Jogja Walking Tour: Menapaki Jejak Historis Kampung Bintaran Bersama Komunitas Malam Museum

Pada Sabtu (4/6) lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti Jogja Walking Tour setelah sebelumnya tertolak pada hari Rabu (1/6) karena tingginya animo pendaftar. Para pendaftar yang belum berkesempatan mengikuti tur pada hari Rabu lantas dialihkan pada hari Sabtu.

Saya sampai di Alun-alun Sewandanan Pakualaman pukul 8.25, tepat lima menit sebelum tur pagi ini dimulai. Di bawah teduh rindangnya pohon di sisi kanan jalan masuk alun-alun, Erwin, storyteller Jogja Walking Tour, mengingatkan kepada lebih dari 20 orang peserta tur pagi ini untuk tetap menaati protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjauh dari kerumunan saat ingin membuka masker.

Potret Erwin sedang memberi pengarahan kepada para peserta Jogja Walking Tour (Dok. Penulis)

Kami diajak menyeberangi ramainya jalan di depan pura untuk kemudian berbelok ke arah selatan melewati gagahnya patung Jenderal Soedirman yang berdiri di muka Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Jogja Walking Tour merupakan program wisata edukasi yang diprakarsai oleh Komunitas Malam Museum. Tur edukatif ini merupakan pengembangan dari program sebelumnya, yakni kelas Heritage.

“Jogja Walking Tour ini adalah program dari Komunitas Malam Museum. Salah satu program kami adalah kelas Heritage, yaitu mengunjungi situs-situs bersejarah yang ada di wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Beberapa situs yang sudah kami riset dan kunjungi, rasanya eman-eman jika tidak diadakan kembali karena ternyata animo peminatnya cukup tinggi. Akhirnya, pada tahun 2017, kami membuat program baru bernama Jogja Walking Tour yang diselenggarakan tiap akhir pekan dengan rute yang pernah dikunjungi oleh kelas Heritage,” papar Erwin.

Erwin menghentikan langkahnya di rumah pertama selepas berbelok ke kanan di pertigaan pertama. Lulusan Sejarah Universitas Gadjah Mada itu kemudian menjelaskan penamaan tempat-tempat di Kasultanan Yogjakarta yang biasanya diberi akhiran -an. Ia menguraikan bahwa penamaan daerah di Kasultanan Yogjakarta biasanya berdasarkan pada bidang keahlian abdi dalem, atau adaptasi dari nama pangeran, maupun kerabat kerajaan yang tinggal di kawasan tersebut.

Penamaan Bintaran sendiri diberikan karena sosok pangeran yang bermukim di wilayah tersebut bernama Pangeran Bintoro. Erwin kemudian membuka gulungan peta yang sedari tadi ia genggam. Peta kawasan Jogja dari dua masa yang berbeda; peta pertama bertahunkan 1833 dan peta kedua bertahunkan 1872―masa pemerintahan Hamengkubuwono VII.

Kedua peta itu diperlukan untuk menjelaskan asal-usul Bintaran karena nama “Pangeran Bintoro” dua kali ditemui pada masa yang berbeda dalam kitab Silsilah Keraton Yogyakarta, sehingga memerlukan rujukan lain untuk menerangkan muasal kawasan Bintaran.

Pada peta yang pertama yang menggunakan aksara Jawa tidak ditemui penamaan Bintaran. Barulah pada peta kedua ditemui nama Bintaran yang tertulis dengan huruf latin. Sehingga kecurigaan pun mengerucut ke Pangeran Bintoro, putra dari Ngarsa Dalem yang ketujuh.

Rumah Joglo, tempat Erwin dan rombongan berhenti, ditengarai merupakan rumah Pangeran Bintoro. Satu-satunya rumah di Bintaran dengan arsitektur Jawa yang masih dipertahankan hingga sekarang. Hal ini diperkuat dengan tutur dari masyarakat sekitar yang menyebutkan bahwa Joglo tersebut sudah ada sejak lama sekali. Di belakang rumah tersebut juga terdapat satu makam yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar.

Diorama Arsitektur Kolonial 

Penampakan rumah kuno dengan arsitektur Belanda yang masih sangat kentara hinggap juga di pelupuk mata. Di depan rumah nomor 12 itu, Erwin kembali berkisah kepada para jamaah pengajian, begitu Erwin menyebut para peserta Jogja Walking Tour. Ia kemudian menjelaskan sejarah dari pemukiman kolonial di daerah Bintaran.

“Tanam paksa berakhir pada tahun 1870 sebagai akibat dari kemenangan parlemen Belanda yang, kemudian dikuasai oleh orang-orang beraliran liberal. Kemudian banyak kedatangan bangsa Eropa termasuk Belanda, yang melihat potensi investasi di wilayah Hindia Belanda. Pabrik-pabrik kemudian bermunculan, termasuk pabrik pewarna batik Sumber Nilo milik Pakualaman,” Erwin mengambil napas sebelum melanjutkan.

“Jumlah orang-orang kolonial yang berada di Hindia Belanda pun bertambah. Tren pertumbuhan jumlah penduduk Belanda dan Eropa yang meningkat dari tahun ke tahun berimplikasi pada hunian. Kampung Bintaran adalah hunian ketiga, setelah Benteng Vredeburg dan loji-loji yang ada tidak dapat menampung jumlah pendatang, baik dari Eropa maupun Belanda sendiri. Bintaran dipilih karena dekat dengan pusat kekuasaan dan relatif lebih aman,” sambung Erwin.

Potret rumah bernomor 12 yang terletak persis di depan Bank BTPN KC Yogyakarta.

Erwin menuturkan bahwa eskalasi demografis tersebut membuat Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada masa itu, yakni Herman Willem Daendels, lantas menginstruksikan para bangsawan, pengusaha, anggora militer, dan perwira untuk membangun rumah yang besar untuk menunjukkan identitasnya sebagai penguasa.

Rumah di depan Bank BTPN tersebut adalah salah satu rumah berarsitektur Indische Empire dengan dua pilar Doric yang berdiri gagah, tiga pintu masuk di beranda, dan paviliun di bagian samping.

Gaya arsitektur Indische Empire Style merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Perancis yang megah dengan gaya arsitektur Hindia yang disesuaikan dengan iklim tropis yang dikembangkan oleh Daendels.

Arsitektur rumah Joglo kemudian dimodifikasi di sana-sini. Pada rumah Indische Empire Style, bagian pringgitan digantikan dengan veranda yang dihiasi dengan pilar Doric khas Yunani. Tiga buah pintu utama di bagian depan masih dipertahankan, namun dengan ukuran yang lebih besar dan lebar dengan ventilasi berhias ukiran di bagian atasnya.

Di bagian dalamnya, ada ruang tamu dan kemudian kamar di sisi kiri dan kanan pada bagian selanjutnya. Gandok atau bagian belakang rumah Joglo yang bisa diakses melalui pintu samping digantikan dengan paviliun di kedua sisi bangunan. Paviliun juga berfungsi sebagai kamar tamu dan para pembantu. Selain itu, di bagian belakang rumah juga terdapat veranda belakang atau taman. Pada masa itu, veranda belakang sering digunakan untuk afternoon tea.

Karena berbagai faktor seperti kesenangan bermewah-mewahan pemiliknya serta pajak tanah yang tinggi, akhirnya banyak pemilik yang bangkrut dan menjual rumahnya sehingga sulit untuk melacak kepemilikan rumah yang berpindah-pindah. Karena hal itu pun akhirnya bangunan bergaya mewah seperti itu kemudian lambat laun ditinggalkan dan digantikan dengan rumah yang lebih sederhana dan fungsional.

Perjalanan berlanjut menyusuri jalan Bintaran melewati asrama-asrama daerah. Beberapa asrama daerah di Bintaran yang kami lewati, tampak tak terawat dan bahkan ada yang sudah ditinggalkan. Kami disambut seekor anjing Pub yang terikat di sebelah gerbang saat memasuki halaman rumah selanjutnya.

Pada bagian depan rumah ini, nuansa Indische Empire masih terlihat. Namun, pilar dengan konsep menara gereja Calvinis dan ornamen kaca dekoratif pada ventilasinya sudah tidak ditemui.

“Pada masa selanjutnya, periode tahun 1890-1920, memasuki arsitektur peralihan. Nuansa Indische Empire masih terlihat, namun sudah tidak ditemui pilar. Diganti dengan konsep menara gereja Calvinis di Belanda. Sangat romatik secara asritektural dengan elemen-elemen dekoratif di beberapa bagian. Di dalam salah satu bagian rumahnya tertulis angka 1817 dan ini itu dimiliki oleh kerabat keraton Jogja Bendoro Pangeran Haryo Buminoto anak dari Sultan HB VII,” jelas Erwin.

Erwin kemudian menjelaskan bisa saja angka tahun yang tertulis di bagian dalam rumah adalah tahun Jawa sehingga perlu ditambah 78 tahun untuk mengetahui tahun Masehinya. Setelah dijumlahkan, akan didapatkan angka 1895: satu masa dengan era peralihan.

Rumah berarsitektur modern kami lewati di akhir tur. Rumah yang bersebelahan dengan Bank BTPN dan seberang jalan rumah nomor 12 di awal tur ini diperkirakan dibangun setelah tahun 1920. Walaupun tampak tak terawat dan ditumbuhi tumbuhan liar, tetapi bentuk bangunan masih dapat terlihat dengan jelas. Bangunan ini lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan dua rumah sebelumnya. Elemen yang sifatnya dekoratif dan mewah pun minim ditemui di bangunan tersebut.

Santo Yusup dan Fragmen Pametangan Goesti Jesoes

Setelah puas melihat rumah-rumah Belanda, kami dibawa ke gereja Katolik Santo Yusup Bintaran. Gereja peninggalan masa kolonial ini terletak di perempatan jalan Bintaran Kulon, di depan klinik Prodia. Saat masuk dari gerbang samping gereja, di depan kami berdiri patung Santo Yusup dengan dua altar di sisi kanan dan kirinya. Pada kedua altar, masih tampak lelehan lilin sisa-sisa ritual peribadatan.

Di bagian bawah patung tertulis Santo Yusup “Suami Yang Setia” Pelindung Gereja Bintaran. Dalam tradisi Katolik, gereja memiliki para santo yang melindungi dan memberkati. Santo Yusup dipilih dengan harapan Tuhan memberkati para jemaat dengan rasa setia penuh dengan kesetiaan.

Erwin pun kembali bercerita perihal pembangunan dan sisi arsitektur gereja, “Antara 1933-1934, gereja ini dibangun. Arsiteknya, namanya Van Oyen, salah satu arsitektur kenamaan lulusan dari Amsterdam. Karena gereja ini dibangun untuk jemaah yang beretnis Jawa, Van oyen memasukkan unsur-unsur kejawaan. Bentuk dari arsitektural gereja ini menyerupai punden berundak, atau (perumpamaan) yang paling mudah itu (seperti) bentuknya Borobudur yang dari bawah melebar dan semakin ke atas itu mengerucut.”

Kami kemudian berpindah ke pendopo. Di dinding paling kiri terpasang foto dari uskup pribumi pertama di Hindia Belanda, Romo Soegijapranata. Di sebelah kanan, terlihat gambar dari Romo Soegijapranata yang sedang bersalaman dengan presiden Soekarno.

“Di era kemerdekaan, antara 1946-1949, gereja ini menjadi saksi sejarah dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang menandai dari perjuangan kemerdekaan itu adalah Romo Soegijapranata yang fotonya terpajang di sebelah sana. Soegijapranata ini sebenarnya orang Semarang; uskup pertama di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Belanda kan datang lagi; ingin menguasai Indonesia. Sehingga, ibu kota negara pindah, dari Jakarta ke Jogja pada 4 Januari 1946. Romo Soegijapranata ikut membantu perjuangan kemerdekaan dengan memindahkan keuskupannya dari Semarang ke Jogja sehingga kemudian hubungan Vatikan ke wilayah Hindia Belanda itu langsung dari Vatikan ke Yogyakarta. Romo Soegijapranata yang kemudian mengupayakan dukungan Vatikan secara de facto untuk Indonesia.”

Kami pun melanjutkan perjalanan ke SMP Bopkri 2 dan bekas bangunan bioskop Luxor sebelum akhirnya bisa masuk ke dalam gereja. Seperti gereja Katolik pada umunya, di bagian tengah terdapat patung Yesus yang menempel pada salibnya. Pada dinding gereja, terpampang fragmen penyaliban Yesus yang terbagi menjadi 14 lukisan.

Di bawah lukisan pertama tertulis Goesti Jesoes Kapatrapan Oekom Kisas atau Gusti Jesoes Dijatuhi Hukum Kisas dalam bahasa Indonesia. Pada gambar-gambar selanjutnya, terlukis Goesti Jesoes yang memanggul salib menuju ke tempat pamentangan sampai bertemu dengan Bunda Maria sebelum jatuh untuk kedua kalinya. Pada fragmen terakhir, Goesti Jesoes yang sudah diturunkan dari pamentangan kemudian dikuburkan: Goesti Jesoes Disarekake.

Gereja ini tidak hanya berfungsi kala hari peribadatan umum saja. Namun, sampai saat ini pun, Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran masih sering digunakan untuk seremoni sakral lainnya seperti upacara pernikahan maupun sakramen perkawinan.

Penulis: Fais Halim

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *