Massa aksi yang merupakan mahasiswa dari berbagai kampus di Jogja melakukan aksi di pertigaan Jalan Gejayan, Rabu (3/8). Massa yang tergabung dalam Aliansi Komite Kampus Yogyakarta ini melakukan protes sebagai bentuk penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai terdapat pasal-pasal kontroversi. Dalam aksi, massa melakukan orasi politik, pembacaan puisi, dan menyatakan sikap serta tuntutan.
Menurut Ryan sebagai Humas Aliansi ini, Jalan Gejayan merupakan simbol karena memiliki sejarah panjang. Dari jalan inilah gerakan-gerakan penolakan kepada pemerintah muncul. Dan momentum ini digunakan sebagai titik aksi untuk menolak RKUHP yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat dengan pasal-pasal kontroversialnya.
“Pasal-pasal (kontroversial) itu kita tolak karena jelas melanggar ketentuan HAM yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999,” ujar Ryan.
Salah satunya, draf RKUHP masih mencantumkan hukuman mati, diatur dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102. Penolakan tersebut mengacu pada Hak Asasi Manusia. Menurutnya, hukuman mati sama saja mengambil hak dasar manusia yaitu hak untuk hidup. Lanjutnya, psikologi masyarakat bisa terdampak dan menimbulkan trauma bila negara mempertontonkan pembunuhan dalam konteks hukuman mati itu sendiri.
Gambar 2. Massa aksi melakukan aksi di pertigaan Jalan Gejayan
Menurut Amnesty International per tanggal 31 Desember 2020, sebanyak dua per tiga negara di dunia telah menghapuskan pasal hukuman mati.
Selain itu mereka menganggap Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebagai bentuk pembungkaman. Hal ini karena dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara detil batasan-batasan penghinaannya sehingga bisa disalahartikan oleh aparat penegak hukum.
“Bagi kita sangat menolak pasal tersebut karena mencederai kebebasan berekspresi dan membahayakan kebebasan berpendapat ke depannya,” ungkap Ryan.
Senada dengan itu, salah satu massa aksi, Gery Jordi, Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa Pasal 217 sampai Pasal 220 masih kurang spesifik. Menurut Gery, yang dimaksud penghinaan dalam pasal tersebut masih abstrak sehingga bisa membahayakan bagi mahasiswa atau masyarakat yang melayangkan kritik kepada pemerintah.
“Penghinaan dalam pasal itu tidak dijelaskan kembali yang dimaksud seperti apa, bisa saja nanti mahasiswa mengkritik atau masyarakat mengkritik bisa dijatuhi sanksi karena (Penghinaan dalam Pasal 217-Pasal 220) sifatnya abstrak, perlu penjelasan lebih lanjut lagi,” ujar Gery.
Ia juga berharap agar pemerintah segera merevisi pasal-pasal yang bermasalah karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
Mengenai aksi lanjutan, Ryan menyampaikan bahwa aksi ini masih menjadi awal dari aksi-aksi selanjutnya. Karena menurutnya, gerakan massa di Jogja akhir-akhir ini sedang mengalami penurunan. Ia berharap aksi tersebut sebagai pemantik untuk teman-teman yang lain.
Reporter: Ikhwan Jati