Gambar: tarbiyatul.com
Oleh: Adnan
Melihat sejarah terbentuknya pancasila, tentu tidak akan terlepas dari suatu naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah yang sekarang kita kenal sebagai Piagam Jakarta, merupakan tonggak awal tercetusnya Pancasila lebih-lebih nilai toleransi didalamnya.
Secara garis besar, Piagam Jakarta memuat garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Selain itu, Piagam Jakarta adalah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Republik Indonesia.
Tentu, dalam perumusannya terdapat beberapa perbedaan pendapat antara nasionalis-sekuler dengan nasionalis-islam. Seperti saat penggantian kalimat pada sila pertama yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tidak mudah mencapai kata sepakat untuk mendapatkan titik temu dari dua kutub yang besebrangan tesebut. Diperlukan sikap saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
“Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka (umat Islam) diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka,” ujar tokoh Masyumi, M. Isa Anshari dalam sidang Konstituante 1957, seperti dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981).
Baca Juga: Sentimental Pendidikan dan Politik di Seminar Nasioal di UNY
Dari peristiwa bersejarah ini, ada pelajaran yang sekiranya dapat diambil oleh generasi sekarang, bahwa kita diajarkan untuk mementingkan kepentingan bersama demi mencapai tujuan bersama yang lebih besar.
Namun pertanyaanya kini, ketika tujuan tersebut telah susah payah diusahakan oleh para pendiri bangsa, masih bisakah kita merawat dan menjaga nilai toleransi tersebut?
Dewasa ini kita sering dihadapkan dengan berbagai masalah intoleransi. Terlalu sompral kiranya jika sekarang kita masih memandang bahwa keberagamaan suku, adat, budaya tetap membuat kita menjadi satu, seperti semboyan Negara Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”.
Di tahun 2018 kemarin saja, terdapat beberapa kasus intoleransi, seperti perusakan Pura yang terjadi di Lumajang, penyerangan terhadap ulama di Lamongan, ancaman bom di Klenteng Kwan Tee Koen Karawang serta serangan Gereja Santa Ludwina di Sleman.
Sebetulnya, jika kita runtut dari sejarah berdirinya Indonesia sendiri, kita merdeka dan berdaulat tidak hanya diprakarsai oleh satu agama, gologan, ras, atau suku. Tetapi oleh keberagaman tersebut, yang memiliki tujuan sama yaitu merdeka serta rasa senasib dan sepenanggungan.
Baca Juga: Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) Mengadakan Aksi Mahasiswa Menuntut Capres
Akan tetapi, setelah susah payah mencapai kemerdekaan yang diperjuangkan oleh beragam kelompok yang beragam, lantas kita melupakan rasa perjuangan tersebut?
Rasa-rasanya, terlalu picik jika kita sampai melupakan hal tersebut. Tidak perlu kita kembali ke Zaman Kolonial Belanda hanya untuk menyatukan keberagaman didalam satu wadah untuk mencapai tujuan merdeka.
Karena bagaimanapun, merdeka sekarang dengan merdeka zaman kolonial memiliki perbedaan yang mencolok. Merdeka sekarang bukan melawan Belanda dengan meriam, tapi melawan segala bentuk penindasan dan intoleransi yang dilakukan oleh sesama anak bangsa yang sama hidung dan tingginya.
Kemudian, harus dimulai darimana kiranya supaya sikap toleransi dapat menyadarkan bahwa “kita yang berbeda” merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bumi nusantara ini?
Perlukah pembenahan metode ceramah di rumah-rumah ibadah?, walaupun saya yakin bahwa setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, berbuat bagi kemanusiaan dan hal sejenisnya, sehingga fungsi sejati agama agar tatanan kehidupan berjalan degan semestinya dan menciptakan perdamaian tidak disalahgunakan sebagai obyek pertunjukan siapa paing benar dan superior antar sesama manusia.
Akhir kata, sudah selayaknya kita tetap menjaga marwah nilai toleransi dan sikap saling menghargai antar sesama pemeluk agama serta merubah pandangan bahwa kemerdekaan hanya diciptakan oleh satu kelompok.