Senin (10/10) malam bertempat di Selasar Auditorium Kahar Muzakir UII, LPM Himmah UII menyelenggarakan diskusi bertemakan sepak bola. Diadakannya diskusi ini sebagai upaya merefleksikan sepak bola Indonesia setelah tragedi Kanjuruhan 1 Oktober yang lalu.
Acara diawali dengan mengheningkan cipta untuk 132 korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan. Dan kemudian acara dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan perwakilan suporter dari kalangan mahasiswa di Jogja. Hadir sebagai pemantik diskusi ini Alif Madani mewakili Campus Boys 1976, Husein mewakili Aremania Campus Yogyakarta, dan Sultan mewakili Bonek Gadjah Mada.
Husein mengawali diskusi dengan menceritakan kronologi kejadian dari sudut pandang suporter. Awal mula penonton turun ke lapangan untuk memberikan semangat bagi para pemain dan tidak ada niatan melakukan kerusuhan. Tetapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak keamanan membuat penonton yang lain ikut turun untuk membela teman-temanya.
Selain itu dalam salah satu pointnya Husein menyampaikan perihal tiket yang overload dari kapasitas stadion. Pihak kepolisian telah menyarankan agar jumlah penonton disesuaikan pada kapasitas stadion yakni 38.000, tetapi pihak panitia pelaksana (panpel) tetap menjual sebanyak 42.000 tiket. Menurutnya panpel melihat laga itu sebagai momen yang menguntungkan keuangan klub.
“Apakah pihak panpel hanya mementingkan keuangan, apalagi dilaga bergengsi seperti kemarin, tentu pihak panpel melihat ini nuwun sewu duit, duit, duit dan duit” ungkapnya.
Pada diskusi itu hadir juga Alfan salah seorang Aremania yang menonton pertandingan secara langsung. Dalam kesaksiannya Alfan menyayangkan pihak keamanan yang tidak mengantisipasi turunnya dua suporter pada ahkhir laga. Dan akhirnya memancing suporter yang lain untuk ikut turun ke lapangan.
“Di akhir pertandingan aparat udah baris tapi entah kenapa, tiba-tiba polisi mojok sendiri, akhirnya teman-teman aremania turun” ungkapnya.
Alfan menceritakan bahwa sejak awal sudah terdapat kejanggalan sebab sempat terjadi selisih paham antara pihak penjaga pintu dengan aparat kepolisian. Menurutnya kondisi di dalam stadion sudah over kapasitas namun dari pihak kepolisian membiarkan penonton untuk tetap memasuki stadion.
“Jadi yang penjaga pintu udah bilang stadion penuh dan polisi menyuruh (penonton) tetap masuk yang penting bertiket” tuturnya.
Melihat kondisi sepak bola Indonesia saat ini menurut Alif Madani suporter hanya menjadi valuasi selama jalannya kompetisi saja dan ketika terjadi masalah selalu suporter yang menjadi kambing hitam. Padahal menurutnya dari sudut pandang suporter, sepak bola adalah salah satu sarana untuk perayaan dan selebrasi. Tragedi ini membuat Alif mempertanyakan sampai kapan suporter harus mengambil resiko kehilangan nyawa ketika menonton sepak bola.
“Penanganan polisi yang sangat fatal ini juga jadi semacam gunung es dari betapa carut marutnya pengelolaan sepak bola kita” ujarnya.
Upaya Refleksi Ke Depan: Berkaca ke Dalam, Berkaca Keluar
Alif menerangkan bahwa mendukung klub secara berlebihan tidak lepas dari sisi positif dan sisi negatif. Dari sisi negatif dampak fanatisme yang berlebihan berkaitan dengan rivalitas adalah perselisihan antarsuporter. Menurutnya hal ini sudah laten, dan bahkan pertikaian kerap terjadi di luar stadion. Tetapi upaya untuk mereduksi potensi hilangnya nyawa masih bisa dilakukan.
“Masalah atau kejadian yang sebenarnya bisa ditanggulangi. Artinya dengan menerapkan langkah preventif. Ketika jelas peraturannya ketika jelas sistemnya” ungkap Alif.
Merubah fanatisme negatif ke sisi positif menurut Alif memerlukan proses dan memang sudah seharusnya dilakukan. Berkaca pada kelompok Brigata Curva Sud (BCS) Alif menceritakan awal mula gerakan no ticket no game, mandiri menghidupi dan fokus PSS yang telah menjadi manifesto kelompok tersebut. Selain itu kelompok tersebut juga mulai menghilangkan nyanyian rasis yang mengejek atau memprovokasi suporter dan tim lawan. Menurut Alif pandangan mendukung club secara berlebihan dengan konteks positif bisa memberikan kontribusi untuk timnya.
Statuta FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 B telah melarang penggunaan gas air mata dan senjata api untuk mengamankan massa dalam stadion. Menurut Sultan, dalam Pasal 54 UU Keolahragaan Nomor 11 Tahun 2022 suporter telah dilegitimasikan dan diatur haknya, salah satunya mendapatkan keselamatan dan keamanan. Menurutnya harus ada harmonisasi antara statuta FIFA dan Perkapolri serta ada satu payung hukum untuk menjembatani keduanya, berupa peraturan pelaksanaan yang bisa dimandatkan melalui pasal 54 tersebut.
Sultan juga mencontohkan Football Spactors Act (FSA) di sepak bola Inggris yang menurutnya cocok untuk diadaptasi ke dalam peraturan sepak bola Indonesia.
“Mungkin kita nanti punya FSA itu di tataran Peraturan Pemerintahan” ujarnya.
Sehingga dengan adanya peraturan tersebut terdapat kejelasan terkait hak dan kewajiban penonton beserta sanksi-sanksinya.
Selain itu menurut Alif ada berbagai upaya yang saat ini bisa dilakukan untuk membantu Aremania. Salah satunya memberikan dukungan moril di media sosial serta memerangi opini yang cenderung menyudutkan suporter. Alif juga menyampaikan dukungannya untuk Aremania agar mendapatkan keadilan dan mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan ini.
“Sikap kita ya akan berada, beriringan bersama dengan teman-teman malang supaya mendapat keadilan” ujar Alif.
Penulis: Ikhwan Jati
Penyunting: Airlangga Wibisono