Sumber gambar: mojokstore
Judul : Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya
Penulis : Dea Anugrah
Penerbit : Shira Media
Cetak : Cetakan I, 2021
Tebal : vi + 166 halaman
ISBN : 978-602-7760-47-9
Pada bulan November 2021 yang dingin dan basah karena memang hujan serta angin sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, buku kumpulan esai ini lahir. Iklan pre-order juga sudah digaungkan oleh penerbit anyarnya, penulis, dan toko-toko buku indie seantero negeri.
Judul buku ini tersusun dari kata-kata pilihan. Bahkan seperti satu baris puisi, yang apabila dibaca, memunculkan aura keindahan dan kekuatan agar kita senantiasa menghargai kehidupan―sebaik atau seburuk yang terjadi. Mungkin juga judul buku ini adalah pesan Dea kepada kita.
Dalam buku ini, esai-esai yang terkumpul membahas berbagai macam topik. Dari pikiran bagaimana menjalani hari tua, buah pisang, ulasan sastra, fenomena kesedihan massal―yang ternyata adalah kekuatan suatu bangsa―dan lain-lain.
Meski esai-esainya sekilas tampak tak sinkron dan tak ada kesamaan tema dari awal hingga akhir, bahkan terkesan loncat-loncat, hal itu tidak membuat kita bingung atau merasa rancu. Malah, hal tersebut sengaja Dea lakukan―bahkan saat dalam masa penyusunan―agar pembaca mendapat kesan yang diharapkan.
Kesan tersebut dijelaskan dalam sebuah diskusi daring yang dilakukan Dea pada bulan Februari 2019 silam. Dia menerangkan harapannya agar ketika buku ini hadir, pembaca akan mendapat semacam kesan mengalir ketika membaca dari esai pertama hingga terakhir. Kesan mengalir ini didapat ketika pembaca sadar bahwa dari satu esai ke esai lainnya memiliki kesamaan, baik dari segi tema ataupun unsur penyusun yang dikembangkan.
Terkait sastra, harus diakui Dea memiliki banyak referensi. Banyak karakter novel atau kutipan-kutipan yang dijadikan bahan penyusun dalam esai-esainya. Hal ini selain mengenalkan pembaca pada karya-karya sastra dunia, juga membuat esainya semakin menarik. Pencampuran bukti fiksi (seperti kutipan novel atau tokoh) dengan bukti nonfiksi (seperti jurnal atau kutipan ahli) dalam sebuah esai, selain mengajak untuk berpikir atau mengedukasi, juga membuatnya “hidup” dan memudahkan pembaca untuk membangun analoginya sendiri. Teknik menulis esai seperti ini yang menaikan daya tarik pembaca.
Salah satu sastrawan yang memberi pengaruh bagi diri Dea adalah Ernest Hemingway. Secara langsung, Dea mengakui bahwa Hemingway adalah penulis favoritnya. Saat ditanya oleh salah satu kawannya yang juga penggemar sastra dalam sebuah tulisan di buku ini, dia mengamini fakta tersebut. Selain menyatakannya dengan terbuka, adanya sebuah esai khusus tentang Hemingway yang mengulas kehidupannya, dapat menguatkan bahwa Dea benar-benar mengaguminya.
Hemingway tidak berhenti sekedar menjadi penulis favorit Dea. Pada esai “Di Mana Ada Penulis, di Situ Ada Cemooh”, kejadian saat Hemingway tersinggung atas kritik dari kritikus sastra Max Eastman atas karyanya, dijadikan Dea menjadi contoh konflik atas pembuat dan penilai berdasarkan kualitas sebuah karya.
Tulisan Hemingway yang mengulas tentang tempat pangkas rambut dijadikan Dea sebagai pembuka dari sebuah esai yang mengajak perenungan tentang kebebasan berekspresi tiap individu.
Bagi yang pernah membaca karya Hemingway, tidak asing apabila menjumpai kalimat-kalimat yang minimalis dan dalam. Hal ini juga dianggap seperti proyeksi dirinya sendiri―atau orang-orang seperti dirinya―yang selalu bergulat dengan hidup dan menunjukan ke orang lain tentang “keanggunan dalam tekanan”. Pada beberapa esai bertemakan sebuah perjalanan atau ketika menceritakan kembali obrolan bersama seseorang, kita seakan-akan menemukan adanya efek Hemingway yang dilakukan oleh seorang Dea di sana.
Selain bukti secara langsung bahwa Hemingway mempengaruhi Dea dalam menulis esai seperti pada uraian di atas, terdapat bukti tersirat juga. Bagi yang pernah membaca karya Hemingway, bukti ini dapat diketahui dengan mudah. Pada esai yang berjudul “Orang Buta Berpandangan Jauh” kalian dapat menemukan kalimat mutiara yang terkenal dari novel terakhir Hemingway, The Old Man and The Sea.
Pada novel yang pertama kali dibawa ke Indonesia dan diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Darmono ini, kalimat itu berbunyi, “Tiap lelaki tak diciptakan untuk kalah. Seorang lelaki bisa dihancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan.”
Sedangkan dalam esai yang membahas tentang seorang tokoh botani asal Jerman bernama Rumphius, Dea menuliskan seperti ini, “Namun, Rumphius agaknya tak dilahirkan buat kalah. Kematian Susana dan putri mereka mungkin menghancurkan pria itu, tetapi jelas tak mengalahkannya. (Hal. 68).
Pada intinya, Hemingway―dalam karya-karyanya―selalu menekankan kepada kita agar senantiasa bertarung dan bertahan dalam mengarungi kehidupan tiap harinya. Segala pekerjaan yang kita mulai harus diselesaikan.
Seperti pesan Hemingway, “Di atas segalanya, orang mesti bertahan.”
Apakah pesan tersebut memiliki maksud yang sama dengan judul buku ini?
Wallahualam bissawab.