Sumber gambar: Pexels
Pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang mendasar bagi semua manusia. Pendidikan sebagai hak asasi artinya setiap manusia berhak atas pendidikan di bawah kekuatan hukum tanpa diskriminasi apa pun.
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangatlah penting untuk diperhatikan, seperti yang tertulis pada UU No. 23 tahun 2002 pasal 51 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi, “Anak yang menyandang cacat fisik atau mental harus diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.”.
Untuk itu, institusi pendidikan dan juga pemerintah dapat memberi perhatian khusus bagi anak berkebutuhan khusus, karena mereka semua juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Difabel Bukan Halangan
Rifki merupakan salah satu mahasiswa program studi Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2019 yang berasal dari Magelang. Ia adalah seorang penyandang difabel (tunanetra). Namun, hal tersebut tidak menghalanginya untuk menjadi mahasiswa yang aktif di kampus. Ia mengikuti beberapa organisasi di lingkup universitas dan juga fakultas.
“Aku di universitas, ikut UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam) dan Ekspresi (Lembaga Pers Mahasiswa). Untuk di Fakultas aku ikut CAMP (Cah Musik Mahasiswa Pendidikan) sama KMIP (Keluarga Muslim Ilmu Pendidikan),” kata Rifki.
Dengan mengikuti banyak organisasi, Rifki justru merasa sangat senang dan tidak terbebani karena dapat bertemu dengan teman-teman sembari bertukar cerita. Ia mengatakan itulah bagian yang paling seru, apalagi ia merupakan orang yang gemar bersosialisasi.
Selain gemar bersosialisasi, ternyata Rifki juga menyukai hal-hal yang baru. Ia mengaku kerap berpindah-pindah indekos karena merasa mudah bosan dan selalu ingin mencari suasana baru.
Saat ditanya apa alasannya, ia menjawab, “Suka aja dengan suasana baru, sambil cari-cari suasana baru. Biasanya aku pindah setiap semester ganjil.”
Sementara untuk bepergian Rifki terkadang berjalan kaki atau menggunakan ojek online, semua tergantung jarak tempuhnya. Apabila dekat, Rifki memilih untuk berjalan kaki. Namun, apabila jauh, ia biasa menggunakan jasa ojol. Ia juga menjelaskan fitur Google Maps, yaitu petunjuk arah apabila ia bepergian dengan berjalan kaki.
“Kalau misal kayak tadi, jalan kaki, kan pakai Google Maps. Nah, nanti kan keluar suaranya: belok kanan atau belok kiri,” jelas Rifki.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Rifki juga merasa sangat enjoy saat melakukan segala kegiatannya. Salah satunya, dalam penggunaan gadget. Dalam mengoperasikan gadget, ia dibantu fitur voice over pada iPhone.
Fitur tersebut membantu ia mengenali seluruh aplikasi dalam ponselnya. Ketika Rifki menyentuh ikon aplikasi tertentu, ponsel akan membaca dan mengeluarkan suara mendeteksi nama aplikasi terkait sehingga memudahkan Rifki dalam menggunakan aplikasi. Untuk pengoperasiannya, Rifki juga memanfaatkan sistem aksesbilitas yang ada pada ponselnya. Ia juga menunjukkan caranya menggunakan fitur itu.
“Nanti, kalau misal mau buka WhatsApp, karena aku udah hafal jadi aku langsung bisa tau letak WhatsApp di mana. Tapi kalau belum hafal, nanti tinggal diraba dan diketuk satu kali di aplikasi tersebut, akan terbaca namanya. Terus kalau membuka aplikasi, tinggal ketuk dua kali,” terang Rifki.
Sementara untuk membaca pesan di WhatsApp, sistemnya sama nanti pesan yang masuk akan dibacakan oleh voice over dan Rifqi akan membalasnya dengan cara mengetik.
“Sistemnya juga sama kayak yang aplikasi lainnya. Nanti misal belum hafal juga tinggal ketuk sekali di hurufnya. Nanti, hurufnya akan terbaca. Setelah itu, tinggal mengetik seperti biasa,” ucap Rifki.
Selain karena kehadiran fitur voice over yang cukup membantu, Rifki juga hafal sistem kibor QWERTY sejak masih duduk di bangku SMP dulu. Ia pun jadi terbiasa dan tidak merasa kesulitan saat mengetik di ponsel.
Tangapan Seputar Fasilitas Kampus
Karena sudah terbiasa dengan hal itu, dalam perkuliahan daring pun ia tidak merasa kesulitan. Biasanya, ia meminta materi yang akan dipresentasikan pada hari itu, dan materi tersebut juga akan dibacakan oleh pembaca layar di laptopnya sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Namun, ia sedikit mengeluhkan perihal bahan ajar yang berbentuk teks fisikal.
“Kesulitannya paling kalau misal materinya dari buku. Jadi, buku itu harus di-scan dulu, baru bisa dibacakan di hape,” ujar Rifki.
Dalam perkuliahan luring atau tatap muka, ia juga tidak mengalami kendala berarti. Fasilitas yang ada di lingkup kampus, baginya sudah cukup membantu bagi penyandang difabel.
“Kalau di lingkup universitas sudah cukup. Di FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), bisa dikatakan, udah 80%. Tapi untuk di fakultas lain, mungkin belum menunjang bagi yang berkebutuhan khusus. Karena yang baru ada liftnya, sepertinya baru FIP,” papar Rifki.
Lebih lanjut, ia menjelaskan lebih rinci seputar fasilitas fisikal yang seharusnya disediakan bagi mahasiswa difabel.
“Bagi yang difabel fisik, misal, yang pakai kursi roda kan tidak bisa naik tangga. Jadi, dengan adanya lift, sudah sangat membantu. Mungkin kamar mandi juga perlu diperluas dan fasilitas lain diberi bidang miring agar mempermudah yang memakai kursi roda,” sambung Rifki.
Setelah itu, Rifki juga sedikit membahas tentang fasilitas universitas yaitu perpustakaan. Ia memberi komentar seputar fasilitas perpustakaan yang dirasakannya.
“Kalau untuk perpus, yang digital sudah lumayan mempermudah bagi aku, atau mahasiswa difabel lain. Tapi untuk perpus yang biasa, itu belum ada buku yang menggunakan huruf braille. Jadi, misal mau baca, ya kayak tadi: di-scan dulu, baru dibacakan lewat hape,” ungkap Rifki.
Selama pandemi, Rifki juga sering ke kampus karena ia sedang menjadi relawan laboratorium untuk melayani apabila ada klien yang ingin konsultasi. Selain aktif berkegiatan, ia juga merupakan sosok yang cerdas. Ia mendapatkan beasiswa sehingga biaya UKT-nya selama berkuliah gratis plus mendapatkan uang saku.
Penulis: Ivia Nanrizsa
Penyunting: Lindu A.