Ilustrasi oleh Krysna Yudha Maulana
Pertengahan Mei lalu, tepatnya sebelum terlalu mumet mikir tugas akhir yang acapkali datang keroyokan, seorang teman mengirimi saya sebuah pesan WhatsApp berisi informasi open mic stand-up comedy di salah satu kafe di daerah Condongcatur. Bagus, batin saya. Hiburan gratis walaupun berakhir dengan mengeluarkan uang yang cukup menyentil jiwa kaum mendang-mending macam saya, tapi ya sudahlah, setidaknya dapat minuman kesukaan. Se-ti-dak-nya.
Sejak beralihnya sawah-sawah daerah Jogja menjadi bangunan-bangunan yang mengkomersialisasi frasa ‘ngopi’―yang merujuk pada kegiatan nongkrong pada marketing-nya, banyak event-event semacam stand-up comedy, launching buku, sampai kegiatan-kegiatan mahasiswa pun dilaksanakan di tempat-tempat semacam itu.
Sebuah tempat nongkrong yang belum pernah saya temui pengunjungnya datang dengan outfit kalungan sarung, atau pakai daster yang bagian depannya basah karena baru saja selesai cuci piring. Memiliki desain yang instagramable dan fasilitas Wi-Fi membuat lokasi semacam itu menjadi favorit kawula muda, terutama mahasiswa. Bahkan dalam beberapa jurnal penelitian yang membahas mengenai gaya hidup hedonis mahasiswa, nongkrong di warung kopi adalah salah satu yang memberi pengaruh cukup banyak.
Gaji Mahasiswa
Berawal dari obrolan soal kapan dan siapa teman lain yang akan saya ajak ikut nonton, chat WhatsApp kami pun berlanjut ke topik kuliah nyambi kerja. Mulai dari soal pertemanan, pengalaman, sampai pendapatan.
Di tengah obrolan, informan sekaligus teman saya semasa SMK itu pun meminta izin untuk menyombongkan diri. Secara sukarela, saya persilakan. Si sombong bin sopan itu pun mulai melambungkan dada. Meski menyebalkan, menyimak cerita orang congkak, toh, bisa menciptakan mimpi-mimpi baru yang kadang menguntungkan bagi pendengar. Dengan gaya angkuh khasnya sejak dulu, dia pun mulai menyampaikan informasi lebih dalam perihal pendapatannya.
Dzikri (19), mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) program studi Arsitektur itu lantas mengirimkan tabel buatan kantor tempatnya mengabdi―tanpa kontrak―yang berisi daftar pekerjaan yang ia garap disertai fee yang diterima. Ini adalah salah satu alasan saya sukarela meladeni manusia jemawa itu. Sebab, sikap agulnya total: disertai bukti, tidak sekadar membual. Tanpa ragu, saya pun mengunduh fail tertanda forwarded itu dan membacanya dengan teliti.
Mata saya menangkap bayaran dengan nominal total puluhan juta, berasal dari beberapa proyek dalam kurun waktu lima bulan. Gaji yang sangat besar kalau dibandingkan dengan UMR Jogja, yang bahkan untuk beli tanah satu meter persegi di daerah Condongcatur saja, jelas sangat-sangat minus.
Sebetulnya bayaran itu masih bisa dibilang wajar untuk pekerjaan desain yang memang terkenal dengan upah lumayan, meski si drafter “cuma” lulusan SMK. Apalagi job yang dia kerjakan itu adalah proyek vila sampai ruko di bandara. Jelas komisinya tak mungkin hitungan ratusan ribu. Meski lumrah, bagi yang belum punya pengalaman serupa―seperti saya―lazim untuk merasa syok dan kagum.
Dia menjabarkan bahwasanya pekerjaan yang ia ambil sampai mampu mengantongi uang senilai puluhan juta itu adalah buah dari keberaniannya menerima tawaran proyek. Dia memilih bodo amat soal fakta bahwa ia masih terhitung lulusan SMK dan berkemungkinan kekurangan ilmu saat menggarap proyek.
Menurutnya, sebagai seorang drafter, ia masih memiliki back up dari ketua proyek. Dia juga menuturkan, dalam setiap pekerjaan proyek pasti bakal ada tahap meeting yang ia jadikan kesempatan untuk bertanya perihal apa-apa yang ia tidak/belum ketahui.
Sensasi Menghabiskan 25 Juta Rupiah dalam Dua Bulan
Hal yang menarik sekaligus membuat mengelus dada adalah kelanjutan ceritanya yang mengungkapkan bahwa ia pernah “menghamburkan” sekitar 25 juta rupiah uangnya, hanya dalam kurun waktu dua bulan. Fakta itu membuat rasa kagum dan sedikit iri saya akan pendapatannya jadi agak luntur.
Tidak mau cuma dapat setengah kesombongannya, saya bertanya soal ke mana larinya uang puluhan juta itu. Ia mengesahkan bahwa uang itu tidak habis untuk biaya hidup apalagi bayar uang kuliah. Saya mempercayainya. Lagipula, deretan kos-kosan dan pendapatan orangtuanya tentu lebih dari cukup untuk menambal dua kebutuhan primer tadi.
Dzikri menegaskan bahwa uangnya tidak juga habis untuk fesyen. Katanya, dia bukan pria yang suka beli sandang bermerek. Awalnya, dia juga menolak kalau disebut uangnya habis untuk hobi, tapi saya cuma bisa menggangguk sambil lamat-lamat menarik benang merah saat dia sampaikan bahwa ia sempat menggelontorkan uang 4 juta rupiah untuk membeli satu boks koleksi card game Cardfight!!Vanguard. Sebuah barang yang tidak akan membuatnya mati kelaparan dan kehausan atau menjadi manusia paling bodoh kalau tidak dibeli.
Masih membahas soal habisnya uang gaji, dia kembali menyampaikan hal yang lagi-lagi membuat saya mengangguk sembari terus menyulam benang merah. Kali ini disertai rasa heran yang lebih tinggi.
“Aku kemarin sempat ikut (menambang) Crypto, tapi uangnya juga hilang. Rugi 10 atau 15 juta,” tuturnya.
Bagi orang yang sangat meminimalisir kerugian bahkan senilai nominal 500 rupiah pun, jelas pernyataan tersebut menggerus jiwa dan logika saya. Kok isoh ya?
Tanpa ragu, ia mengaku bahwa yang dia lakukan adalah sikap konsumtif sebagai dampak dari buruknya manajemen keuangan yang dia lakukan. Baginya, menghabiskan uang sebanyak itu adalah kesahihan dari perilaku tidak bijaksananya.
Di akhir kecongkakannya, laksana seorang pengembara yang bertemu dengan anak muda di tengah perjalanan, Dzikri memberi welingan kepada saya, “Sesok nek kowe wes duwe duit, aja kaya aku.” (Besok kalau kamu sudah punya uang, jangan kayak aku).
Dimiskinkan oleh Ekspetasi
Dikutip dari Investor.id, pada awal tahun 2022 saja, jumlah investor crypto di Indonesia sendiri sudah tembus sampai 10 juta investor. Pengeluaran terbesar yang Dzikri lakukan berasal dari keputusannya nyemplung di kubangan cryptocurrency. Meski tahu bahwa melakukan investasi di reksa dana jauh lebih aman, ia tidak menjatuhkan pilihanya ke sana. Sebab, keuntungannya hanya sebesar 6% per tahun. Sangat jauh jika dibandingkan dengan profit crypto ketika dalam kondisi naik.
Alih-alih untung, dia malah benar-benar dihancurkan ekspetasi dan harus kehilangan uang belasan juta―lebih dari setengah nominal uang yang ia banggakan tadi. Ekspetasi ingin kaya raya dengan cepat rupanya mampu membuatnya jadi pribadi yang lebih “berhusnuzan” terhadap buaian crypto. Keyakinannya memilih crypto hanya didasari pada kemungkinan-kemungkinan baik saat harganya naik.
Barangkali, fenomena ini berhubungan denga apa yang disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Rhenald Kasali dalam konten unggahan di kanal YouTube-nya yang berjudul “11,2 Juta Orang Indonesia Main Crypto, Tidak Sadar…”.
Dalam video yang diunggah pada 8 Maret 2022 dan sudah ditonton oleh lebih lima ratus ribu penonton itu, Rhenald Kasali menyampaikan bahwa bagi para newbies atau pemain amatir ini, kerugian berinvestasi disebabkan oleh optimisme yang berlebihan.
Sekali lagi, optimisme yang berlebihan. Dzikri telah membuktikannya.
Atmosfer semacam itu dibangun dari berhasilnya strategi pump and dump yang dilakukan secara terencana oleh mereka―para big player―yang hendak menimbun keuntungan lewat strategi ilegal. Sebuah strategi dipompanya harga koin sampai melambung naik ke puncak kemudian anjlok securam-curamnya. Membuat koin yang sebenarnya tidak bernilai menjadi sangat berharga; harga semu. Bahkan grup-grup yang diisi oleh orang-orang yang melaksanakan strategi pump and dump seperti grup pumking community, pump.im, crypto04pumps, wepump, dan altjeway bisa ditemukan di aplikasi ngobrol telegram, papar Rhenald Kasali.
Mungkin saja kerugian yang dialami Dzikri masih terhitung kecil bila dibandingkan kerugian anak muda lain di luar sana. Namun, satu hal yang dapat dipastikan sama adalah ekspetasi mereka yang terkesan irasional soal profit yang terlampau berlipat ganda.
Menariknya, mempekerjakan uang dengan cara ikut crypto dan investasi lainnya sudah menjadi tren kalangan anak muda, beberapa tahun terakhir ini. Namun, tidak sedikit anak muda yang melakukannya hanya didasari pada pemikiran-pemikiran: sedang trendy, biar sama kayak teman-teman, dan merasa sudah harus memiliki kemampuan finansial kapital yang memadahi.
Padahal, di usia produktif kisaran 30 tahun ke bawah, lebih penting untuk meningkatkan human capital ketimbang finansial kapital. Walaupun, keduanya sama-sama penting.
Human capital sendiri memiliki 3 konsep. Salah satunya adalah human capital sebagai aspek individual, di mana, modal pertama manusia adalah yang ada dalam dirinya―seperti pengetahuan dan keterampilan. Konsep ini diperjelas oleh Rastogi (2002) yang memaparkan bahwa human capital merupakan pengetahuan, kompetensi, sikap, kesehatan, dan sifat yang dimiliki oleh manusia.
Sejujurnya, kalau dipikir secara logika, beberapa hal di atas mengenai konsep human capital jauh lebih bisa menguntungkan buat hidup. Sumber mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya jadi tidak melulu lewat investasi.
Sikap dan pengetahuan tentu saja bisa membuka pintu-pintu penghasil uang yang lain; lewat mencoba bisnis, misalnya. Kegiatan yang lebih masuk di akal ketimbang mengumpulkan uang saku, atau bahkan secara khusus meminta uang kepada orang tua lalu disetorkan ke crypto kemudian duduk di rumah sambil mengamati grafik yang lebih sering memainkan perasaan itu. Tapi, bukan hal yang tidak mungkin bahwa investasi adalah langkah yang tepat dalam memutar uang, jelas jika disertai kemapuan, pengetahuan, dan logika yang masih jalan.
Raditya Dika, salah satu figur publik yang juga seorang stand-up comedian sering kali membahas investasi reksa dana dalam kanal YouTube-nya, pernah mewanti-wanti agar berinvestasi dengan uang dingin.
Nah, kalau benar diterapkan, maka berinvestasi dengan uang pinjaman atau mengurangi jatah makan bukanlah cara yang tepat. Selain itu, tentu saja beberapa oknum pejabat pasti tidak bisa ikut investasi. Apa mereka memang tidak perlu ikut investasi? Mungkin saja, sebab kaya rayanya―niscaya―sudah bukan lagi ekspetasi. Xixixi.
Penulis: Naufalda Hanum
Penyunting: Lindu A.