidikan dan kebudayaan itu adalah pada pasal 4 yang mengarur persyaratan program PPG. Pada pasal 4 tertulis sebagai berikut;
Pasal 4
Peserta program PPG harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat(D-IV);
b. Guru dalam Jabatan atau pegawai negeri sipil yang mendapatkan tugas mengajar yang sudah diangkat sampai dengan akhir tahun 2015;
c. Memiliki Nomor Unik Peniddik dan Tenaga Kependidikan(NUPTK); dan
d. Terdaftar pada data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada poin A menjelaskan bahwa peserta PPG minimal harus menempuh diploma empat (D4) atau sarjana (S1) saja, yang berarti bahwa lulusan dari non kependidikan dapat mendaftar untuk menjadi tenaga pendidik melalui PPG. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar apakah dengan hadirnya PPG dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas guru yang dinilai sebagai sumber permasalahan pendidikan yang ada. Sebelum lahirnya UU Guru dan Dosen, lulusan di kampus yang dikenal sebagai Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan seperti Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, dan lainnya secara tidak langsung sudah berhak untuk menjadi guru.
Saat ini, sejak banyaknya peraturan-peraturan yang mengikat dan mendefinisikan tenaga pendidik seperti UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, PP tentang Guru No 19 tahun 2017, hingga Permenristekdikti tentang Standar Pedidikan Guru No 55 tahun 2017 menjadi guru sudah menjadi profesi. Ditambah peraturan baru dari PERMENDIKBUD No. 37 tahun 2017 yang mengharuskan lulusan LPTK yang sudah berpredikat sarjana pendidikan (SPd) harus mengikuti PPG. setahun pula. Setelah mengenyam tambahan pendidikan selama setahun dalam PPG, maka sarjana pendidikan akan ‘dicap’ profesional dengan titel tambahan Gr. Konsepnya senada dengan lulusan dokter dengan KOAS-nya.
Namun apakah setelah bersusah payah menembus ruang-ruang untuk mendapatkan sertifikat guru profesional tersebut sarjana Gr. akan langsung mengajar dan ditempatkan oleh pemerintah di sekolah, layaknya pemerintah mensejahterahkan pegawainya (red- PNS) lewat PKN STAN tersebut? tentu tidak. Lagi-lagi lulusan Gr. harus kembali berjuang untuk mendapatkan ‘posisi’ mengajar ke sekolah-sekolah. Tentunya dengan gaji dan kesempatan yang lebih besar dari lulusan yang belum mengikuti PPG.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, apakah dengan diterimanya di sekolah-sekolah guru profesional bertatahkan Gr. ini akan sejahtera? –jika orientasinya penghasilan-. Setiap sekolah swasta maupun negeri memiliki kebijakan dan dana yang berbeda-beda. Indonesia memiliki ratusan pulau. Terdapat istilah 3T (Tertinggal, terluar, dan Terdepan) kemampuan tingkat fasilitas dan kemampuan dana pun beragam. sila disimpulkan sendiri.
Kembali kepada PERMENDIKBUD No. 37 tahun 2017, PPG terbagi menjadi Pra jabatan dan dalam jabatan. Pada Pra jabatan inilah yang menjadi keresahan jama’ah petarung titel SPd. Yang menjadi akar permasalahannya adalah mengapa PPG ini terbuka kepada seluruh lulusan baik kependidikan maupunnon kependidikan. Lulusan SPd yang menempuh masa studi –normalnya- empat tahun menempuh studi kependidikan di Universitas kependidikan ditambah satu tahun masa PPG harus (mau) disamakan dengan lulusan non kependidikan yang hanya satu tahun di PPG.
Logika kasarnya memang lulusan non kependidikan memiliki kekayaan ilmu yang lebih, ketimbang lulusan kependidikan. Karena jelas, pada studi lulusan non kependidikan lebih difokuskan sesuai dengan program studinya masing-masing bukan pedagogi. Namun, apakah ini merupakan jalan rasional untuk meningkatkan kualitas lulusan SMA/SMK/sederajatnya. Beda lagi jika tujuannya untuk meningkatkan kuantitas dari guru lalu menyebarkannya ke seluruh Indonesia khususnya pada daerah 3T tadi, maka ini sangat rasional.
Seharusnya, jika memang pada sektor pedagogi dibuka seluas-luasnya bagi non kependidikan untuk masuk, hal tersebut harus diterapkan senada dengan profesi-profesi lainnya seperti doktor dengan KOASnya. Doktor bisa masuk kedalam dunia pendidikan, maka guru pun bisa masuk kedalam dunia kedokteran. Jengjeng
Namun, ini merupakan salah satu usaha dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Terlalu cepat jika disimpulkan program prematur ini program gagal. Dengan 20% APBN tadi pemerintah pastinya mempunyai jalan-jalan lain agar sektor pendidikan menjadi lebih cerah lagi dengan lulusan lebih berkompeten lagi. Memang, lebih mudah mengontrol unggas-unggas agar berproduksi lebih masif daripada mengurusi manusya. Dengan kata lain kita membicarakan untuk mengarahkan dan menanamkankepada makhluk yang berakal dan dapat berpikir tentunya. [Fairuz]