Pesona Pedagang Kuliner Usia Tua dan Kekhasan yang Melekatinya

Sumber gambar: Dokumentasi Penulis

Sumber gambar: Dokumentasi penulis.

Menjamurnya usaha makanan dan minuman dengan keanekaragaman inovasi dan kreativitas yang diusungnya demi menjadi “yang beda” dalam gelanggang panas bisnis kuliner di era sekarang, tidak akan mengusik pamor penjual makanan yang telah muncul terlebih dahulu.

Malah mereka, yang mayoritas adalah pedagang-pedagang yang telah keriput kulitnya, dengan menu yang begitu-begitu saja, area lapak yang tidak diperluas meski jumlah pengunjung terus bertambah, dan reumatik yang mengancam sewaktu-waktu, tetap menjadi prioritas destinasi trip lidah bagi para pencinta kuliner.

Perjalanan saya menyusuri Pasar Denggung di Minggu pagi di penghujung Februari lalu, menjadi pijakan awal tulisan ini tercipta. Ketika itu, saya sedang menemani ibu belanja keperluan harian. Sembari menunggu ibu mengobrol dengan pemilik warung dan barang belanjaannya tunai dipersiapkan, saya memutuskan berkeliling.

Ketika Sleman City Hall masih bersiap untuk buka, pasar tradisional yang terletak di depannya ini sudah bangun sedari subuh. Saya tiba di tengah pasar dan melihat lapak penjual makanan yang ditunggu oleh seorang nenek dan anaknya. Lapaknya sederhana saja. Tiada papan nama, daftar menu, atau kode bar pemindaian pembayaran digital.

Pengunjung pasar mengenalnya dengan nama Mbah Tris. Nenek berusia 77 tahun, mantan penjual tape singkong yang sekarang menjual sarapan pagi. Berbeda dengan warung gudeg Mbah Lindu atau warung lupis Mbah Satinem yang sudah terkenal, Mbah Tris dan warungnya hanya dikenal oleh pengunjung Pasar Denggung saja.

Baca juga: Untungnya Tinggal Di Rumah Kawasan Padat Penduduk

Menu sarapan yang ditawarkannya selalu sama: nasi yang terlalu pulen hingga jemek (sangat lembut, basah, dan menyatu), mie goreng, tumis gembus, dan sambal. Lauknya yang disediakan selalu tempe bacem, gembus bacem, dan bakwan berukuran mini. Kamu bisa mendapat empat biji bakwan mini hanya dengan selembar uang seribu rupiah saja.

Mbah Tris mematok harga menu sarapan yang dijualnya dalam dua macam porsi. Porsi kecil seharga tiga ribu rupiah, sementara porsi besar seharga lima ribu rupiah.

“Pokoknya, masnya ke sini jam setengah sembilan,” begitulah yang diutarakan anaknya kepada saya dan dari ucapan itu saya paham, jam setengah sembilan ini sewaktu-waktu bisa berubah. Dengan kata lain, saya tidak boleh kesiangan jika ingin kebagian porsi sarapan.

Komposisi penyusun sarapan pada warung Mbah Tris ini selalu sama tiap harinya, kecuali tumis gembusnya. Gembus harus menjadi bahan utama tumis, kemudian di-mix dengan berbagai sayur macam melinjo, terong, buncis, daun so, kacang panjang, jagung, kluwih, nangka muda, dan lain sebagainya. Bagi pengamat kuliner, mungkin akan menemukan ketidaklaziman dari campuran tumisnya ini, dan saya akan sepakat dengan hal ini. Sungguh tumis gembus yang janggal, tapi enak. Cobalah, seporsi sarapan ini sungguh lezat, apalagi jika kamu penyuka pedas.

Hal-hal yang saya jumpai di lapak Mbah Tris sangat berbeda ketika berkunjung ke lapak makanan lain yang umumnya dirintis oleh para pebisnis kuliner yang berusia muda. Mereka, mungkin karena terbius gelora ambisi, begitu bersemangat melakukan apa saja agar kedainya disemuti pengunjung. Mulai dari inovasi menu, inovasi bungkus, konsep ruangan yang mesti ciamik, strategi pemasaran digital, memakai jasa selebgram, menyiapkan paragraf-paragraf panjang yang “cantik” sekaligus “menjerat” ─yang selalu berubah setiap hari─ untuk konten pemasaran produk di media sosial, menyiapkan level kepedasan, penyematan kalimat “tidak membuka cabang di tempat lain”, dan hal-hal jelimet lainnya. Intinya, selalu mengutamakan keparipurnaan konsep bisnis yang super detail dan teknis demi memancing pelanggan datang.

Selalu mengalami pembaharuan, bukti legalitas, atau semacam kerumitan yang sukar ditiru oleh kompetitor adalah kunci meramaikan konsumen dan menjadikan sebuah warung kuliner berhasil dalam bisnisnya. Hal inilah juga menjadi senjata para pengusaha kuliner untuk menjaga eksistensi warung serta bersaing di gelanggang persaingan dagang yang makin hari, makin beringas.

Namun, timbul pertanyaan, jika pengusaha-pengusaha kuliner menjadikan hal-hal seperti di atas sebagai kunci keberhasilan menarik pelanggan, mengapa warung makanan seperti Mbah Tris dan kompatriot seangkatannya, yang tidak melakukan hal serupa, tetap mampu bertahan dan malah mungkin bertambah ramai pengunjung alih-alih tersingkir? Atau, mengapa pula malah menjadi sasaran konten bagi wartawan kuliner atau vloger partikelir? Apa yang membuat warung makan angkatan tua begitu menarik?

Mbah Tris dan warung makan sejawatnya mempunyai hal yang bagaimanapun tidak akan dimiliki oleh pebisnis kuliner yang menerapkan aneka “aji-aji” kiwari itu. Mereka memiliki hal yang mustahil ditiru. Hal itu adalah pesona usia tua.  Pesona penjual makanan berusia tua ini juga pernah diutarakan oleh William Wirjaatmadja Wongso, seorang pakar kuliner senior Indonesia.

Dalam pembukaan video pendek mengenai “Gudeg Mbah Lindu” di salah satu kanal Youtube, dia mengutarakan bahwa dirinya merasa terpukau sekaligus bertanya-tanya, kok ada penjual makanan seperti Mbah Lindu yang saat itu sudah berusia 80 tahun lebih, masih memasak, warungnya ramai, dan berjualan dengan hanya satu menu makanan saja yaitu: gudeg.

William juga mengakui bahwa gudeg yang dibuat Mbah Lindu memang berbeda dengan gudeg yang lain. Gudegnya memiliki energi yang bisa membuat orang yang tidak suka gudeg menjadi suka. Semacam “sihir kuliner” mungkin, lebih tepatnya.

Contoh kasus lain yang William utarakan, yakni kisah seorang bule Jerman yang datang ke lapak gudeg Mbah Lindu, dan awalnya, enggan menyantap gudeg karena menilai ketidakhigienisan dalam penyajiannya. Namun, pada akhirnya, dia mau juga untuk menyantap gudeg bahkan meminta tambah dan premis ketidakhigienisan yang ia kemukakan di awal terpaksa gugur kemudian. Cita rasa terkadang mempunyai daya magis tersendiri yang mampu membuat lidah membabat habis gengsi.

Ini pun yang saya pikirkan pada lapak Mbah Tris. Pengunjung berkerumun padahal sedang pandemi. Melihat tangan keriputnya meracik pesanan dan geraknya yang lamban, bukannya membuat orang malas menunggu, tapi malah rela bersabar antre dan antusias menjajal. Seakan-akan ada energi yang kuat di setiap gerakannya yang lamban itu. Tidak jarang juga ada anak muda yang masih haus pengakuan, menjadikannya objek foto atau rekaman yang nantinya akan diunggah di akun medsos mereka.

Pesona adalah cara untuk mendapatkan jawaban tanpa perlu banyak bertanya, begitu kata filsuf absurdisme kelahiran Aljazair, Albert Camus. Bagi pedagang kuliner, pesona yang ada pada warungnya adalah jawaban agar dikunjungi dan mendapat omzet. Pedagang kuliner muda sibuk mencari pesona untuk warungnya. Sedangkan, pedagang kuliner tua tanpa bersusah payah, sudah menjadi pesona itu sendiri.

Pesona inilah yang menjadi jawaban mengapa pengunjung sarapan Mbah Tris rela menunggu dan merekamnya, atau membuat bule Jerman tadi minta tambah saat menyantap gudeg Mbah Lindu meski awalnya mengungkapkan keengganan dengan alasan kebersihan.

Pesona yang muncul dari pedagang kuliner berusia tua, bila dijelaskan, merupakan semacam perpaduan rasa simpati, ingin merasakan sesuatu yang autentik, dan menjadikan diri (pengunjung) bagian dari sejarah berdirinya warung makan itu. Jika dikalimatkan oleh pemuda yang suka ceplas-ceplos, begini, “Mbah, jangan mati dulu, aku ingin merasakan masakan buatanmu barang sekali.”

Pesona pedagang tua biasanya dibersamai dengan sebuah alasan khusus mengapa dirinya harus tetap berjualan. Alasan itu, bukan sesederhana mendapat untung semata, tapi seperti ada “idealisme” yang hanya Tuhan dan pedagang tua itu yang tahu.

Aspek lain adalah perihal konsistensi. Contoh yang biasa ditemui adalah dengan tetap memberikan porsi menu yang banyak dengan harga yang murah, meski harga kebutuhan bahan pokok cenderung naik seiring laju zaman. Jika berkaca pada dagangan Mbah Tris, menjual menu sarapan gocengan di zaman seligat ini, tentu akan mengundang cercaan Robert Kiyosaki dan para pakar financial freedom lainnya.

Entah, mungkin ada misi laten berbagi atau bersedekah sesama wong cilik di baliknya. Kita tidak pernah tahu bagaimana perspektif seseorang yang menjalankan aktivitas ekonomi dengan berorientasi spiritualitas. Biarlah itu tetap di ranah intrapersonal.

Kedua hal ini ─idealisme dan konsistensi─ hanya akan hilang dengan melemahnya fisik atau datangnya kematian. Keniscayaan yang menyapa menjelang hari-hari terakhir menatap mentari tiba.

Kasus lain yang telah terjadi yaitu seperti pada nasib warung mie ayam Pak dan Bu Wiyono, atau yang juga dikenal dengan Mie Ayam Sendowo, yang tutup pada tahun 2020 lalu, setelah 36 tahun beroperasi. Pasangan tua ini terpaksa tutup karena kekuatan fisik yang terus menurun dan bujukan keluarga.

Semangkok mie ayamnya yang sukar diaduk karena penuh, tekstur mie yang tebal dan kuah yang cenderung manis-gurih, lengkap dengan tambahan bakso goreng, plus harganya yang nyaman di kantong, telah banyak menyelamatkan perut mahasiswa dan kaum pejuang rupiah lainnya kala dilanda lapar saat jam makan siang.

Hmm, memang, ya, yang melegenda itu akan selalu hidup menetap di hati para pencintanya.

Penyunting: Lindu A.

Baca juga: Perempuan, Kekerasan, dan Stigma, Sarungan Adalah Hak Segala Umat, dan esai menarik lainnya di Esai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *