Sumber gambar: Dokumentasi pribadi penulis
Jika masih hidup, hari ini ia akan berulang tahun yang ke-143. Seorang putri kelahiran Jepara yang harum namanya; pelopor kebangkitan perempuan Nusantara. Ya, dia adalah Raden Ajeng Kartini, atau panggil saja Kartini, sebagaimana permintaannya sendiri. Nama yang selalu kita kenang ketika tanggal 21 April tiba sejak Presiden Soekarno menetapkan Hari Kartini melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964.
Ada beragam cara untuk mengenangnya dan saya memilih museum sebagai jalan merayakannya.
Selia Repositori
Sabtu (9/4) saya menyambangi Museum R.A. Kartini Jepara yang berlokasikan di Jl. Kartini, Panggang 1, Panggang, Jepara, Jawa Tengah. Museum yang telah berumur hampir setengah abad ini menyimpan banyak benda-benda sejarah dari semasa R.A. Kartini hidup, benda-benda peninggalan R.M.P. Sosrokartono (kakak R.A. Kartini), serta benda-benda sejarah dari beberapa wilayah di Kabupaten Jepara.
Saat memasuki halaman depan museum, mata kita disuguhkan dengan ukiran khas Jepara yang indah pada gerbang pintu masuk. Patung Kartini yang berdiri kokoh di depan pintu museum dan menjadi salah satu spot foto para wisatawan.
“Patung Kartini ini dulunya berada di pendopo kabupaten. Dibuat pada kisaran tahun 1985 oleh Waluyo Hadi,” kata Nugroho, staf kurator dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jepara, menyebut nama perupa Jepara yang juga merupakan sosok yang sama di balik monumen Tugu Kartini yang terletak di tengah persimpangan Jalan HOS Cokroaminoto, Kauman itu.
Memasuki ruangan dalam museum, mata saya dimanjakan dengan nuansa tembok berwarna coklat kayu yang seolah-olah menampilkan kesan klasik dan gambaran dari replika masa lampau. Museum yang telah dibangun sejak tahun 1975 dan diresmikan pada tahun 1977 ini telah mengalami tiga kali peremajaan, yaitu pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Namun, perubahan tersebut hanya seputar pemindahan tata letak saja, bukan renovasi besar-besaran.
Tatanan ruangan yang nyaman, sirkulasi udara yang baik, pencahayaan yang cukup menerangi koleksi dari museum; ampuh membawa pengunjung larut dalam harmoni museum. Ruangan dalam museum terbagi menjadi beberapa ruangan: ruangan pertama yaitu berisi hal-hal tentang R.A. Kartini dan keluarganya, ruangan kedua mencakup seputar sejarah Jepara kuno, ruangan ketiga adalah Dar Oes-Salam (Rumah pengobatan yang didirikan oleh Drs. R.M.P. Sosrokartono di kota Bandung), serta ruangan keempat yang menjadi ruang kerajinan yang terdiri dari karya ukiran Jepara, kereta kuda zaman dahulu, dan sebagainya.
Di museum ini, ada juga warisan-warisan antik bersejarah, seperti uang koin dan uang kertas zaman dulu, alat makan antik, guci, keramik, jambangan, gamelan, beberapa Lingga Yoni, replika reruntuhan Candi Angin, serta Prasasti Candi Angin peninggalan dari Kerajaan Kalingga.
Ada juga sebuah kerangka ikan dengan panjang mencapai 16 meter yang diberi nama Joko Tuo. Kerangka ikan ini merupakan ikan yang ditemukan di pulau Karimunjawa, lalu dipamerkan di Museum R.A. Kartini.
Digitalisasi Museum
Wisatawan yang berkunjung di Museum Kartini, biasanya menghabiskan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam untuk berkeliling empat ruangan tersebut. Ruangan pertama menjadi zona favorit pengunjung untuk menghabiskan waktu lebih sebab menampung banyak informasi seputar biografi R.A. Kartini, karya-karya lukis, tulis, batik, rajut, serta permainan tradisional yang biasa dimainkan beliau saat masih kecil. Para wisatawan biasanya berkunjung dengan keperluan belajar sejarah, mendokumentasikan objek museum bersejarah, maupun hanya sekedar melihat-lihat saja.
Akhir pekan dan hari libur nasional menjadi puncak kunjungan pengunjung museum, meskipun jumlahnya hanya berkisar 50 orang per hari. Sementara itu, pada hari kerja biasa, jumlah pengunjungnya sekitar 20 orang saja.
“Setelah pandemi, kunjungan pada hari kerja menurun drastis. Namun, biasanya sangat ramai saat ada kunjungan anak-anak TK yang diperkenalkan tentang sejarah Jepara sejak dini,” ungkap Nugroho.
Dari segi fasilitas tambahan, Museum Kartini memiliki sarana yang cukup memadai. Pada bagian depan museum, terdapat tempat parkir yang luas; di ujung barat museum, terdapat kantin yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman; di sisi timur, terdapat toilet, mushola outdoor, paseban atau yang biasanya digunakan untuk istirahat para wisatawan; serta pada ujung timur, terdapat aula yang biasa digunakan untuk acara seperti mengulas kebudayaan, bincang santai, dan lain-lain.
Kelebihan dari Museum Kartini Jepara adalah tur virtual 360º, yang juga bisa diakses dari galeri digitalnya di museumkartini.id. Cukup dengan menggunakan laptop maupun ponsel, kita sudah bisa berkeliling mengunjungi ruangan-ruangan di dalam museum secara daring.
Museum R.A. Kartini memiliki koleksi yang cukup lengkap, hanya saja ada beberapa koleksi museum yang tidak diberi detail spesifik tentangnya sehingga informasi yang diperoleh pengunjung menjadi terbatas. Meski demikian, langkah digitalisasi dalam pengembangan museum, patut diapresiasi sebagai salah satu upaya guna mendongkrak minat wisatawan berkunjung.
“Dari segi digitalisasi, museum ini sudah siap, sebetulnya. Alat-alat keperluannya juga sudah ada. Namun, belum terealisasikan dengan baik dan masih terus berproses lagi,” terang Nugroho.
Jika kamu tertarik untuk mampir ke sini, datang saja. Pemkab Jepara menggratiskan tiket masuk kunjungan hari kerja (Senin-Jumat) di semua tempat wisata yang dikelola oleh pemkab termasuk Museum R.A. Kartini ini. Namun, untuk kunjungan akhir pekan dan hari libur nasional, pengunjung dikenai tarif tiket seharga delapan ribu rupiah untuk golongan orang dewasa dan lima ribu rupiah untuk golongan anak-anak.
Riwayat hidup seorang Kartini memang penuh dengan inspirasi. Surat-suratnya yang begitu menggugah, menggetarkan hati Belanda dan paradigma sosial mengenai peran wanita dalam peradaban; akhir hidupnya yang masih menyisakan misteri keterlibatan kolonial Belanda; serta kontroversi di balik pengunggulan nama Kartini yang dianggap berlebihan karena dinilai lingkup perjuangannya hanya terbatas regional Rembang-Jepara saja─jika dibandingkan dengan nama-nama seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, dan Martha Christina Tiahahu yang tak kalah moncer─menjadi renungan bersama bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal bersuara dan mengambil peran. Apa yang pernah ia lakukan menjadi goresan kisah dalam sejarah bangsa. Patut ditimbang, pantas dikenang.
Bahkan di Belanda, nama Raden Ajeng Kartini juga diabadikan menjadi nama jalan di beberapa daerah, seperti Amsterdam, Harleem, Venlo, dan Utrecht.
Penyunting: Lindu A.