Problematika Peserta Didik Belajar dari Rumah di Mata Psikologi

Dalam situasi tanggap darurat bencana di bidang pendidikan, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat regulasi Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana. Regulasi ini bermaksud untuk melindungi keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk menjamin keberlangsungan layanan pendidikan yang terdampak bencana.

Belajar dari rumah (via daring) adalah langkah yang ditempuh kemendikbud agar kegiatan kependidikan tetap berlangsung di tengah bencana pandemi covid-19. Didasari dengan dasar hukum Permendikbud Nomor 33 tahun 2019  dan  Surat Edaran Nomor 15 tentang Pedoman penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (covid-19). Sekolah di berbagai daerah  mulai menerapkan sistem Belajar dari rumah terutama pada sekolah yang berada di zona kuning hingga hitam.

Polemik pembelajaran daring menjadi salah satu perdebatan mengenai keefektifan pembelajaran daring bagi peserta didik. Khususnya jenjang pendidikan dasar sederajat, pembelajaran daring dirasa tidak efektif bagi anak dan merepotkan bagi orang tua siswa.

Listiyani, Ibu dari seorang murid kelas 3 SD Terpadu Maarif Gunungpring, Muntilan, sadar betul bahwa peran dari orang tua sangat diperlukan untuk mendampingi anak ketika belajar dari  rumah. “Seperti untuk pelajarannya tuh, anaknya seperti gak bisa untuk menyelesaikan sendiri. Harus ada orang tua,” ujarnya.

Tugas dan materi sebagai pengganti pelajaran di kelas disampaikan melaui grup Whatsapp setiap harinya. Tak jarang, tugas yang diberikan oleh guru di sekolah tidak selesai hingga sore hari, karena tanpa guru nalar dari anak itu sendiri kurang dapat dimunculkan. Pada akhirnya soal yang diberikan oleh guru dikerjakan sendiri oleh Listiyani karena anaknya menangis. ”Materi yang dikasih gak maksimal karena yang ngerjain juga orang tuanya,” ungkapnya ketika ditanya terkait keefektifan belajar via daring.

Batik Tasik: Warisan Budaya Indonesia yang Harus Dilestarikan

Zuhdi Al Hakim, siswa kelas 3 SD Muhammadiyah Sleman merasa bosan karena tidak bisa berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah. Walupun begitu Hakim mengaku waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bermain di rumah daripada belajar. “Tergantung ngirimnya jam berapa” jawabnya singkat ketika ditanya bagaimana cara membagi waktu belajar dan bermain.

Dalam sebuah penelitian berjudul The psychological impact of the COVID-19 epidemic on college students in China dilakukan Cao dkk yang meneliti 7.143 siswa di China pada masa pandemi mendapat kesimpulan bahwa semua problem belajar secara daring pada semua level pendidikan mempengaruhi kesehatan mental peserta didik.

Yulia Ayriza, dosen Psikologi Perkembangan Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan UNY dalam sebuah seminar Karangmalang Education Forum (KEF) ke-7 secara virtual, menjelaskan bahwa Pembelajaran daring sebenarnya memiliki kelebihan juga yaitu mengembangkan kemandirian belajar siswa, metodenya cenderung student-centered. Walupun begitu karena adanya pandemi yang mendadak sehingga tidak ada masa transisi.

Seringkali waktu dan fleksibilitas dalam sistem belajar dari rumah dianggap sebagai dampak positif, padahal hal itu juga dapat menjadi pedang bermata dua. Pembelajaran daring menggunakan waktu yang lebih banyak dengan metode yang fleksibel, sehingga peserta didik terkadang tidak menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Perpindahan metode pembelajaran yang mendadak tentu mengundang sejumlah problematika dalam menghadapi metode yang bisa dikatakan baru ini. Yulia menyebutkan problematika yang terjadi diantaranya adalah anak menjadi kurang gerak dan bosan, bahkan stres dari tingkat menengah sampai berat, cenderung menerima tugas atau pekerjaan rumah lebih banyak. Tidak ada interaksi dengan guru membuat dirinya merasa kurang dilibatkan, dan tidak  adanya interaksi dengan teman sebaya secara aktif membuat kesepian dan kehilangan fasilitas belajar sosial dalam masa perkembangannya.

Kurang adanya praktik dalam belajar karena sulit terwujud melalui daring, timbul rasa khawatir karena biaya internet cukup banyak terutama bagi keluarga yang ekonominya terdampak pandemi. Mengalami gangguan emosional, yaitu sensitif dan mudah marah, serta mengalami perpindahan suasana hati. Dalam kondisi gangguan pada proses pembelajaran, mengakibatkan motivasi belajar menurun.

Pernyataan itu diperkuat dan ditambahkan oleh Kurnia Ramadhani dosen Psikologi UNY yang mengatakan bahwa jaringan yang buruk dan tidak stabil dari waktu ke waktu bisa membuat seseorang mudah marah dan dapat pula menurunkan motivasi belajar. Di satu sisi peran orang tua penting dan di sisi lain peran orang tua juga dapat memunculkan problematika lain.

“Karena kurang pengawasan atau orang tua kurang support atau justru sebaliknya orang tua kurang mampu mendampingi, isinya malah bertengkar dengan anak,” jelas Nina ketika ditanya pendapat mengenai pembelajaran daring di jenjang selokah dasar.

Integrated Farming: Pembaruan yang Menjanjikan

Dalam upaya untuk mengatasi problematika yang ada Cao mengemukakan dukungan sosial terbukti dapat mengurangi stress pada peserta didik. Dukungan bisa berasal dari lingkungan akademik, keluarga dan masyarakat atau pemerintah setempat.

Yulia berpendapat keluarga dapat memberikan dukungan sosial untuk meredam gangguan emosional. Dengan cara, pertama meningkatkan komunikasi antar anggota keluarga untuk menggantikan sebagian interaksi sosial yang hilang dengan kelompok sebayanya. Kedua, melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dalam keluarga. Ketiga, adanya kolaborasi sekolah dengan orangtua dalam melakukan pendampingan terhadap belajar anak agar bisa membantu kesulitan belajar yang dialami siswa.

Lain halnya dengan Nina yang menyatakan harus ada persiapan yang matang dari guru berkaitan dengan materi yang akan disampaikan ke orang tua. Sehingga orang tua siap menjadi pendamping. Dia juga menambahkan harus ada sistem yang baik untuk menunjang kegiatan pendidikan belajar dari rumah. “Misalnya kita buat software yang ramah anak dan yang sesuai dengan kebutuhan anak,” imbuhnya.

Sebagai penutup Yulia menambahkan teknologi memang tidak bisa menggantikan guru, tapi dengan proses yang didesain secara terencana bisa meningkatkan kualitas proses pembelajaran. “Barang siapa yang mampu beradaptasi, mereka lah yang akan terseleksi untuk survive,” ujarnya.

Penulis: Ade Listanto

Editor: Nia

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *