Sumber gambar: Pexels
Isu kesehatan mental sekarang ini bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan oleh anak muda. Melalui wacana-wacana yang ada di media sosial, kesadaran tentang kesehatan mental di kalangan kawula muda mulai terbangun. Hal yang dulu ditutup rapat dan dianggap tabu untuk diperbincangkan, kini mulai dibawa ke ruang publik untuk didiskusikan.
Namun, persebaran informasi yang masif seputar topik penyakit mental dan gejala-gejalanya menghadirkan konsekuensi tertentu, yakni self-diagnosis. Kelompok yang cukup rawan terhadap kecenderungan self-diagnosis ini adalah kalangan anak muda.
Hanya berdasarkan informasi yang seliweran di linimasa media sosial, lantas mendiagnosis diri sendiri sebagai pengidap penyakit mental tanpa melakukan konsultasi dan validasi kepada pihak yang lebih kompeten di bidangnya.
Sikap impuslif semacam ini berbahaya karena dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan menyebabkan kekhawatiran yang tidak perlu. Langkah paling benar yang dapat dilakukan ketika merasa mengalami penyakit mental adalah dengan pergi ke psikolog untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Di Yogyakarta sendiri, ada beberapa alternatif yang bisa diambil saat ingin pergi ke psikolog, di antaranya: pergi ke psikolog swasta, atau ke poli psikologi yang sekarang sudah ada di banyak puskemas di Yogyakarta.
Melansir dari situs Into The Light Indonesia, ─komunitas orang muda untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa orang muda─ ada 57 puskesmas dengan poli psikologi yang tersebar di tiga kabupaten di Yogyakarta. Enam belas di Bantul; enam belas di kota Yogyakarta; serta sisanya di Sleman.
Layanan psikologi di puskemas bisa didapatkan dengan harga yang murah bahkan bisa jadi gratis jika memiliki kartu BPJS Kesehatan yang terdaftar di fasilitas kesehatan (faskes) setempat. Namun, akses layanan tersebut hanya bisa dilakukan dengan cara datang langsung ke puskesmas.
Baca juga: Perempuan, Kekerasan, dan Stigma
Layanan yang disediakan oleh psikolog swatsa lebih beragam karena mencakup konsultasi langsung maupun konsultasi daring baik melalui chat, video call, voice call, ataupun melalui surel.
Jika ingin berkonsultasi ke psikolog swasta, biaya yang harus dikeluarkan memang cukup besar untuk sebagian besar orang. Tarif termurah berkisar 250 ribu untuk satu sesi berdurasi 50 menit. Sementara itu, kocek senilai 50 ribu harus lebih dulu digelontorkan di awal, hanya untuk biaya pendaftarannya saja.
Layanan daring dibanderol dengan harga yang lebih murah dan beragam. Mulai dari 350 ribu/60 menit sampai 375 ribu/90 menit untuk satu kali sesi konseling melalui panggilan, 200 ribu/jam untuk konsultasi melalui chat, dan untuk konsultasi melalui surel bisa didapatkan mulai dari 100 ribu untuk satu kali balasan sampai 250 ribu untuk dua kali balasan.
“Ada harga, ada rupa,” begitulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan dua pilihan tersebut. Jika lebih memilih pergi ke puskesmas untuk mengakses layanan kesehatan mental dengan pertimbangan biaya, kita harus rela berjibaku dengan pelayanan yang buruk, lambat, dan ketus dari para pegawai puskemas, khas layanan publik di Indonesia.
Dari 57 puskemas yang tersebar di tiga kabupaten di Yogyakarta tadi, rata-rata rating (skor penilaian) adalah 3.61 dengan rata-rata jumlah ulasan sebanyak 77 review. Bukan penilaian yang baik tentunya.
Jika kita membuka Google Maps dan mencari satu per satu puskesmas yang tercantum di laman Into The Light Indonesia, ulasan buruk terkait lambat dan tidak ramahnya pelayanan akan jamak kita temukan di kolom komentar ulasan plus bubuhan bintang satu yang terpajang di sebelah foto profil pengulas.
Rating terburuk diraih oleh Puskesmas Kalasan dengan skor penilaian 2.7 dengan 138 jumlah ulasan. Dengan skor sama, Puskesmas Banguntapan menyusul dengan sumbangsih 93 ulasan. Selanjutnya, ada Puskemas Depok 3 yang memperoleh skor 3 dengan total 175 ulasan. Dari 57 puskemas, hanya 11 puskemas yang mendatkan skor 4 atau lebih.
Ulasan buruk di berbagai puskesmas tersebut berkutat pada permasalahan pelayanan yang lambat, buruk, dan tidak ramah. Data terkait rating sudah saya rekap dan bisa dilihat di sini.
Berbanding terbalik dengan saat kita mencari kata kunci “Psikolog Yogyakarta” di kolom pencarian Google Maps, ada beberapa faskes yang mendapatkan skor penilaian di bawah 4, tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan faskes yang memperoleh skor di atas 4. Bahkan, ada yang ratingnya 5 sempurna, tetapi jumlah rata-rata ulasannya hanya sedikit. Misalnya, Biro Psikologi Laksita Educare Insight yang mendapatkan skor nyaris sempurna (4,9) hanya mendapatkan 116 ulasan saja dari para kliennya. Hal ini menandakan bahwa layanan kesehatan mental berbayar di Yogakarta hanya bisa diakses oleh segelintir orang saja.
Anehnya, di Gunungkidul, ─kabupaten dengan angka bunuh diri tertinggi di Yogyakarta─ layanan-layanan kesehatan mental jarang ditemui. Laman detikNews mencatat bahwa sejak awal tahun 2021 hingga 9 Desember 2021, ada 38 kasus bunuh diri. Angka tersebut mungkin saja lebih tinggi dari tahun sebelumnya karena pengaruh dari pandemi yang belum juga usai hingga kini.
Pada masa pandemi seperti ini, pasti ada saja insan kesepian yang bermasalah dengan hidupnya dan tidak tahu harus mencurahkan permasalahannya ke mana. Malang sekali ketika harus bergelut lagi dengan frontliner faskes yang ketusnya tak terkira, bukannya sembuh malah bikin jiwa tambah sansoyo bubrah. Ambyar, mawut, babak bundas. Nelangsa.
Opsi paling realistis adalah merelakan diri untuk mendapatkan layanan yang ketus dari pegawai puskesmas, menabung dan menyisihkan upah UMR Yogyakarta yang rendah itu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak, atau mencari teman curhat dengan risiko mengadu perundungan nasib.
Alternatif lain yang lebih masuk akal adalah dengan mencari layanan konseling gratis yang sekarang bisa dengan mudah kita temukan di mesin pencarian. Salah satunya, bisa diakses di laman BagiKata. Di sana kita bisa curhat dengan handler ─peer counselors yang dilatih oleh Lead Psychologist BagiKata untuk menangani kasus-kasus umum yang bersangkutan dengan masalah keseharian─ melalui chat yang ada di laman BagiKata, atau melalui platform LINE. Selain bisa menjadi “pasien”, di sana kita juga bisa menyumbangkan uang atau waktu kita dengan menjadi handler.
Penulis: Fais Halim
Baca juga: Pesona Pedagang Kuliner Usia Tua dan Kekhasan yang Melekatinya, Mahasiswa Kresek di tengah Perkuliahan Daring, dan esai menarik lainnya di rubrik Esai.