Aku habis mandi. Rambutku masih basah. Sedikit. Aku memang tidak pergi ke mana-mana hari ini dan kalau kamu tanya kenapa aku mandi, jawabannya masih sama; biar kamar mandi tidak kehilangan fungsinya.
Ya, ini aku Dita. Tentu kamu sudah tahu siapa aku dari apa yang diceritakan Arya sebelumnya. Sekarang aku mau gantian cerita.
Baca cerita sebelumnya: Magang Picisan
Kamu tahu betapa senangnya hatiku malam itu? Itu benar-benar menakjubkan! Kamu mungkin menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja tetapi sungguh kamu tidak tahu apa yang sedang meledak-ledak dalam hatiku.
Kamu tahu betapa mengejutkan dirinya? Dia mematahkan kesan pertamaku! Betapa dia ternyata memiliki pengetahuan tentang banyak hal. Semakin kamu mengenalnya justru kamu akan semakin bertanya-tanya siapa sebenarnya dirinya.
Tetapi kamu tidak usah tahu ya bagaimana awal kami saling kenal sampai pada malam itu. Aku tidak akan cerita. Oh, mungkin aku akan menceritakannya tetapi di lain waktu dan tempat? Bisa saja, siapa tahu kan? Toh, terserah aku juga. Mungkin kamu akan tidak menyangka kalau tahu itu adalah cerita tentang aku dan dia.
***
Sesampainya di kos, aku tidak langsung tidur. Aku buka-buka lagi buku pemberian Arya itu. Banyak kalimat lucu di sana. Entah memang lucu atau karena aku sedang berbahagia saja sehingga aku senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Di samping rasa senang yang menghinggapiku, aku juga dirundung cemas. Apakah setelah mengantarkanku, dia langsung pulang? Kalau iya, bagaimana kalau motornya tiba-tiba mogok di jalan? Ponselnya kan mati, rumahnya juga jauh, atau bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan? Sekarang hampir tengah malam pula. Duh!
Kalau pun tidak langsung pulang, di manakah dia tidur? Kalau dia tidur di kos teman, apa diizinkan oleh Ibu Kos-nya? Dia bilang, seandainya tidak tidur di kos, ya tidur di masjid. Aku sempat bertanya tentang itu.
“Emang bisa? Kalau takmir masjidnya nggak ngebolehin, gimana?”
“Masjid itu rumah Tuhan. Kalau yang punya rumah aja nggak apa-apa, kenapa satpamnya malah ngelarang-larang?”
Begitulah Arya, aku heran bisa-bisanya dia bersikap seperti itu. Seakan-akan tidak ada kata cemas dalam kamus hidupnya. Aku juga hampir tidak pernah melihatnya sibuk mengerjakan tugas atau mengeluh perihal kuliah.
“Kamu kok nggak pernah nugas sih? ” tanyaku suatu ketika.
“Gimana mau ngerjain, orang tugasnya yang ngerjain aku,” jawabnya sambil tertawa.
“Bisa-bisanya kamu tuh.”
Aku hanya bergeleng tidak habis pikir.
“Belajar itu rutinitas, kuliah itu intermezzo, Dit,” sahut Arya. “Di kampus, kamu mungkin bisa kuliah tapi di Bumi, kamu bisa belajar.”
***
Sudah dini hari. Aku harus segera tidur. Pagi nanti aku akan dijemput travel untuk berangkat ke Jepara, ke rumah Bude. Aku memang susah tidur kalau malam tapi kali ini ada hal yang lain dari biasanya yang jadi penyebabnya. Seperti ada bintang bersinar terang di anganku malam ini yang aku tidak ingin itu lekas sirna.
***
Singkat cerita, aku sudah sampai di Jepara. Di sini aku tinggal bersama Bude, Pakde, dan anak semata wayangnya, Mas Andre. Kegiatanku selama di sini paling bersih-bersih dan bercengkerama dengan keluarga Bude. Sesekali pergi keluar dengan teman-teman sekolah dulu. Iya, aku dulu SMA di sini.
Selama di Jepara, praktis komunikasi kami hanya berkirim pesan dan telepon secara virtual. Ya setidaknya dengan adanya kemajuan teknologi, kerinduanku bisa sedikit terobati.
Kalau malam aku susah tidur dan mendapati ia masih terjaga, itu adalah sebuah keberuntungan. Kenapa? Ya karena aku bisa meneleponnya! Asal kamu tahu dia itu tukang tidur! Dia hampir selalu bisa tidur di segala situasi. Bahkan tidak peduli kalau tempat umum sekalipun. Katanya, tidur itu ya oleh karena mengantuk bukan tempat dan waktu.
Teleponan dengannya itu seru. Selalu ada saja yang dia ceritakan. Walau kadang juga kurang penting tapi itu bukan masalah. Aku sudah senang bisa mendengar suaranya.
“Dita.”
“Iyaaa?” jawabku. Itu adalah A-nya Arya. Tiga harokat!
“Ah, nggak jadi deh. Tadinya mau bilang kangen cuma nggak jadi.”
“Loh kok gitu?”
“Ya percuma, kamunya kan sudah tahu.”
“Ahahaha.”
“Kamu kapan balik ke Jogja?”
“Nggak tahu. Pengennya sih cepet-cepet, mau ngurus PI juga soalnya.”
Kalau kamu lupa, aku ingatkan lagi. PI itu singkatan dari Praktik Industri atau Kuliah Praktik. Istilah populernya; magang.
“Aku tuh nggak dibolehin balik tauk sama Bude,” lanjutku.
“Masa?”
“Iya, suruh nemenin katanya. Nih ya, dengerin,” kemudian aku teriak ke Bude. “Budeee!!! Dita besok pulang ya!”
Bude sedang di kamarnya. Aku lagi sendirian di ruang tamu. Mas Andre pergi, belum pulang sedari siang. Pakde sedang keluar kota, tidak tahu balik kapan.
“Nggak boleh! Boleh pulang kalau udah Bude makan!” jawab Bude yang diusahakan keras agar terdengar olehku.
“Ih, nggak mau lagi…” jawabku memohon.
Bude memang suka memakan aku. Maksudnya, Bude suka menggigit-gigit lenganku. Tentu tidak benar-benar menggigit. Begitulah kalau kami bercanda dan hal itu kerap terjadi kalau larut malam Bude melihatku belum juga tidur.
“Tuh kan kamu tahu sendiri,” sambungku.
Arya hanya tertawa.
Setelah itu, Arya mulai bercerita yang kemudian aku menjadi tahu bahwa pembunuh tokoh-tokoh dunia seperti John Lennon, Abraham Lincoln, John F. Kennedy, dan Mahatma Gandhi itu memiliki satu kesamaan. Yakni, sama-sama memiliki nama yang terdiri dari tiga kata.
John Lennon dibunuh Mark David Chapman. Abraham Lincoln dibunuh John Wilkes Booth. John F. Kennedy dibunuh Lee Harvey Oswald. Mahatma Gandhi dibunuh Nathuram Vinayak Godse. Keempat tokoh itu juga mati dengan cara yang sama; ditembak.
Selain keempat nama tadi, masih ada nama-nama pembunuh lain seperti James Earl Ray, Sirhan Bishara Sirhan, Humberto Castro Munez, Leon Frank Czolgosz dan Charles Julius Guiteau. Kalau mau tahu lebih banyak lagi, cari tahu saja sendiri.
Ketika sedang asyik mendengar Arya cerita, tahu-tahu Mas Andre pulang. Ia masih menggendong tas gitar. Rupanya ia langsungan. Mas Andre itu guru les gitar kalau kamu mau tahu.
“Mas Andre, dari mana?” sapaku. Ia kemudian menghampiri dan menyodorkan bingkisan makanan yang dicangkingnya.
“Apel dong, malam minggu!” katanya dengan nada yang dikeraskan walaupun sudah berada di dekatku.
“Iya deh iya, Mbak Cindy nggak diajak ke sini, Mas?”
Mbak Cindy itu pacar Mas Andre sejak masih SMA. Aku mengenalnya. Rumahnya juga tidak jauh dari sini.
“Nggak mau, katanya. Mau nugas.”
“Oh.”
Sejurus kemudian dia menyadari kalau aku sedang teleponan.
“Telepon siapa sih?” tanyanya penasaran.
“Ada deh, kepo!”
Karena tidak diberi tahu, ia jadi gemas.
“Budak cinta!” seru Mas Andre mendekat ke arah ponsel yang aku dekap erat sebelum ia melenggang menuju kamarnya.
Terdengar suara tawa dari ponselku. Arya pasti dengar itu.
“Ketawamu kenceng banget,” kataku.
“Hahaha. Enggak, bingung aja. Sejak kapan cinta mengenal perbudakan?”
Entah kenapa aku jadi ikut ketawa akan itu.
***
Aku di Jepara tidak lama karena harus segera mengurus administrasi dan keperluan lainnya untuk magang. Untungnya Bude bisa menerima alasan itu. Baguslah, itu artinya aku akan segera bertemu kembali dengan Arya.
Menjelang Juli, aku sudah ada di Jogja lagi. Aku sibuk ke sana-kemari untuk mengurus keperluan magang. Aku bersama tiga orang temanku akan magang di sebuah proyek pembangunan jembatan kurang lebih sampai 3-4 bulan ke depan.
***
Suatu hari, setelah seharian di kampus mengurus administrasi magang, sorenya aku pergi dengan Arya. Pergi ke tempat-tempat kami biasa menghabiskan waktu berdua. Ke mana? Oh, kamu tidak perlu tahu persis di mana saja itu. Nanti bisa-bisa aku, kamu pergoki kemudian jadi tahu deh siapa aku sebenarnya. Bahaya!
Petang itu, kami terpaksa menepi ke sebuah pom bensin. Kenapa pom bensin? Ya karena itu adalah tempat terdekat yang bisa kami jangkau ketika hujan tiba-tiba jatuh di jalan. Sekalian isi bensin, Arya juga bisa sholat Magrib. Aku duduk menunggu di depan mushola.
Setelah Arya selesai sholat, hujan belum juga reda.
“Masih hujan.”
“Iya, bentar lagi juga terang,” jawabnya optimistis.
“Kamu bawa jas hujan?”
“Enggak,” jawab Arya prangas-pringis.
Dasar keras kepala! Dia pasti sengaja tidak bawa. Harus berapa ratus kali lagi aku mengingatkannya tentang itu!
“Udah tahu lagi sering hujan malah nggak bawa jas hujan!” kataku kesal.
“Aku suka hujan.”
“Suka hujan kok berteduh?”
“Hujan itu rahmat Tuhan, Dit.”
“Ya harusnya disambut dong?”
“Bukan begitu, aku takut kalau malah menginjak-injak rahmat Tuhan,” katanya lalu ketawa. Sial, aku juga.
Hujan masih turun tapi sekarang sudah lumayan, hanya gerimis. Mulai banyak nyamuk di sini. Aku jadi kegatalan dan garuk-garuk tangan.
“Kenapa?”
“Gatal,” keluhku.
“Akhirnya.”
“Akhirnya apa?”
“Akhirnya kamu tahu betapa berat perjuanganku.”
“Hah?”
“Mendekatimu adalah sebuah mara bahaya. Nyamuk-nyamuk sudah gugur, tapi aku masih!”
Duh, aku jadi ketawa mendengarnya. Bisa-bisanya dia berkata begitu.
Tak lama kemudian hujan benar-benar berhenti.
***
Kami lanjut berkunjung ke sebuah toko buku. Eh, toko atau mal ya? Pokoknya itulah. Aku yakin kamu tahu tempat apa yang aku maksud.
Bagian toko buku terletak di lantai dua. Kami bergerak menuju ke sana menaiki eskalator. Kami tetap ke sana meski tidak berniat membeli. Alasannya jelas, agar bisa baca buku gratis. Itu seru karena harus pandai-pandai menghindari lirikan sinis dari pegawai yang sedang bertugas.
Aku sedang asyik menghadap rak “Fotografi” ketika kulihat Arya tengah sibuk membaca buku di rak “Agama & Filsafat”. Aku lantas menghampirinya.
“Hey!” sapaku. Suaraku cukup keras ternyata sampai-sampai orang di sekitar ikut menoleh.
“Shshshsh…” desusnya seraya menaruh telunjuk di bibir.
“Iya iya,” jawabku lirih lalu berbisik, “baca apa?”
“Nggak tahu nih, ya kalau aku tahu kenapa aku baca?”
“Ahahaha.”
Aku malah jadi ketawa. Begitulah Arya. Aneh, aku gemas jadinya.
“Ke sana yuk,” ajakku menunjuk rak di seberang sana.
Aku gapai lengannya dan tanpa komplain ia mengikutiku. Di sana adalah rak yang penuh akan album foto artis K-Pop. Aku ingin melihat reaksi dia bagaimana. Ayolah Arya, sekali-kali cemburui aku!
“Aku mau ngasih liat sesuatu,” kataku kemudian membuka salah satu album foto boyband asal Korea. “Nih, ganteng kan pacar-pacarku?”
“Banyak amat?”
“Biarin.”
“Iya, tapi sayang pemalas.”
“Kok pemalas?”
“Itu buktinya cuma diem di situ. Nggak mau nganterin kamu ke mana-mana.”
Lagi-lagi aku gagal menahan bibir. Tawa kecilku pun terlihat olehnya.
“Itu mereka pakai anting?” tanya Arya.
“Kayaknya sih gitu.”
“Oh. Kalau kamu kapan terakhir pakai anting?”
“Lupa deh. SD mungkin. Kadang juga masih suka pakai sih kalau ke acara tertentu.”
“Kamu tahu anting itu awalnya ada karena cemburu?”
Aku terkejut mendengarnya. Apakah dia bisa membaca pikiranku?
“Hah? Gimana ceritanya bisa gitu?”
“Jadi dulu, Sarah, istri pertamanya Nabi Ibrahim itu cemburu sama Hajar, istri keduanya Nabi Ibrahim. Sarah ini iri karena merasa suaminya lebih peduli sama Hajar daripada dia. Akhirnya dia merajuk ke Ibrahim buat melukai Hajar.”
Aku malah jadi diam fokus menyimak Arya cerita.
“Nah, bingung kan Ibrahim. Kalau nggak diturutin nanti malah tambah runyam. Dikira nggak adil. Tapi nggak mungkin juga kalau Ibrahim beneran menyiksa Hajar. Sama-sama istrinya juga. Setelah mondar-mandir mikir, akhirnya kepikiranlah buat ngelubangin telinganya Hajar dan jadilah anting.”
“Terus Sarahnya gimana?” tanyaku penasaran.
“Tadinya protes karena heran kok Hajar malah tambah cantik jadinya. Tapi Ibrahim bilang, ‘kan udah berdarah itu, kurang tersiksa apalagi?’ terus udah, Sarahnya diem,” ungkapnya lalu ketawa kecil.
Setelah suntuk di toko buku, kami sepakat untuk beranjak. Namun ketika sampai di lantai satu, kami dicegat sales-sales yang sedang riuh mempromosikan produk masing-masing. Aku berjalan di depan sehingga aku hanya menoleh dan mendapati Arya jadi korban sergapan mereka.
“Mari Kakak! Oppo A92-nya, Kak. Lagi promo, diskon 40%. Cuma 2,5 juta saja Kakak. Mari, Kak!” kata pegawai berbaju hijau.
“Mari, Kak! Vivo X50 Pro-nya, Kak. Produk terbaru dengan kamera selfie 32 Megapixel. Fast charging 33 watt,” kata pegawai satunya yang berbaju biru muda.
Arya tampak linglung. Dia menyimak penjelasan panjang lebar dari masing-masing pegawai. Kepalanya bergerak mengikuti pegawai mana yang bicara padanya. Aku menahan ketawa menontonnya.
“Mbak, udah makan? Ini saya mau makan, mau ikut nggak, Mbak?” kata Arya setelah kedua pegawai itu lelah mencerocos. Mereka hanya diam dan saling memandang satu sama lain.
“Oh enggak ya, Mbak? Yaudah, duluan ya, Mbak.”
Arya beranjak menyambut uluran tanganku dan kami berjalan menuju area parkir. Arya hanya tertawa mengenang kejadian tadi.
“Mereka rebutan customer, duitnya ngalirnya ke kantong yang sama,” kata Arya yang masih menyisakan tawa.
“Kok bisa?”
“Jadi, Oppo, Vivo, sama dua lagi, Realme dan OnePlus itu masih satu induk perusahaan, BBK Electronics Corporation. Yang punya juga orangnya sama, taipan Cina, Duan Yongping.”
“Oh, gitu.”
Motor kami sudah keluar dari area parkir dan melintasi jalan raya.
Rencananya kami mau makan tapi mampir dulu ke ATM. Arya ada perlu katanya.
“Tahu nggak, tadi kartu ATM-ku hampir ketelen!” ucap Arya setelah keluar dari ATM.
“Terus?”
“Tapi nggak jadi. ATM-nya masih kenyang makanya dimuntahin lagi.”
“Ahahaha.”
Kami lanjut jalan. Aku tidak tahu berapa angka pasti yang ditunjukkan spidometer tapi bisa dikatakan motor melaju dengan kecepatan sedang. Tidak mengebut, tidak juga terlalu lamban. Aku terus mengarahkan jalan, Arya bilang dia tidak tahu jalan. Sebetulnya aku tidak yakin kalau dia tidak hafal jalan. Dugaanku, dia pasti sudah sering jalan, barangkali dengan perempuan-perempuan lain sebelum aku. Atau mungkin memang tidak tahu jalan, hanya tahu nama jalannya saja.
“Dita, aku ganteng nggak?” tanya Arya tiba-tiba. Padahal kami sedang membahas tentang mau makan apa dan di mana.
“Ya, standar lah. Nggak ganteng-ganteng amat, nggak jelek-jelek amat juga,” jawabku sebagaimana adanya dan dia hanya tertawa mendengarnya.
Aku balik bertanya, “kalau aku, cantik nggak?”
“Setiap yang dicintai itu cantik tapi tidak semua yang cantik itu pasti dicintai.”
“Jadi?”
“Kamu itu cantik karena ada yang menyayangimu.”
“Siapa?”
“Haruskah aku bilang akulah dia orangnya?”
Aku jadi ketawa dan menepuk helmnya. Dasar!
“Terus kalau nanti kamu nggak sayang lagi sama aku?”
“Sebetulnya kamu sudah cantik tanpa perlu aku sayangi tapi ya gimana ya, ternyata aku bisa.”
***
Kami sudah sampai di tempat makan. Kamu tidak perlu tahu kami makan apa, nanti kamu malah jadi ikutan lapar. Kalau tempatnya sih letaknya tidak jauh dari taman kota. Setelah makan, dan minum juga pastinya, kami duduk-duduk di taman itu dan mengobrol banyak hal.
Suasana malam itu tidak terlalu ramai tapi juga tidak terlalu sepi. Sesekali masih ada kendaraan yang melintas dan orang yang lalu lalang menyusuri taman.
“Arya.”
“Iyaaa?”
“Mau cerita.”
“Boleh.”
“Aku tuh heran ya sama temenku. Jadi dia tuh orangnya rajin ibadah tapi maboknya juga jalan, gitu. Menurut kamu itu gimana?” tanyaku.
“Loh, orang rajin ibadah aja masih mabok, gimana kalau nggak rajin?”
“Tapi kan ya kaya percuma aja gitu loh.”
“Harusnya kamu salut.”
“Kok gitu?”
“Dia yang pemabuk aja masih sempat ibadah apalagi yang bukan pemabuk?”
Aku termenung. Bingung dengan pola pikir Arya.
“Sekarang gini, kamu tetep mandi nggak walaupun kamu nanti bakalan kotor lagi?”
“Mandi sih.”
“Yaudah, sama. Kalau sesuatu hal itu belum bisa ideal, apa iya harus ditinggalkan sama sekali?”
“Enggak juga sih.”
“Nah kan. Mandi mah nggak harus di kamar mandi, Dit. Di sungai juga bisa. Yang salah itu kalau yang mandi di kamar mandi terus ngerasa dirinya pasti lebih bersih daripada yang mandi di sungai. Padahal bisa aja kan malah lebih bersih yang mandi di sungai?”
Aku manggut-manggut berusaha mencerna kalimatnya.
“Bisa aja kita yang nggak mabuk-mabukan ini malah lebih berdosa daripada dia?”
“Kok bisa?”
“Karena kita merasa lebih mulia. Apa itu nggak sombong namanya? Kan nggak boleh sombong, nanti kayak Firaun.”
“Kenapa Firaun?”
“Ya apaan Firaun ngaku-ngaku Tuhan, berenang aja nggak bisa. Tenggelam di Laut Merah gitu.”
“Emang kalau jadi Tuhan harus bisa berenang?” tanyaku.
Itu pasti terdengar polos sekali. Seperti anak TK sedang bertanya kepada gurunya sehingga aku paham kenapa Arya menahan ketawanya.
“Bukan gitu, Tuhan ‘kan Maha Kuasa yak, masa nggak bisa nyelametin diri sendiri? Tuhan kok minta tolong. Lagian kalau pun Firaun itu Tuhan, terus sebelum Firaun lahir, yang jadi Tuhan siapa dong? Power vacuum, gitu?”
Dia ketawa sebentar dan membetulkan posisi duduknya kembali tegap.
“Soal tadi, dosa-pahala mah biar urusan Tuhan dan malaikat. Kalau manusia sampai ikut-ikut memutuskan, bahaya, bisa perang!”
“Masa gitu?”
“Perang Salib contohnya. Waktu itu, awalnya kan karena pidato Paus Urbanus II yang menjanjikan pengampunan dosa, surgalah gitu, buat siapa pun yang mau ikut ‘perang suci itu. Karena iming-imingan itulah akhirnya banyak yang daftar diri untuk ikut perang. Bukan cuma para ksatria tapi rakyat biasa juga banyak yang daftar. Padahal zaman itu, di Byzantium golongan Islam-Arab sama gereja Ortodoks Timur hubungannya adem ayem aja.”
“Oh, gitu.”
Aku coba bersikap biasa saja walaupun sebenarnya agak terkejut juga kalau dia memiliki pengetahuan tentang itu.
“Bukan amalan kita, Dit, yang menjamin kita masuk surga.”
“Terus apa dong?”
“Belas kasih Tuhan.”
“Tapi kan itu bisa didapat dengan rajin ibadah dan beramal baik?”
“Bisa jadi. Tapi Tuhan kan yaf’alu maa yasyaa’. Berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki. Jadi suka-suka Tuhan lah mau gimana. Haha.”
Aku terus menyimak sembari menikmati minuman yang kubeli tadi. Minumanku rasa leci.
“Lagian kamu yakin mau kalkulasi sama Tuhan? Coba, misal ya, kamu hidup di Bumi 80 tahun terus nanti di Surga juga cuma 80 tahun bukan selamanya, mau?”
Aku menggeleng.
“Adam aja yang dosanya cuma satu diusir dari Surga apalagi kita yang awam. Yang setiap detik berpotensi buat dosa. Dosaku banyak tapi masa rahmat Tuhan kalah lapang?” sambungnya kemudian menelan ludah. Oh, sepertinya dia haus.
“Minum dulu,” kataku sambil menyodorkan minumanku.
Sebenarnya dia ada minuman sendiri tapi tetap menyambut minuman yang masih dalam genggamanku itu dan berterima kasih. Tentu saja lalu senyum padaku.
“Kamu kok yakin banget gitu? Kayak doamu didengar Tuhan aja,” ledekku.
“Loh, kalau doaku sampai nggak didengar tuh bukan aku yang harus malu tapi Tuhan.”
“Heh, kok gitu?”
“Tuhan itu Maha Mendengar kan ya? Jadi, aku nggak berdoa sekalipun juga Dia udah tahu. Tapi kalau doa bukanlah sebuah permintaan, paling enggak itu adalah bukti pengakuan kalau aku manusia biasa yang lemah dan butuh Tuhan.”
Aku tercenung dan menandaskan lagi minumanku.
“Tapi nggak usah khawatir, Dit. Rahmat Tuhan itu luas, menembus batas-batas kolom KTP!” seru Arya lalu ketawa lagi. “Eh, ini kenapa kita jadi ngomongin Tuhan yak? Ah, nggak papa lah ya, sekali-kali.”
“Iya, Dia juga udah tahu kali kalau lagi diomongin,” jawabku.
Dia ketawa lalu meraih gelasnya dan mengisap sampai tandas. Kini minuman kami sama-sama sudah habis dan kami taruh di sisi ujung bangku masing-masing sebab tong sampah cukup jauh untuk kami raih. Tidak jauh juga sih sebenarnya kalau mau bangkit dan berjalan beberapa meter tetapi sayangnya kami sedang tidak ingin. Wahai Tong Sampah, nanti dulu ya, jangan ganggu kami!
Langit malam mulai cerah. Taman kota perlahan kehilangan pengunjung. Beberapa penjual makanan mulai berberes. Sejenak keheningan menghiasi kami.
Pikiranku kembali berkecamuk. Muncul keraguan dalam hatiku. Ya, keraguan yang bersangkut paut dengan apa yang ada dalam diri kami. Sebuah tapal batas tak tampak yang mendiami palung batin. Tentang apa yang tak sama dan rumit di antara kami.
Aku seketika merasa takut untuk kehilangan dirinya. Sesuatu hal yang juga kerap aku rasakan dalam kesendirianku ketika jauh darinya. Adalah sebuah risiko yang harus siap aku terima sejak aku tahu aku telah jatuh cinta padanya.
Aku raih jemarinya tiba-tiba. Ia agak terkejut akan gerakan itu tetapi kemudian tampak maklum.
“Kenapa ya kita harus beda?” tanyaku lantas menyandarkan kepala.
“Kalau Tuhan mau, bisa aja semua orang dibikin satu agama detik ini juga. Tapi nyatanya? Pasti ada maksud kenapa begitu. Kita nggak pernah tahu, Dit. Kebenaran manusia terbentuk oleh konsensus budaya dari zaman ke zaman sementara kebenaran yang sejati hanyalah milik Tuhan.”
“Tuhan memang sulit dimengerti, ya?”
“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”
“Artinya?” aku sedikit mendongak menatapnya. Dia tidak menatapku.
“Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.”
Aku senyum kecil.
“Terus kenapa masih mau lanjut sama aku?”
“Ya karena aku sayang kamu.”
“Kan nggak harus pacaran.”
“Kan kamunya mau.”
“O, iya.”
“Yaudah,” balas Arya.
Kami sebentar berpandangan mata dan tersenyum kecil. Kemudian Arya kembali menatap ke depan.
“Arya, kamu nggak mau nyari yang berkerudung gitu?”
“Oh, kamu nyuruh aku pacaran sama Bunda Maria?”
“Husss, nggak gitu. Ih!”
“Kan Bunda Maria juga berkerudung.”
Aku yakin dia paham maksud pertanyaanku tadi namun sengaja pura-pura tidak mengerti agar aku kesal.
“Maksud aku tuh, kamu nggak mau nyari cewek yang seiman gitu sama kamu?” jelasku. Aku mencoba bersabar memperjelas pertanyaan.
“Sulit.”
“Kok sulit?”
“Kamu nggak akan pernah tahu, Dit, iman seseorang itu bagaimana.”
Aku menyimak, ia pun melanjutkan bicaranya.
“Agama dan iman itu bukan dua hal yang persis sama. Beragama itu urusan komunal, beriman itu urusan personal. Maksudnya, beragama itu perihal menjalankan syariat ibadah tapi beriman itu sikap batin tentang komitmen keyakinan. Kamu mungkin bisa tahu agama orang itu apa tapi kamu nggak akan pernah tahu iman seseorang itu bagaimana. Itu privat.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Yaudah, ralat. Kamu nggak mau nyari yang seagama gitu sama kamu?”
“Ngapain nyari, kan sudah disediakan. Ya kayak kamu yang sudah disediakan untuk aku di waktu yang sekarang dan boleh jadi juga untuk waktu yang akan datang.”
Aku tahu, ada secebis harapan yang tersemat dalam kalimat itu. Aku termangu menatapnya.
“Kamu tahu istri nabi Muhammad juga ada yang anaknya orang Yahudi?”
“Oh, ya?”
“Iya, namanya Shafiyyah binti Huyay. Ayahnya pemimpin Bani Nadhir.”
Lagi-lagi hanya anggukan yang menjadi reaksiku.
“Aku percaya, semua agama itu memiliki cinta tapi cinta sendiri itu nggak punya agama, Dit.”
Meski dengan tidak menatapku tetapi sungguh, apa yang terucap darinya itu adalah kalimat yang indah. Aku lantas kembali menaruh kepala.
“Kapan-kapan ke Gua Maria ya,” ucapku.
“Di mana itu?”
“Gunungkidul apa Bantul ya, aku juga lupa.”
“Oh, boleh.”
“Aku mau banyak-banyak doa.”
“Iya.”
“Biar tetep sama kamu.”
Arya terperanjat. Barangkali ia takjub mendengar itu terucap dari bibir perempuan yang ia sayangi. Dia kini menatapku.
Sejenak kami senyap. Arya kembali menatap ke depan sampai kemudian terdengar lagi kata-kata darinya.
“Cinta itu abadi, Dit. Yang fana itu memiliki,” ucapnya dengan masih menatap ke depan.
Aku menggerakkan muka untuk menatapnya. Bersamaan dengan itu, ia menundukkan wajah dan memandangku sekarang.
Kata-kata itu membuat hatiku bergetar. Aku kembali menggenggamnya erat. Bahunya kembali menyimpan pelipisku. Ketakutan itu muncul lagi. Keraguan itu muncul lagi, dengan daya yang lebih dahsyat dan hebat.
Aku menelan pahit kalimat itu. Betapa realita begitu kejam telah membangun Tembok Berlin raksasa yang ke mana pun aku pergi, sekat itu akan selalu ada.
Aku merasa kacau. Seakan-akan ini adalah malam terakhir aku bisa bersamanya. Seakan-akan dia akan pergi jauh meninggalkanku esok hari. Tetapi aku juga ingin selamanya dengannya. Aku ingin selalu mendengarnya bercerita setiap malam. Aku ingin selalu ketawa karenanya setiap saat. Aku juga ingin selalu tersenyum untuknya setiap waktu.
Di bawah naungan rembulan dan bintang gemintang, angin berlari-lari mengitari kami. Tidak ada kata-kata dan suara ramai sekarang. Barangkali inilah sunyi itu.
Aku masih tetap diam sementara kantung mataku telah menjelma danau yang sesak. Sekuat hati aku menahan. Setegar mungkin aku membendung. Tetapi kemudian hanyalah air mata yang melintasi pipi.
Aku menangis.
Penyunting : Airlangga
Sumber gambar: Pexels