Sumber gambar: Instagram
Kemerdekaan dalam mengenyam pendidikan merupakan hak seluruh manusia, terutama bagi anak-anak. Tak jarang hak ini direnggut dari anak-anak yang dijadikan pekerja anak. Anak-anak yang seharusnya sedang asyik belajar dan bermain dengan teman-teman sebayanya di sekolah justru harus mempertaruhkan nyawa di jalanan demi mengais sisa-sisa plastik untuk bekal bertahan hidup.
Kenyamanan dan kegembiraan hidup masa kanak-kanak tak lagi dilalui dan menjadikan kelam suratan. Inilah yang dirasakan oleh anak-anak Kampung Pemulung di Kledokan, Caturtunggal, Sleman, Yogyakarta.
Inisiasi Komunitas Sekolah Marjinal
Cukup ironis bila menyaksikan keberadaan Kampung Pemulung yang lindap terhimpit gedung-gedung perguruan tinggi ternama di bilangan Sleman. Para civitas academica juga tampak acuh tak acuh akan realitas ini. Label “Kota Pelajar” yang melekat―atau dilekat-lekatkan―pada diri Yogyakarta pun tampak menciut di hadapan fakta lapangan yang menampar ini.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa fenomena sosial semacam ini bisa terjadi. Selain minimnya akses pendidikan, faktor utama yang menjadi akarnya adalah ketidakstabilan ekonomi masyarakat marginal.
Hanya mengandalkan hasil memulung sebagai modal hidup, para orang tua di Kampung Pemulung ini kadang habis pikir tentang dunia profesi. Masih sedikit pula yang melek sensus. Beberapa di antara mereka bahkan tidak mendaftarkan akta kelahiran anak-anak mereka―entah merasa enggan atau sangsi terhadap instansi terkait. Jangankan akta kelahiran anak, KTP dan KK pun mereka tak punya.
Faktor-faktor tersebutlah yang turut mempengaruhi keterjangkauan akses dan cara pandang terhadap pendidikan sebagai hal yang tidak lagi prioritas bagi masa depan anaknya. Sebab, urusan perut harus lebih dulu beres.
Lambannya respons pemerintah terhadap fenomena sosial semacam ini membuat lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi nirlaba lahir atas inisiatif kemanusiaan. Salah satunya adalah Komunitas Sekolah Marjinal (KSM).
Ketua KSM, Haefan Hilal mengungkapkan bahwa Komunitas Sekolah Marjinal ini lahir sebagai respons atas keprihatinan terhadap fenomena sosial di Kampung Pemulung, agar anak-anak tersebut dapat merasakan pendidikan formal.
Komunitas Sekolah Marjinal memiliki beberapa sekolah yang terletak di tiga lokasi, yaitu Sekolah Marjinal Kledokan, Sekolah Harapan Jombor, serta program baru yang bertempatan di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta.
Tujuan utama dari didirikannya Sekolah Marjinal ini yaitu penyetaraan pendidikan bagi semua kalangan termasuk kaum marginal. Hal ini sejalan dengan visi dari KSM sendiri.
Kegiatan pembelajaran di Sekolah Marjinal dilakukan sebanyak tiga sepekan, yakni setiap hari Senin, Rabu, dan Kamis. Dalam satu hari, akan ada sepuluh pengajar yang akan digilir per dua bulan sekali.
Selain anak-anak Kampung Pemulung yang menjadi fokus utama dari program-program Komunitas ini, para orang tua juga menjadi target dari beberapa program Komunitas Sekolah Marjinal. Beberapa program ini bertujuan untuk mengedukasi para orang tua Kampung Pemulung tentang bagaimana cara mengasuh anak yang baik serta ilmu-ilmu parenting lainnya. Program ini direalisasikan dalam bentuk kegiatan seperti pengajian, sosialisasi, serta program ‘Terima Rapor’ yang dilakukan antara divisi kurikulum dengan orang tua peserta didik Sekolah Marjinal.
Intervensi program pendidikan kepada para orang tua merupakan langkah yang sangat tepat untuk menyeimbangi progress anak-anak yang belajar di Sekolah Marjinal.
Penggusuran Kampung Pemulung
Selasa pagi (10/05) tersiar kabar kurang mengenakkan dari Haefan Hilal selaku ketua Komunitas Sekolah Marjinal. Melalui pesan via WhatsApp, ia dengan berat hati mewartakan bahwa akan terjadi penggusuran di Kampung Pemulung. Warga Kampung Pemulung diminta untuk mengosongkan pemukiman segera, paling lambat esok harinya. Berita tersebut juga mengindikasikan kabar duka lainnya, yakni kemungkinan penutupan Sekolah Marjinal Kledokan.
Esok sorenya, Wartafeno mengunjungi langsung Kampung Pemulung di Kledokan. Dalam jarak beberapa meter, angin kering dan terik matahari menyambut kedatangan kami bersama semerbak bau anorganik dari limbah sisa rumah tangga yang dikumpulkan untuk didaur ulang oleh penduduk Kampung Pemulung.
Potret Kampung Pemulung di Kledokan sebelum penggusuran.
Tepat di depan jalan masuk menuju kampung pemulung, di sisi kiri terdapat warung milik Mas Prio. Di sana, terlihat beberapa penduduk sedang berbincang santai di dalam warung. Kami duduk di bangku luar yang menghadap ke dalam warung. Kami pun bercakap-cakap dengan mereka sembari sesekali menyaksikan beberapa penduduk sibuk membereskan barang untuk diangkut.
Mas Prio membenarkan bahwa pada tanggal 11 Mei 2022, Kampung Pemulung sudah harus dikosongkan berdasarkan surat edaran yang ada. Upaya perpanjangan kontrak tanah juga sudah diusahakan oleh penduduk kampung, namun respons dari pihak yang berwenang terhadap permintaan perpanjangan kontrak tanah pun hanya berujung ketidakpuasan bagi penduduk kampung.
Upaya perpanjangan kontrak ini dimulai dari pengajuan ke kelurahan, dan kelurahan menyatakan bahwa tanah tersebut milik kabupaten. Beranjak dari kelurahan menuju kabupaten, kabupaten menyatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah milik Sultan Ground, sehingga pihak dari penduduk Kampung Pemulung melanjutkan pengajuan ke Panti Kusmo yang kemudian menegaskan bahwa mereka tidak memiliki wewenang dalam memberi perizinan, melainkan kepala desa.
Di balik itu, tujuan penggusuran tanah di Kledokan ini juga masih samar-samar. Menurut Mas Prio, kabupaten mengatakan bahwa akan didirikan pos pemadam kebakaran di atas tanah tersebut. Sedangkan, ada pihak lain yang menimpali bahwa tanah tersebut akan dijadikan tempat penampungan sampah.
Penduduk Kampung Pemulung sendiri masih menentukan ke mana mereka akan pindah dan menetap. Penuturan dari Mas Prio, penduduk memilih ke mana mereka akan pindah secara individual, bukan secara kolektif.
Sementara itu, nasib dari anak-anak Kampung Pemulung dan kelanjutan kegiatan belajar mereka masih diusahakan oleh Komunitas Sekolah Marjinal yang turut membantu mencarikan tempat singgah baru bagi penduduk kampung.
Sayangnya, setelah berbagai upaya dan usaha, per tanggal 14 Mei 2022, Sekolah Marjinal Kledokan resmi ditutup. Komunitas Sekolah Marjinal mengumumkan penutupan Sekolah Marjinal Kledokan melalui akun Instagram resminya.
Penyunting: Lindu A.