HOAKS

“Gimana pak, bagus’kan?”

Salah satu dari tiga siswa bertanya kepada guru yang berada di depannya. Ketika ketiga siswa itu serentak terseyum lebar, sang guru juga ikut tersenyum. Senyuman para murid semakin lebar.

Ctak!Ctak!Ctak!                             

“Aduh,” ketiganya merasa sakit saat kertas gulung yang ada di tangan sang guru menghantam kepala mereka.

“Bagus dari mananya? Kenapa kalian bikin berita kayak gini?” sang guru yang bernama Pak Fiki berteriak frustrasi. Ia menatap ketiga siswanya dengan tatapan seakan ingin memakan mereka.

Di sisi lain, ketiga siswa itu secara serempak memalingkan wajah kemudian  bersiul-siul, bertindak seolah mereka tidak melakukan sesuatu kesalahan apapun dan tidak terjadi apapun.

Pak Fiki menghela nafas, menenangkan emosinya yang baru saja meledak. Ia memandang ketiga siswanya itu.

“Fahmi, Nanda, dan Habib, kemarin bapak sudah suruh kalian buat berita yang menghebohkan. Tapi, kenapa kalian malah bikin berita kayak gini?” Pak Fiki bertanya sembari menunjukkan kertas berisi berita itu kepada para muridnya itu.

Sebuah kalimat yang merupakan judul dari berita itu terlihat dengan jelas oleh ketiganya.

‘TAK INGIN DICONTEK TEMAN, SEORANG SISWA NEKAT TAK MENGISI LEMBAR JAWABANYA!’

“Ehehe, soalnya judulnya kelihatan keren sih, Pak. Anti-mainstream gitu, lho,” ucap Nanda.

Emosi Pak Fiki hampir lepas untuk kedua kalinya saat mendengar perkataan Nanda. Ia kembali menghembuskan nafas pelan.

Kemudian Pak Fiki berkata dengan nada geram seperti orang yang sedang melihat balita berpipi tembem, “hah, terserah kalian. Pokoknya, berita ini bukan berita yang menghebohkan. Kalian bertiga, buat lagi berita kalian. Sebagai anggota klub madding, kalian sangat mengecewakan.”

Nanda, Fahmi, dan Habib terdiam. Suasana hening menyelimuti ruangan selama beberapa saat. Keheningan terpecahkan ketika Habib berbicara.

“Pak Fiki, sebagai pembina klub ini, bisakah Anda memberikan contoh terlebih dahulu? Jujur, ini pertama kalinya kami membuat berita yang akan dipublikasikan sehingga kami kesulitan karenanya.”

Pak Fiki mendengkus keras. Ia sedikit jengkel mendengar permintaan Habib.

“Tidak. Kalian itu sudah dewasa,buat saja sendiri. Tempelkan saja berita kalian di mading besok. Buatlah berita sesuka kalian. Saya sudah tidak peduli.Sekarang kalian bisa kembali ke kelas kalian.”

Dan dengan itu, ketiganya kembali ke kelas mereka.

Keesokan harinya ketika jam istirahat, suasana ramai seperti biasa menyelimuti lorong-lorong kelas. Siswa-siswi melakukan aktivitas mereka dengan ceria.

“Woi! Semuanya, lihat berita di mading sekarang!!!”

Sebuah teriakan melengking dari seorang siswa begitu keras terdengar. Teriakan itu membuat perhatian siswa lainnya mendekati sumber suara. Semua siswa mengerumuni mading yang ada di hadapan mereka.

“Apa!” teriak seluruh siswa.

“Semuanya lari! Selamatkan diri kalian!” kata siswa yang bersuara melengking.

“Cepat panggil guru!” kata siswa paling teladan yang berasal dari sekolah itu.

“Woi! jangan makan nasiku,” kata salah satu dari sekian siswa biasa saja dari sekolah tersebut yang iseng ikut berteriak panik.

Tetapi teriakannya menyebabkan teriakan yang lain menghilang, memfokuskan pandangan mereka kearahnya.

Penyebab semua kekacauan dan teriakan ini adalah sebuah kertas berita yang tertempel dengan manis di mading.

Kertas itu memiliki judul yang dapat dibaca dengan jelas.

“SEBUAH BOM DITEMUKAN DI SEKOLAH, DUA PULUH TIGA JAM MENUJU LEDAKAN!”

Kepala sekolah yang datang akibat mendengar suara melengking mendekati kerumunan siswa kemudian menenangkan suasana.

“Ada apa ini? Kenapa semuanya sangat ribut?” tanya sang kepala sekolah.

Salah seorang siswa  menunjuk pada kertas berita yang menjadi sumber kekacauan. Kepala sekolah membaca berita yang tertera dan merasakan keterkejutan yang sama kuatnya dengan para siswa.

Ia menatap para muridnya.

“Berita ini di tulis klub mading, bukan? Cepat panggilkan semua anggota klub dan pembinanya itu,” perintah kepala sekolah kepada salah seorang siswa.

Beberapa menit kemudian, siswa itu kembali bersama dengan empat orang. Fahmi, Nanda, Habib dan Pak Fiki.

Kepala sekolah menatap mereka.

“Siapa dari kalian yang membuat berita ini? Apakah berita ini asli?” tanya kepala sekolah sembari menunjuk berita yang tertempel di mading.

Pak Fiki menggelengkan kepala.

Tatapan semua orang beralih kepada tiga oarang yang tersisa. Fahmi, Nanda, dan Habib saling berpandangan, sebelum akhirnya mengangguk secara serempak.

Fahmi maju, menarik nafas dan mulai menjelaskan.

“Tidak, Pak. Berita itu hanyalah sebuah berita bohong.”

Semua orang menghembuskan nafas lega. Menyadari berlalunya hal yang bisa saja menjadi sebuah musibah bagi mereka.

Kepala sekolah kembali menatap Fahmi, “Kenapa kalian membuat berita bohong seperti ini?”

“Begini, Pak. Sebelumnya, untuk memenuhi tugas kami sebagai anggota klub mading…” Fahmi berhenti. Nanda menarik nafas sebelum akhirnya mengambil ahli penjelasan.

“Kami bertiga sepakat untuk mengarang sebuah berita. Dan, pada akhirnya, jadilah berita yang telah kalian baca. Berita yang merupakan sebuah kebohongan. Kami minta maaf karena membuat kekacauan.”

Kepala sekolah memahami apa yang sudah terjadi dengan menghela nafas.

Ia menatap Pak Fiki yang sedang mengangguk, menyadari akan kesalahan yang telah ia perbuat. Kepala sekolah ikutan mengangguk.

“Tidak apa nak. Kalian kalau membuat berita, buatlah secara benar. Tidak perlu terburu-buru tetapi jangan juga menggampangkan. Apalagi mengarang berita, memangnya cerpen?” ujar Kepala sekolah.

Fahmi, Nanda, dan Habib mengangguk. Sebelum pembicaraan mereka dilanjutkan, sebuah teriakan kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya.

“Kepala sekolah! Tolong!”

Seorang siswa berlari begitu cepat mendekati kerumunan. Tangannya terlihat ia memegang sebuah benda yang menunjukan angka-angka tertentu.

“Kepala sekolah! Lihat ini! Saya menemukan ini di dekat pipa air toilet umum Pak.” Ia langsung  menunjukkan benda yang ada di tangannya.

Sebuah benda kotak cukup besar dengan berbagai macam kabel yang menancap pada benda itu, disertai dengan benda seperti petasan cukup besar berwarna merah dipusatnya.

Benda itu menunjukkan waktu 5 menit 26 detik dan terus berkurang.

Kepala sekolah memucat. Ia berbalik menatap para muridnya yang sama pucatnya.

“Anak-anak …” lanjutnya, “hari ini dan beberapa minggu ke depan kalian diliburkan.”

Suasana hening untuk beberapa waktu. Beberapa teriakan dari para murid kembali muncul.

“Wahh! Lari! Ini bom beneran!”

“Jangan panggil guru lagi. Panggil polisi!”

“Selamatkan nyawa kalian!”

“Nasiku! Nasiku tumpah!”

Dan untuk beberapa hari kemudian, klub Mading mendapat begitu banyak ide untuk menulis berita.

Sisi Wahyuni

Penyunting: Airlangga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *