Sumber gambar: Dokumentasi pribadi penulis.
Jum’at (18/03) pukul empat sore, tim Wartafeno menyambangi Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang bertempat di Banguntapan, Bantul, yang berbatasan langsung dengan Kotagede, Kota Yogyakarta.
Kami disambut oleh pengasuh Ponpes Al-Fatah, Shinta Ratri yang lantas mempersilakan kami untuk duduk bersama di teras rumah yang teduh. Tempat yang kini menjadi pondok pesantren waria ini sejatinya adalah rumah pribadi milik Shinta. Namun, Shinta mempersilakan kediamannya dimanfaakan sebagai ruang aman bagi waria beribadah, belajar, dan berkumpul.
Ponpes Al-Fatah adalah ponpes yang berisi para santri dari kalangan waria yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 2008. Shinta memaparkan, kelompok waria di Jogja sendiri sudah aktif melaksanakan pengajian rutin setiap hari Senin dan Kamis sejak tahun 2006. Ide untuk mendirikan pondok pesantren waria ini dicetuskan oleh K.H. Hamroli, pengampu pengajian rutin tiap Senin dan Kamis itu.
Shinta menjelaskan bahwa K.H. Hamroli menyarankan agar kegiatan pengajian rutin tersebut tidak hanya sebatas mendengarkan tausyiah saja. Namun, lebih baiknya juga jika diadakan proses belajar, mengaji, dan ibadah bersama dalam suatu wadah yang konkret. Beliau pulalah yang meyakinkan untuk merealisasikan ide tersebut dalam wujud pondok pesantren. Kini, peran K.H. Hamroli dalam mengisi kajian rutin di Ponpes Al-Fatah sudah digantikan oleh Kiai Abdul Muhaimin pasca wafatnya K.H. Hamroli pada tahun 2013 silam.
Jumlah waria yang terdaftar sebagai santri di Ponpes Al-Fatah, kini telah mencapai 62 orang. Santri-santri tersebut berasal dari berbagai daerah dan latar belakang profesi yang bermacam-macam. Mayoritas waria bekerja sebagai pengamen, sebagian lainnya bekerja di salon, menekuni profesi perias pengantin, pedagang, dan ada pula yang bekerja sebagai tukang kebun.
“Kami menanggalkan latar belakang profesi kami ketika berkumpul mengaji, belajar agama, dan beribadah bersama. Jadi, pada intinya, kami sama-sama mencari Tuhan, berlomba-lomba meraih cinta Allah,” ungkap Shinta.
Baca juga: GSAS, Bumi Manusia, dan Es Tebu Yang Memahit Dihantam Pandemi
Berdirinya Ponpes Al-Fatah dilatarbelakangi oleh ketidaknyamanan para santri waria saat beribadah di tempat umum karena dianggap mengganggu oleh jamaah lain. Mulai dari mendapat penolakan jabat tangan karena dinilai dapat membatalkan wudu bila bersentuhan kulit, selentingan-selentingan sinis, hingga dijauhi ketika berdiri dalam saf.
Akhirnya, para waria lebih memilih untuk menarik diri dan beribadah di rumah. Al-Fatah menjadi alternatif tempat yang aman dan nyaman bagi waria untuk beribadah tanpa mendapatkan stigma dari masyarakat.
“Ruang ini (Al-Fatah) adalah ruang nyaman dan aman untuk kawan-kawan waria belajar agama dan beribadah bersama,” tandas peraih penghargaan dari Front Line Defenders tahun 2019 lalu itu. Shinta Ratri terpilih sebagai ‘inspirator pembela hak asasi manusia yang berisiko’ untuk Wilayah Asia Pasifik di Dublin, Irlandia, karena kegigihannya mempertahankan ponpes waria dari intimidasi Front Jihad Islam (FJI) pada tahun 2016 silam.
Lebih lanjut, Shinta menguraikan bahwasanya Tuhan memerintahkan semua manusia untuk bertakwa kepada-Nya sehingga atribut gender tidak lebih krusial daripada kewajiban setiap insan untuk menjalankan ketakwaan semaksimal mungkin.
Persekutuan Doa dan Bakti Sosial
Ponpes Al-Fatah menerima waria dari lintas agama. Setahun belakangan, Ponpes Al-Fatah rutin menyediakan ruang spritual yang diberi nama “Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan” untuk mengakomodasi kebutuhan beribadah dari kawan-kawan waria yang non-muslim.
Selain kegiatan keagamaan, Ponpes Al-Fatah juga mengadakan kegiatan-kegiatan pelatihan peningkatan ekonomi bagi kawan-kawan waria. Kegiatan tersebut dijadwalkan terlaksana tiap hari Sabtu dengan tema pelatihan yang berganti-ganti. Mulai dari pelatihan Bahasa Inggris, keterampilan memasak, menyulam, hingga belajar menanam dengan cara hidroponik. Pelatihan-pelatihan yang digalakkan ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup kawan-kawan waria.
Ada juga kegiatan-kegiatan sosial. Contohnya, Ponpes Al-Fatah melaksanakan vaksinasi yang dapat diakses tanpa persyaratan KTP. Kalangan yang menjadi prioritas penerima vaksin adalah golongan-golongan rentan pada umumnya seperti difabel, tunawisma, dan pekerja seks komersial.
Dari Advokasi IWAYO Hingga Diundang ke Catalonia
Jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh sebagian besar santri-santri waria adalah SMP, yang mana merupakan masa-masa pubertas remaja. Masa-masa di mana mulai mengekspresikan sisi keperempuannya dengan cara bersolek. Dampaknya, banyak waria yang terusir dari rumah karena pihak keluarga tidak bisa menerima kondisi tersebut.
Oleh karena tidak memiliki pilihan dan bekal penghidupan yang cukup, mereka pun melakukan pekerjaan yang minim keterampilan seperti mengamen, memulung, bahkan ada yang terjerumus ke dalam lubang hitam pelacuran. Jika ditarik lebih dalam, akar penyebabnya ialah karena waria termarginalkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang cenderung konvensional. Mengenal dan melihat gender secara biner dan tidak dapat menerima kemungkinan-kemungkinan lain di luar dua gender utama.
Dari segi lainnya, hak-hak waria sebagai seorang warga negara juga kerap tidak terpenuhi secara utuh dan mengalami diskriminasi perlakuan. Bagi seorang waria, memiliki KTP adalah sebuah dilematika. Imbasnya, kondisi ini merembet ke permasalahan lain seperti pemenuhan hak politik dan akses layanan publik yang memerlukan persyaratan identitas kewarganegaraan.
Melalui Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Shinta berpartisipasi dalam advokasi untuk mempermudah waria di seluruh Indonesia untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara. Usaha yang dilakukan IWAYO pun membuahkan hasil. Kini, waria-waria yang tidak memiliki kartu keluarga bisa bergabung ke Kartu Keluarga (KK) orang lain untuk bisa mendapatkan KTP tanpa memerlukan dokumen pendukung lain seperti akta kelahiran.
“Kami ingin masyarakat juga mengerti bahwa waria itu bukan sesuatu pilihan. Kami enggak pernah memilih untuk hidup seperti ini. Kalau waria itu ditanya, pasti enggak akan memilih hidup menjadi waria. Sudah di-bully, diejek, dihina, dan dianggap rendah pula oleh masyarakat. Kami hidup ini hanya menjalani takdir. Kami enggak bisa untuk menjadi bukan waria,” papar Shinta sambil berkaca-kaca.
Tak seperti mayoritas waria yang riwayat pendidikannya hanya sampai jenjang sekolah menengah, Shinta mengaku beruntung karena bisa merasakan bangku kuliah. Keluarga Shinta mau mengerti dan senantiasa mendampingi alih-alih memvonis secara arbitrer.
Shinta sendiri adalah alumnus Universitas Gadjah Mada yang lulus pada tahun 1989. Dulunya, ia berstatus sebagai mahasiswa jurusan Biologi angkatan 1981. Dengan kata lain, merupakan adik tingkat Jokowi setahun di bawahnya.
Membersamai kawan-kawan waria di Ponpes Al-Fatah, membuat Shinta bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu atau profesi. Mulai dari para mahasiswa yang menjadikan Ponpes Al-Fatah sebagai bahan penelitian skripsi, lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia, hingga wartawan asal Spanyol yang tahu-tahu mengabarinya bahwa ia akan menerima penghargaan dari Casa Asia Award untuk kategori “Diversity” dan akan terbang ke Barcelona pada bulan Juli nanti.
Penyunting: Lindu A.
Baca juga: Menilik Potensi Kemukus di Desa Margoyoso, Eco Enzyme: Cairan Serbaguna yang Meminimalisir Sampah, dan liputan menarik lainnya di rubrik Liputan.