Sumber Gambar : gorontalo.tribunnews.com
Oleh : Widi Hermawan
Semakin hari saya melihat tingkah orang-orang beragama semakin anomali. Mari kita flashback, mengingat-ingat kembali pelajaran PAI ketika SMP dulu. Di dalam buku-buku paket atau sejenisnya yang kerap dipakai dalam pelajaran PAI, pengertian agama tertera sangat jelas. ‘A’ berarti tidak, dan ‘gama’ berarti kacau, kedua kata itu berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya apa? Artinya jelas, bahwa adanya agama tidak lain adalah untuk mencegah kekacauan, menjaga keseimbangan, dan keteraturan dalam hidup.
Namun realita sekarang justru terbalik, karena agama kehidupan malah jadi tidak keruan. Agama dipolitisir, lebih jauh lagi agama juga sudah jadi barang komoditas perdagangan, sederhananya agama dikomersilkan. Bukannya berpolitik sesuai nilai-nilai keagamaan, para politikus malah menggunakan agama sebagai topeng dari kebusukannya demi meraih kekuasaan. Alih-alih berdagang sesuai syariat agama, label-label berbau agama justru dipakai untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari orang-orang yang latah dalam beragama.
Lebih jauh lagi, mari kita melihat kondisi umat Islam dalam beragama sekarang, khususnya di Indonesia. Selain kata agama, arti kata Islam juga sangat mudah kita temukan di buku-buku sekolah, bahkan di tingkat sekolah dasar. Banyak versi tentang makna islam, tapi secara bahasa, islam paling banyak dimaknai ‘damai’ atau ‘selamat’. Artinya apa? Artinya jelas, bahwa islam hadir untuk mewujudkan kedamaian dan keselamatan. Bagi siapa? Bagi alam semesta, bukankah islam adalah rahmat bagi alam semesta?
Sayangnya yang kita lihat adalah, jangankan bagi alam semesta, sesama umat islam saja masih saling sikut-menyikut, masih saling berebut kebenaran, masih saling gontok-gontokan, masih saling takfiri satu sama lain. Walhasil peperangan demi peperangan terus saja terjadi. Wajah islam yang seharusnya menyejukkan, malah tampak bringas. Tidak heran masih saja ada fenomena islamophobia, dimana islam selalu diidentikkan dengan teroris. Terlepas dari narasi bahwa fenomena ini lahir dari konspirasi yang dibangun Amerika, CIA, Freemason, dan kawan-kawannya. Bagi saya, selama cara beragama umat islam masih seperti sekarang, akan sangat sulit menampik stigma buruk yang sudah sangat melekat di tengah masyarakat itu.
Sebelum tulisan ini jadi polemik, dan saya dicap sebagai penista agama, serta Mojok dicap sebagai kumpulan penulis kafir hingga akhirnya gulung tikar (lagi), saya akan jelaskan dulu maksud beberapa poin yang sudah saya tulis di atas. Saya tentu tidak menyalahkan agama apa lagi islam atas kekacauan demi kekacauan saat ini. Saya yakin betul bahwa agama, termasuk islam hadir sesuai fitrahnya. Membawa kedamaian. Lalu yang salah apa? Yang salah adalah para pemeluknya yang tidak bisa memanifestasikan islam sesuai dengan islam itu sendiri. Itu mengapa, dalam kitab suci banyak dikatakan “kepada orang-orang yang berpikir atau berakal”. Kenapa? Karena agama memang tidak diperuntukkan untuk orang-orang, maaf goblok.
Baik, mari kita kembali lagi ke pokok persoalan. Dari fenomena-fenomena di atas, maka sekarang muncullah ‘aliran-aliran’ islam baru. Aliran-aliran yang tidak lebih dari sekadar slogan dan malah semakin memperkeruh suasana. Sekarang muncul lingkaran-lingkaran yang menamai diri mereka sebagai islam toleran, islam moderat, islam damai, dan islam-islam dengan slogan serupa. Ada hal yang tidak disadari oleh orang-orang dalam lingkaran itu, bahwa slogan-slogan yang mereka pakai justru semakin menguatkan stereotip tentang islam yang berkembang saat ini. Bahwa ada islam toleran berarti ada islam intoleran, ada islam moderat berarti ada islam ekstrem, ada islam damai berarti ada islam rusuh.
Mereka lupa bahwa islam dan toleransi adalah satu kesatuan, islam dan moderat adalah satu kesatuan, serta islam dan damai adalah satu kesatuan. Maksudnya begini, islam ya toleran, kalau tidak toleran ya bukan islam. Islam ya moderat, kalau tidak moderat ya bukan islam. Islam ya damai, kalau yang suka rusuh ya bukan islam. Nah, sampai di sini jelas kan? Anak SD saja paham, kalau ‘topi saya ya bundar, kalau tidak bundar ya bukan topi saya’.
Nyatanya mereka yang memakai slogan-slogan toleran, moderat, damai, dan sebagainya sekarang malah tidak ada bedanya dengan golongan-golongan yang tadinya menjadi antitesis narasi mereka. Mereka yang mengaku paling toleran, menganggap semua yang berbeda dengan mereka intoleran, lalu apa bedanya kedua golongan itu? Mereka yang memakai slogan moderat, ketika ada sikap berbeda dari golongan lain langsung melabeli golongan tersebut radikal, ekstrem, garis keras. Lalu apa bedanya kedua golongan tersebut? Sama-sama fanatis yang juga-ujungnya sama-sama pada ekstremisme. Slogan-slogan itu tak lebih hanya melahirkan bighot-bighot baru bersumbu pendek.
Ketika mendengar islam toleran, saya jadi ingat frasa ‘jomblo ngenes’, karena jomblo itu sudah ngenes tanpa harus diberi imbuhan ngenes di belakangnya. Kata ngenes sudah manunggal dengan kata jomblo, keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun yang berkata “I’am single and very happy” itu adalah usaha orang-orang munafik untuk menutupi ke-ngenes-an mereka saja. Dan ingat wahai saudaraku, orang-orang munafik, bukanlah golongan kami!
Jadi sampai di sini sudah sangat jelas tho, mengapa kita tidak perlu lagi memakai slogan-slogan semacam toleran, moderat, damai, dan sejenisnya untuk ditempelkan dengan kata islam? Marilah terbiasa untuk tidak jadi penyembah slogan atau kata-kata. Mari kita mulai melakukan sesuatu berdasarkan nilainya, berdasarkan substansinya, bukan sekadar slogan-slogan manis tanpa makna. Mari kita mulai bertuhan, jangan hanya sibuk beragama terus, seperti yang diajarkan ulama kita, Cak Nun.
0 Responses