Museum Wayang Kekayon: 5000 Koleksi dan Dalang Perempuan di Dalamnya

Ada nggak sih, orang yang nggak suka berkunjung ke museum? Atau berpikir kalau kunjungan ke museum adalah hal yang membosankan?

Sepertinya bacaan ini akan membuat kamu mudah merasa bosan juga, apalagi museum yang didatangi sangat kental dengan budaya Jawa-nya.

Museum Wayang Kekayon menyimpan 5000 macam wayang di dalamnya. Meskipun tidak seluruhnya terpampang dalam diorama, saya yakin bagi siapapun yang berkunjung ke sini, akan merasa lebih dekat dengan lingkungan yang Jawabanget, yaitu berisi kumpulan wayang Jogja, Surakarta, Bali, Sunda, dan Lombok.

Lebih detailnya, museum ini memiliki masterpiece berupa 100 tokoh wayang Kurawa dan bermacam jenis wayang seperti wayang golek dan wayang kulit yang sering kita jumpai di pentas wayang pada umumnya, wayang wahyu yang merupakan media pertunjukan dengan lakon berdasarkan kitab suci umat Kristiani, wayang pahlawan yang tokohnya berupa pahlawan, wayang kaper yang digunakan oleh anak-anak karena bentuknya yang kecil, dan wayang geculan yang merupakan wayang komedi.

Museum Wayang Kekayon ini masuk ke dalam daftar 38 museum di Yogyakarta yang diakui secara resmi oleh Dinas Kebudayaan, di samping museum yang namanya sangat terkenal lainnya seperti Museum Sonobudoyo, Museum Kraton Yogyakarta, Museum Benteng Vredeburg, dan Museum Affandi. Kalau kamu tertarik untuk datang ke museum ini, cukup dengan harga tiket 20 ribu kamu akan belajar banyak sekali mengenai sejarah pewayangan.

Anisyah Padmala Sari, Duta Museum DIY

Ngomong-ngomong perihal sejarah pewayangan, Anisyah Padmala Sari, Duta Museum DIY yang saya sapa Mbak Anisyah ini, memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai pedalangan dan pewayangan. Bagaimana tidak, ia merupakan lulusan ISI Yogyakarta yang mengambil prodi Seni Pedalangan.

Benar, ada program studi yang ditawarkan oleh kampus seni ini, meskipun mahasiswanya terbilang sedikit, yaitu 6 orang (4 laki-laki dan 2 perempuan untuk satu angkatan). Latar belakang pendidikannya yang sebelumnya adalah SMK jurusan Seni Musik yang sangat berseberangan dengan apa yang ia geluti pada lingkungan kampusnya menjadikan tantangan tersendiri untuknya.

Semangat untuk terus belajar dalam dunia pewayangan terpancar jelas pada raut wajahnya. Ia menceritakan kenangan-kenangannya tentang pengalamannya berkecimpung di dunia wayang, ujian tiap semester yang diharuskan untuk ndalang, belajar menyinden, belum lagi pendalaman karakter dari tiap lakon yang akan ia mainkan. Tak hanya bermain di kampus saja, dalam pagelaran wayang tertentu yang digelar untuk umum istilahnya, ia sudah melangang-buana dari Magelang, Nganjuk, Solo, Jogja, sampai Medan.

“Untuk yang di Magelang, waktu itu saya masih semester 3, itu pagelaran semalam suntuk, kami dibagi bertiga,” tuturnya.

Adapun lakon yang pernah ia mainkan adalah Alap-alapan Surtikanthi, Mahkuthoromo, dan lakon paling berkesan menurutnya yaitu Sawitri Setiawan yang menurutnya jarang dimainkan di Yogyakarta. Menceritakan tentang kesetiaan seorang Sawitri yang mengetahui bahwa umur suaminya, Setiawan tidak akan lama, lantas ia bernegosiasi dengan Yamadipati dan akhirnya Setiawan, sang suami dapat kembali dari kematiannya.

Dalang Itu Profesi atau Bukan, Sih?

Menurut Anisya, menjadi seorang dalang itu terbagi menjadi dua; bisa sebagai sebuah profesi maupun panggilan jiwa. Seorang dalang dapat dikatakan sebuah profesi yang tujuannya dapat berupa untuk mengembangkan kesenian maupun tuntutan masyarakat yang membutuhkan hiburan. Meskipun pada kenyataannya istilah masyarakat di sini hanya mengacu kepada sesepuh-pinisepuh saja.

Ia pun tidak mau denial bahwasanya pertunjukan wayang selalu tentang kendala minimnya eksistensi di mata para pemuda zaman sekarang. Durasi yang lama disertai lakon yang membingungkan, apalagi bahasa yang dituturkan bukan bahasa Jawa sehari-hari, ini adalah akar masalah mengapa pagelaran wayang sudah sangat jarang ditemui, kecuali mereka yang datang atas kebutuhan instastory.

Bahkan di lingkungan semasa kecil di Surakarta, medio tahun 2015, Anisyah baru merasakan pertunjukan wayang setelah 30 tahun lamanya tiada.

Adanya kendala tersebut, tidak menjadikan semangatnya surut. Ndalang baginya adalah sebuah panggilan jiwa.

Adakah Ritual Sebelum Mendalang?

Ini adalah pertanyaan sejuta umat. Seperti masakan kurang garam, makruh rasanya apabila kita berbincang mengenai sebuah tradisi tanpa menanyai ritual di sini. Saya yakin, apapun pertunjukan atau apapun yang kental dengan istilah “Jawa”, tidak akan luput dari ihwal ritual. Sebenarnya, istilah ritual diartikan sebagai berkenaan dengan ritus, di mana ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan.

“Kalau aku sampai saat ini, ritualnya menenangkan diri, sih,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Berkenaan dengan ritual sebelum ndalang, Anisyah menjelaskan bahwa ritual itu ada tergantung dengan keyakinan masing-masing dalang. Adapula yang melakukan ritual tidak makan nasi, puasa sehari, ataupun minum ramuan tertentu.

Namun, ada hal yang cukup membuat saya tidak merasa umum: ritual “Ngeloni Wayang”. Sesuai dengan namanya, ngeloni yang merupakan bahasa jawa, artinya menemani (orang) tidur. Tak hanya sebatas menemani saja, dalang yang melakukan ritual ini akan mengajak ngobrol, mengikuti kegiatan dari tokoh yang nantinya akan ia mainkan. Sang tokoh dilibatkan dalam kegiatan sehari-harinya agar nantinya saat pementasan mampu benar-benar menghayati peran dari tokoh sehingga lakon yang ia bawakan akan maksimal.

Terlepas dari masalah maksimal dalam pembawaan wayang, saya meyakini bahwa faktor lain ritual-ritual yang dilakukan dapat menjadikan ia sebagai seorang Jawa yang anjawani, yang menginginkan ketentraman dalam hidup.

Apakah Wayang Hanya Seputaran “Wayang Jawa” Saja?

Jawabannya, tentu saja tidak.

Wayang Jawa hanyalah istilah bagi saya seorang awam yang hanya tau “wah ono wayang, paling muk ngono-ngono kae”. Bahwa wayang itu cuma gitu-gitu aja. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wayang tidak hanya terbatas pada pulau Jawa.

Ada wayang Jogja yang memiliki ciri khas berwarna emas, wayang Surakarta yang menyerupai wayang Jogja tetapi dengan warna dasar coklat, wayang Bali yang menurut Anisyah ini condong ke lakon-lakon India, wayang Sunda, dan wayang Lombok yang blencongnya (red: alat penerangan pada pertunjukan wayang) masih terbilang klasik, menggunakan api, di tengah yang lainnya sudah menggunakan lampu.

Jangankan perbedaan wayang luar Jawa, wayang Jogja dengan Surakarta pun banyak bedanya. Secara fisik, wayang Jogja dapat dikenali dengan warna emasnya dan posturnya yang lebih gemuk, sedangkan wayang Surakarta berwarna coklat dan posturnya yang lebih ramping.

Dari segi penampilan dan lakon, antara kedua wayang ini memiliki perbedaan. Katakanlah pada tokoh Durna yang merupakan guru Pandhawa. Pada versi wayang Jogja, tokoh Durna direpresentasikan sebagai tokoh yang negatif dan jahat, tetapi pada versi wayang Surakarta sebaliknya. Adapun format pertunjukan di Jogja dalam satu malam suntuk, ada 3 sesi: pathet 6, pathet 9, dan pathet mayuro. Sedangkan pada versi wayang Surakarta, terdapat 7 sesi: yaitu jejer siji sampai jejer pitu.

Selama ini, wayang hanya dikenal dengan Mahabarata dan Ramayana, dengan tokoh terkenal Pandhawa, Kurawa, dan Punakawan. Namun, mengunjungi Museum Wayang Kekayon ini membuat khazanah perjawaan saya semakin bertambah, ditambah lagi mengobrol banyak dengan Anisyah, yang selalu bersemangat untuk belajar dunia pewayangan.

“Dari museum kita bisa belajar banyak hal, salah satunya adalah identitas diri. Museum itu mewadahi banyak hal dari masa lalu yang tidak bisa kita tengok secara langsung. Ada cerita, ada bentuk, ada nilai-nilai yang bisa kita pelajari dari bendanya. Mempelajari sebuah identitas diri dengan mengenal sebuah tradisi itu memang tidak mudah, tetapi kita bisa mencari tau sendiri,” tutupnya.

Penulis: Resti Damayanti

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *