Menggeluti profesi sebagai mahasiswa angkatan 2020, membuat saya memiliki kegiatan rutin sejak bulan Agustus tahun 2020 sampai sekarang ini (Mei, 2021). Bermodal kuota bukan dari kampus dan mirisnya jadi salah satu yang gak dapet kuota dari pemerintah gara-gara penyakit lupa mengisi data, saya mengikuti perkuliahan online.
Dulu saya pikir mulai kuliah artinya mulai belajar pakai gincu atau mikirin outfit untuk ngampus, nyatanya tiap pagi saya cuma perlu melek dan menggerakkan jari untuk mengeklik link video conference, itu pun masih mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut. Cucian jadi gak terlalu membebani.
Sebagai mahasiswa online sejak pagi mahasiswa sudah berkutat dengan pembelajaran daring, mulai dari menyimak materi di google classroom, mengikuti video conference, mengerjakan tugas makalah, sampai tertidur saat meet. Ketiduran saat kelas tidak terlalu mengkhawatirkan untuk yang sama dengan saya, menjadikan off camera sebagai pilihan.
Hal lain yang saya perhatikan saat perkuliahan daring adalah kebiasaan kondisi jaringan yang selalu stabil saat proses presensi kehadiran, dan mendadak trouble di sesi diskusi. Pada sesi diskusi, yang jadi momen dosen menerapkan metode asal tunjuk, tidak bisa dipastikan jumlah mahasiswa yang mendadak keluar masuk room video conference. Sebagian kecil memang sudah begitu sejak awal dan memang terkendala jaringan bahkan saat proses presensi. Namun mahasiswa lain yang begitu lancar pada proses presensi entah kenapa mendadak dapat kendala disesi diskusi.
Jalan bulan ke empat perkuliahan daring, kegiatan rutin saya bertambah, belakangan agak sering mengadakan kumpulan offline dengan teman yang sama-sama tinggal di Jogja, saling sambat soal tugas atau sekedar ingin kuliah daring di tempat yang sama, sampai sekedar melakukan perbincangan random. Toh virus corona sangat selektif dalam hal berkunjung, lebih suka berkunjung ke gedung-gedung sekolah, perkantoran, dan fasilitas pelayanan publik, ketimbang berkunjung ke caffe, angkringan, atau tempat nongkrong lainnya.
Suatu ketika saat kami sedang berkumpul di salah satu kedai, di tengah obrolan random yang sedang berlangsung saya mengajukan sebuah pertanyaan. “Belakangan jaringan gak stabil kenapa ya? Kayak kemarin jadi banyak yang keluar masuk Room meet pas sesi diskusi”.
“Sebanarnya itu mah emang sengaja keluar masuk room”
“Loh sengaja kepiye (bagaimana)?”
“Yo.., kek semacam strategi buat menghindari pertanyaan dari dosen aja hahaha. Apalagi kalau pertanyaannya susah dan dosennya killer” terus terang salah satu mahasiswa dan diberi anggukan setuju oleh mahasiswa lain.
“Wah itu kalau belum terlanjur kesebut namanya, aman. Nek uwis kebacut kesebut, terus gimana itu?”
“Deg-degan parah dan panik. Tapi tetep bisa diakali lah. Udah sedia kresek, biar suara jadi gak jelas dan dikira gangguan jaringan”
Siapa sangka kresek yang identik dengan gorengan anget pinggir jalan bisa ambil peran dalam dialog percakapan kami, tidak mau berasumsi sendiri saya mengajukan pertanyaan terkait fungsi kresek dengan dugaan ‘gangguan jaringan’.
“Kresek kan kalo digesek-gesek bikin suara brisik kek ujan. Dan kebanyakan daerah tu kalo hujan ada gangguan sinyal. Sebenernya yang pake teknik kek gitu bukan cuma aku sih…, Aku cuma direkomendasiin temen aja. Dan ternyata ngebantu juga hahahaha”
Dari obrolan saat itu, mereka meyakini bahwa teknik semacam itu sangat membantu untuk membuat seolah mereka dalam gangguan jaringan. Namun, rasanya hal seperti itu tidak bisa dipraktikkan oleh mahasiswa yang bertempat tinggal di daerah yang sama dengan dosen pengajar.
Memanfaatkan kresek tidak lantas membuat mereka benar-benar mengaku terkena kendala jaringan. Kresek hanya berperan sebagai media mengulur waktu untuk mendapatkan jawaban dari persoalan yang diajukan dosen. Tapi kalau hal ditanyakan sulit, yup! suara kresek menciptakan alasan untuk tidak menjawabnya.
Cara Kuliah Mahasiswa Online
Tidak serumit menggunakan kresek, mereka juga menjelaskan cara jitu lainnya seperti sengaja mematikan koneksi wifi atau menyatakan bahwa suara yang mereka dengar dalam kondisi putus-putus. Salah satu dari mereka bahkan secara yakin menyatakan kalau kegiatan serupa juga dilakukan oleh teman sekelas yang berbeda domisili. Saat ditanya alasan keyakinannya dia hanya menjawab “Ya pasti lah, online gini. Faktor keadaan”
Tidak sekreatif cara sebelumnya, menurut mereka ada cara yang lebih umum, yaitu membisu sampai dosen menyimpulkan kalau mereka sedang dalam kendala jaringan. Membisu beberapa saat sembari berpikir juga bukan hal yang keliru menurut mereka. Kalau teknik membisu yang seperti itu bukan sekali dua kali saya lakukan.
“Sebenernya carane adewe kuliah yang kadang gak sengaja ketiduran, kurang nyimak, ngulur waktu pas dapet pertanyaan entah dengan diem aja atau pakek si kresek kayak gini buat ngaku kendala jaringan tu bener gak sih?” tanya saya sambil mengaku bahwa beberapa hal juga saya lakukan.
Seorang mahasiswa berpendapat bahwa hal semacam itu diwajarkan untuk kondisi ini, jelas ia dirugikan dengan sistem daring. Merasa materi yang diajarkan tidak sampai. Namun saat disinggung soal kabar vaksin untuk mahasiswa dan perkuliahan luring di bulan Juli, ia justru mengaku sudah terlanjur nyaman dengan perkuliahan online.
Setelah selesai berbincang-bincang saya segera fokus untuk menghabiskan makanan dan minuman yang saya pesan. Menyedot minuman saya sampai hanya tersisa bongkahan es batu tanpa rasa. Setiap tetes dari minuman rasa yang sedang saya minum ini terdapat rupiah yang tadi saya serahkan ke pegawai kasir, tidak habis artinya membuang uang.
Selesai dengan perkumpulan, saya kembali ke rumah dengan dompet yang tidak jadi lebih tipis tapi terasa lebih miris. Sebenarnya saya agak menyesali jumlah nominal yang saya keluarkan untuk segelas air rasa dan semangkuk nasi yang hanya sepertiga dari nasi padang favorit. Wajar sajalah yang saya pesan itu rice bowl bukan semangkuk nasi, jadi lebih mahal.
Menjadi Mahasiswa Online
Kalau saya tidak salah menyebutkan nama-nama bulan sambil menghitungnya. Sekitar 3 bulan lalu tepatnya pergantian dari semester 1 menuju semester 2 bagi angkatan 2020 atau semester ganjil ke genap, media sosial seperti twitter dan instagram kompak membahas mengenai UKT. Inti dari pembahasannya adalah mahasiswa merasa keberatan dengan pembayaran UKT 100%, sementara tidak ada fasilitas kampus yang mereka nikmati selama perkuliahan online. Kuota pun juga dikasih pemerintah.
Tiga bulan lalu hampir sepekan lebih tulisan-tulisan seperti UKT Jatah Preman, Ini Kampus atau Bank, Telah hilang Hak Pendidikan Rakyat, Tolak Bayar UKT, dan Mogok Bayar UKT yang dibumbui dengan tambahan narasi berisi hal-hal yang tidak diperoleh oleh mahasiswa selama perkuliahan online bertebaran di status whatsapp, feed instagram, cuitan twitter, dan barangkali kalau saya punya facebook akan menemukan hal serupa disana. Sistem online ini seolah mengemas mahasiwa sebagai korban keadaan.
Enaknya Jadi Mahasiswa Online
Sepakat bahwa UKT memberatkan. Tapi benarkah, perkuliahan online adalah beban?.
Metode kresek, membisu, dan telat masuk karena alasan error system tidak bisa dilakukan di perkulian luring. Tidak akan ada kesempatan mengulur waktu kalau tiba-tiba nama kita di pilih untuk berpendapat, bertanya, atau menyimpulan materi perkuliahan secara tiba-tiba.
Bosan jika harus membahas soal enak tidak enaknya kuliah online dan daring saya memilih melepas penat ke rumah teman saya sewaktu SMK, namanya Nisa. Wajahnya agak lelah setelah seharian bekerja di kedai jus milik tetangga, pekerjaan yang dia ambil setelah dapat pengumuman yang kurang mengenakkan dari LTMPT tahun lalu.
Tidak ada angin tidak ada hujan Nisa menceritakan cerita sesorang yang ia baca di Quora, cerita tentang kondisi dari teman orang tersebut terkait pembelajaran daring. “Ono uwong duwe konco, koncone ki jarang banget melu kelas gara-gara ra ndue Hp, untuk ikut kelas daring hpne gantian karo sedulure” (ada orang punya teman, temannya jarang sekali mengikuti kelas karena gak punya Hp, untuk ikut kelas online hpnya gantian dengan saudaranya). Ujar Nisa, ekspresinya menaruh prihatin.
“Heran, ono sek pengen kuliah ra ketompo, sek wes kuliah malah sak penak e” (Heran, ada yang ingin kuliah gak keterima, yang sudah keterima malah menyia-nyiakan) ujar Nisa tiba-tiba, ekspresi prihatinnya berubah jengkel, saya pun bertanya apa yang membuatnya bereaksi seperti itu. Ternyata dia baru saja menyimak cerita lain di Quora, cerita itu berisi mahasiswa yang hanya titip absen saat kuliah online, yang hanya mengikuti kuliah online tanpa menyimaknya, garis besarnya mahasiswa menyepelekan kegiatan kuliah karena merasa tidak diawasi langsung oleh dosen pengajar. Sedangkan di sisi lain ada yang berusaha keras meminimalisir kendala agar dapat mengikuti pembelajaran daring.
Pertemuan saya dengan Nisa rasanya seperti takdir untuk membuat closing yang pas terkait obrolan saya dengan teman kuliah tempo hari. Saya pun menceritakan hal yang saya obrolkan dengan teman-teman saya saat perkumpulan. Nisa terlihat sangat terkejut, “Kebongan – kebohongan mudah sekali direncanakan ya” sambutnya pada cerita yang saya sampainkan.
“Iku sek kresek serius?”
Saya hanya mengangguk menjawab pertanyaan Nisa, pasalnya kalau ditanya kreseknya serius atau enggak saya pun juga tidak tahu. Toh si kresek itu kan di gerakkan oleh tangan-tangan mahasiwa yang pakai jasanya.
Penulis : Naufalda
Penyunting : Akbar