Perempuan, Kekerasan, dan Stigma

Perempuan itu.

Ya, perempuan itu. Seseorang yang saya kenal dekat dan merasa jika dia baik-baik saja ternyata adalah korban kekerasan seksual. Dia tidak menyangka bahwa seorang laki-laki yang terlihat luar biasa dalam beragama, luar biasa dalam mengaji, luar biasa dalam melantunkan sholawat, dan bahkan memiliki saudara kembar perempuan sekalipun ternyata berani melakukan tindakan pelecehan.

Sungguh cacat –logika laki-laki munafik ini— ketika ia beranggapan bahwa semua perempuan yang berhasil digaet akan dengan mudah menyerahkan diri secara penuh kepadanya. Bodoh.

Sudah lama perempuan itu selalu dalam bayang-bayang trauma, bingung harus kemana mengadu. Karena dia sudah membayangkan pada akhirnya dialah nanti yang akan mendapat hukuman yang lebih berat, bukannya laki-laki itu, serta kekhawatiran stigma perempuan murah hingga nantinya tidak ada lagi yang mau menerima kehadirannya.

Saya meyakini bahwa trauma tentang peristiwa kekerasan seksual tidak dapat dilupakan dengan mudah, tetapi terima kasih karena sudah mau bercerita dan mengizinkan ceritamu ini saya tuliskan sebagai pembelajaran untuk perempuan lainnya agar selalu waspada dan tidak mudah tertipu dengan penampilan luarnya saja.

Perempuan dan Kekerasan

Makna kata kekerasan seksual tidak hanya sebatas penyelewengan atas norma kesopanan dan kesusilaan, tetapi tindakan keji memaksa, menganiaya, menguasai, intimidatif, dan sewenang-wenang.

Komnas Perempuan mencatat 15 bentuk kekerasan seksual: perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendeskriminasi perempuan, dan kontrol seksual.

Sampai sini paham?

Jika kita melihat headline berita tentang adanya tindak kekerasan terhadap perempuan yang masih merajalela, tandanya kasus ini seyogyanya dapat terus menjadi perhatian semua orang agar tetap waspada, mendapat tindak hukum khusus, dan tidak menormalisasi segala perbuatan pelaku sebagai hal yang sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Pelanggengan budaya patriarki –perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat tertentu yang bercirikan sistem sosial yang tidak adil, mensubordinasi, dan mendiskriminasi— merupakan salah satu dari berbagai alasan banyaknya tindak kekerasan terhadap perempuan.

Budaya patriarki tidak memberikan ruang bebas kepada perempuan untuk dapat mengembangkan potensinya, karena tertanam stigma bahwa pekerjaan perempuan hanyalah sebatas yang berhubungan dengan rumah tangga (pekerjaan domestik) semata.

Dalam periode 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tertanggal 25 November sampai 10 Desember ini, yang merupakan gerakan internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin banyak ditemukan.

Sebagai upaya pribadi dalam ikut serta memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta bentuk aware agar perempuan terhindar dari kekerasan, maka saya mengadakan mini survei dengan responden yang bersifat acak melalui kanal media sosial instagram untuk meminta jajak pendapat dari beberapa pertanyaan besar tentang kondisi dan sebab kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi serta menyajikannya dalam bentuk paparan kedua sudut pandang.

Apakah perempuan mandiri dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan?

Dari 20 responden yang mengisi, sebanyak 13 orang (65%) yang terdiri dari 6 laki-laki dan 7 perempuan menyatakan setuju dan sebanyak 7 orang (35%) yang terdiri dari 5 laki-laki dan 2 perempuan menyatakan ketidaksetujuannya.

Dapat dikatakan bahwa perempuan yang mandiri, apalagi mandiri secara finansial, ia sudah tidak terikat dengan budaya patriarki karena telah mendapat akses untuk mengembangkan potensi diri dan menghasilkan materi sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap siapapun dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Ketidaksetujuan bahwa perempuan mandiri dapat mencegah kekerasan, tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya laki-laki akan dianggap lemah sehingga mendorong untuk melakukan kekerasan fisik.

Perempuan yang mandiri atau memiliki pekerjaan sekalipun dapat mengalami kekerasan di tempat ia bekerja.

Apakah perempuan yang vokal atau lantang bersuara dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan?

Dari 19 responden yang mengisi, sebanyak 13 orang (68%) yang terdiri dari 7 laki-laki dan 6 perempuan menyatakan setuju dan sebanyak 6 orang (32%) yang terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan menyatakan ketidaksetujuannya.

Dalam hal ini, sebagian besar laki-laki setuju bahwa perempuan yang vokal dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Perempuan yang vokal akan lebih berani dalam mengambil keputusan dan melakukan perlawanan, tetapi pada faktanya, tidak sedikit dari ia yang vokal dalam mengusut dan mengkampanyekan kekerasan terhadap perempuan kerap mengalami ancaman secara verbal maupun upaya teror dari orang tak dikenal.

Hal ini dibuktikan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan Terhadap Perempuan, mencatat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM yang terjadi pada tahun 2020.

Apakah perempuan yang memiliki keterampilan sosial yang baik dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan?

Dari 18 responden yang mengisi, sebanyak 12 orang (67%) yang terdiri dari 6 laki-laki dan 6 perempuan menyatakan setuju dan sebanyak 6 orang (33%) yang terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan menyatakan ketidaksetujuannya.

Menurut beberapa pendapat ahli, keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan interaksi sosial baik secara verbal maupun non-verbal, dan pola pikir yang positif.

Banyak responden laki-laki yang menyatakan setuju dengan perspektif bahwa keterampilan sosial yang baik dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang aktif melakukan aktivitas melalui interaksi dengan orang lain dapat menjadikan orang di sekitarnya sebagai pelindung dirinya.

Namun, dengan banyaknya interaksi dengan orang lain menjadikan suatu alasan pelaku justru dengan mudah melakukan kekerasan karena tidak sedikit media memberitakan bahwa tindak kekerasan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.

Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2020 mencatat kekerasan seksual ranah komunitas dilaporkan sebanyak 964 kasus dengan berbagai karakteristik pelaku terbanyak oleh teman, tetangga, orang tak dikenal, dan atasan kerja.

Sumber: Catatan Tahunan tahun 2020 oleh Komnas Perempuan

Apakah perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan rendah rentan mengalami kekerasan terhadap perempuan?

Dari 18 responden yang mengisi, sebanyak 5 orang (28%) yang terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan menyatakan setuju dan sebanyak 13 orang (72%) yang terdiri dari 6 laki-laki dan 7 perempuan menyatakan ketidaksetujuannya.

Namun ada sebuah realita yang ironi dari pertanyaan terakhir ini. Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di kampus dengan korban seorang mahasiswi juga menjadi pertanda bahwa perempuan yang memiliki latar pendidikan tinggi tidak terbebas dari kekerasan.

Seperti yang baru saja terjadi, kasus kekerasan yang menimpa mahasiswi yang dilakukan oleh polisi, Randy Bagus Hari Sasongko.

Kasus ini menyita perhatian semua orang dikarenakan korban telah melalui banyak kekerasan oleh pelaku dan sekaligus menjadi sirine tentang lemahnya prosedur penanganan korban kekerasan sehingga ia mengakhiri hidupnya karena tidak memiliki tempat untuk berlindung.

Hasil dari mini survei memungkinkan tidak dapat mewakili secara keseluruhan dikarenakan metode yang saya gunakan sederhana dan memberikan kesempatan semua orang untuk berpendapat.

Terjadi penurunan responden pada tiap pertanyaan dengan sebab yang tidak dapat diketahui.

Terlepas dari kendala di atas, saya tetap berharap hasil tersebut dapat dijadikan sedikit gambaran atas keberagaman perspektif laki-laki maupun perempuan hingga dapat memperkaya sudut pandang dan menjadi pengetahuan agar perempuan di Indonesia lebih menyadari, mewaspadai segala bentuk kekerasan, serta tidak membiarkan ruang akses pelaku untuk berkeliaran mencari korban selanjutnya.

Selain itu, dibutuhkan aparat penegak hukum jujur dan berintegritas yang dapat melihat perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan yang mengacu pada kebijakan, serta dukungan moral kepada korban tanpa stigma sehingga maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dapat ditangani dengan masif dan adil.

Selamat memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Resti Damayanti

Penyunting: Airlangga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *