Sumber gambar: Pexels
Rasa kehilangan itu masih terus menetap dan semakin beranak-pinak; banyak rasa kalut yang membalut.
Hari pertama, saya mencoba menguatkan diri atas semuanya. Saya habiskan sebagian waktu untuk duduk di sudut kamarmu. Wanginya masih sama, hanya tak ada lagi hangat senyummu di sana.
Hari kedua, saya yang tak suka akan hal berbau sewing, dengan impulsifnya mengambil alat jahit milikmu dan menjahit satu sapu tangan, hingga menimbulkan banyak tanya dari semua orang. Ternyata sapu tangan buatan saya tak seindah buatanmu.
Hari ketiga, saya habiskan banyak waktu saya di rumah barumu; membicarakan banyak hal namun tak ada sahut darimu. Biasaya kamu akan menjawab segala rasa penasaran saya akan banyak hal. Ternyata google dan segala jajarannya tak semenarik kamu saat memberikan terang akan kepulan pertanyaan yang tiba-tiba mengudara.
Hari keempat, saya mendudukan diri di sudut kamar dengan secarik kertas dan sebuah pena bertinta hitam yang siap menuliskan kamu. Ibu, kamu tidak keberatan ‘kan jika saya jadikan kamu peran utama melulu?
Hari kelima, saya putuskan menonton salah satu film Rhoma Irama favoritmu. Ternyata begini rasanya melihat film lama dengan pemeran aktor yang kau idolakan, sebab dulu saat kamu meminta saya menemani, saya lebih memilih menyibukkan diri alih-alih melihat film Rhoma Irama bersamamu.
Hari keenam, saya mulai berani menarik diri dari lubang bernama kepedihan atas hilangnya kamu. Selepas kepergiaanmu, ini adalah hari dimana saya kembali menjejakkan diri di ruang keluarga; memulai pembicaraan dengan semua orang perihal hidup saya ke depan dan berakhir dengan sesaknya ruang keluarga petang itu yang dipenuhi oleh namamu.
Hari ketujuh, hari ini saya duduk termenung. Kembali melamunkan kamu dengan segala rencana indah tentang kamu. Biar saya nikmati rasa nestapa yang terus berkelana dalam relung tanpa tahu kapan akan menemukan ujung.
Kebun saya layu tak bersisa, rapuh riuk tak bertenaga. Ibu, selamat beristirahat dengan tenang. Mohon izinkan saya untuk terus mengenang.