Career Opportunities: Sawang Sinawang Zona Nyaman

Sumber gambar: Netflix

Identitas Film

Judul: Career Opportunities

Genre: Romantic/Comedy

Sutradara: Bryan Gordon

Produser: John Hughes, A. Hunt Lowry

Penulis skenario: John Hughes

Pemeran: Frank Whaley, Jennifer Connelly, Dermot Mulroney, Kieran Mulroney, John M. Jackson, Jenny O’Hara, Noble Willingham, Barry Corbin, Wilbur Fitzgerald, William Forsythe, John Candy

Sinematografi: Donald McAlpine

Editor: Glenn Farr, Peck Prior

Penata musik: Thomas Newman

Perusahaan produksi: Hughes Entertainment

Distributor: Universal Pictures

Tanggal rilis: 29 Maret 1991

Durasi: 83 menit

Negara: Amerika Serikat

Bahasa: Bahasa Inggris

*

Ada banyak cara membunuh waktu. Menonton film adalah salah satunya. Dan kini, dengan perkembangan teknologi yang pesat, untuk menikmati film, kita tidak harus datang ke bioskop. Nonton lewat laptop atau ponsel pun jadi.

Bagi beberapa orang, film bukan cuma tontonan hiburan belaka. Lebih dari itu, film juga dapat menjadi referensi belajar. Entah sekadar trivia, sarana belajar bahasa asing, serba-serbi videografi hingga petikan pesan dari suguhan cerita yang tak jarang menggelitik nalar dan menyentuh kalbu.

Beberapa hari lalu, saya menonton sebuah film yang judulnya saya temukan dari kolom komentar sebuah unofficial video klip dari lagu ‘I Follow’ milik Castlebeat, yang suatu ketika muncul di beranda ketika sedang asyik menjelajah kanal Youtube.

Dalam video klip berdurasi 160 detik tersebut menayangkan seorang laki-laki berpakaian kerja layaknya seorang cleaning service dan seorang perempuan berkaos singlet putih bercelana skinny-fit jeans hitam, berdua ke sana kemari di atas roller skate menyusuri setiap jengkal mal yang sepi dengan bercanda, tertawa dan sesekali menari kecil.

Rupanya dua sejoli tersebut ialah Jennifer Connelly dan Frank Whaley yang tengah beradu peran dalam film berjudul “Career Opportunities”. Jennifer Connelly sebagai sebagai Josie McClellan dan Frank Whaley sebagai Jim Dodge.

Film bergenre komedi-romantik ini cukup menghibur dan sepanjang 83 menit waktu menonton, ada dua hal yang kiranya dapat kita petik sebagai hikmah. Atau jika “hikmah” terkesan hiperbolis maka anggap saja sekadar tahi angin belaka.

Seni Membual

Sejak awal film, kita sudah disuguhi akting tokoh Jim yang gemar membual. Jim membual di mana dan kapan saja. Di hadapan bocah-bocah, keluarga hingga di depan binatang peliharan sekalipun.

Bertemu orang dengan kecenderungan megalomaniak seperti Jim ini sering kali memuakkan. Seperti mendengar stereo radio ringsek berjejalan dalam telinga. Seakan-akan minta kita pukul dan banting guna menambal polusi suara dari lambenya.

Walau demikian, sepertinya membual sudah menjadi keniscayaan bagi banyak orang. Setiap dari kita rasanya pernah melebih-lebihkan cerita ketika berkisah. Entah guna menyedapkan pemerian, sebagai ajang show off atau sekadar ingin menarik simpati lawan bicara.

Akan tetapi, membual bukanlah hal yang mudah. Pembual yang baik adalah pembual yang mengenali targetnya. Perlu wawasan luas dan kemampuan membaca karakter seseorang guna menunaikan bualan yang kafah dan paripurna.

Dalam kasus Jim, ia tentu mampu membuat terkesima tiga bocah yang mendewakannya, dengan mulut besarnya. Tinggal karang cerita dengan dibumbui sekelonet istilah-istilah ndakik, jadi sudah. Kalaupun mereka bertanya apa maksud istilah-istilah tersebut, tinggal jawab saja, “Ah, bocah mana paham.”

Berbeda ketika Jim membual di hadapan orang yang lebih dewasa. Di hadapan Josie, misalnya. Pada suatu adegan, Jim tengah asyik mengisap cerutu dengan gaya tengilnya. Melihat itu, Josie jadi bertanya apakah Jim selalu melakukan itu setiap habis makan. Dan, ya, Jim mengamininya. Namun, langsung dihantam oleh Josie dengan pertanyaan menohok, “You’re the town liar, right?

Sontak, Frank tergagu. Ia sadar ia salah sasaran. Tampaknya, urusan bual-membual Jim Dodge masih kalah masyhur daripada Frank William Abagnale Jr. Penipu ulung yang telah memalsukan jutaan dolar cek dan melakukan aksi penyamaran beberapa profesi. Kalau penasaran, kamu bisa tonton cerita lengkapnya di film “Catch Me If You Can” yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio itu.

Namun, tak selamanya membual itu buruk. Setidaknya, bualan Frank sempat menyelamatkannya dari sergapan dua orang perampok. Ya, target bualan yang paling empuk adalah orang asing yang tidak mengenal seluk-beluk diri kita, sedangkan kita tahu betul tentang diri mereka.

Perspektif Zona Nyaman

Dewasa ini kita kerap mendengar fatwa latah para pembeo tentang “nasihat” untuk keluar dari zona nyaman. Yang mana instruksi tersebut sebenarnya cukup kontradiktif dengan naluri dasar manusia yakni bertahan hidup.

Manusia bekerja keras siang-malam semata-mata, ya, agar dapat hidup nyaman dan tenteram. Ketika sudah merasa memiliki suatu kenyamanan kok disuruh keluar, bagaimana sih? Jangan-jangan yang menjadi soal bukan perihal keluar dari zona nyaman, melainkan bagaimana menyamankan diri di zona apa pun?

Ya, kalimat tersebut cukup nisbi dan sepertinya akan menjadi perdebatan abadi hingga yaumuljaza kelak. Demikian halnya yang dialami oleh Jim dan Josie.

Jim yang notabene ‘anak rumahan’ merasa heran dengan kelakukan Josie yang berniat mengutil barang di mal hanya untuk mempermalukan reputasi ayahnya yang merupakan salah seorang tokoh terpandang di kotanya. Padahal, sekilas Josie telah memiliki segalanya: kemapanan ekonomi, paras cantik, dan kemudahan akses ekslusif lainnya. Tinggal kawin, beranak dan berbahagia, sempurna sudah, begitu kalau kata Chairil Anwar.

Sebaliknya, Josie justru iri dengan Jim yang memiliki kebebasan untuk memilih. Tidak seperti dirinya yang dikekang terus oleh sang ayah yang abusive. Walaupun Jim sendiri sebenarnya lebih suka menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di rumah.

Di sinilah kita bisa menyimak bahwasanya zona nyaman itu perkara sawang sinawang. Hidup seorang putri di istana yang bergemilang kemewahan belum tentu lebih merdeka lagi berbahagia daripada laju burung yang beterbangan di langit sana. Sebaliknya, burung yang terbang bebas pun tak serta-merta lepas dari ancaman senapan pemburu, derai badai, dan bahaya mengerikan lainnya.

Perspektif seseorang tentang pemaknaan “zona nyaman” sedikit banyak akan berdampak terhadap kepribadiannya. Pada diri Jim, kita dapat melihat karakter pembual yang likat. Bagi Jim, membual adalah “jalan pedang”. Membual adalah upaya Jim untuk tetap nyaman dan percaya diri sehingga dapat menafikan rasa minder dan membuatnya merasa, setidaknya, selevel dengan orang lain.

Lain halnya dengan Josie. Hanya tinggal berdua dengan sang ayah, membuatnya terkurung. Hidupnya serasa dikendalikan oleh sang ayah. Sebagai seorang gadis, tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan daripada berdiam diri di rumah sepanjang hari. Namun, penghidupan Josie berasal dari sang ayah─sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa sebab ibu dan saudara kandungnya telah tiada. Dan ayah tetaplah ayah. Terikat kekal dalam hubungan darah. Situasi inilah yang membuat Josie berada dalam perasaan tak tentu yang turut mengkonstruksi personalitas Josie menjadi pribadi yang ragu-ragu.

Oh ya, fun fact, kalau kalian perhatikan lebih saksama, wajah Jennifer Connelly kala senyum itu mirip sekali dengan paras penyerang Atletico Madrid, Antoine Griezmann. Coba saja jeda film pada menit 78 detik 37.

Dan kebetulan atau bukan, Griezmann lahir hanya delapan hari sebelum film “Career Opportunities” ini rilis pada tanggal 29 Maret 1991.

Masya Allah!

Pengulas: Lindu Ariansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *