Jangan Remehkan, Kotak Kosong Bukan Lawan Sembarangan!

Sumber gambar: Unsplash

Dalam sebuah pertandingan sepak bola, drama keseruan bisa terjadi ketika dua kesebelasan yang berjibaku di lapangan saling memberikan perlawanan yang sama sengitnya. Tembakan-tembakan ke arah gawang yang sama mengerikannya, penguasaan bola yang sama lengketnya, dan adu taktik yang tak kalah jitunya antara kedua kesebelasan adalah hal-hal yang tak ingin sedetik pun kita lewatkan.

Faktor-faktor tersebut bisa terjadi lantaran satu syarat fundamental: ada lawannya. Dan kita tahu, pemilwa edisi kali ini gagal menghadirkan drama keseruan itu lantaran (lagi-lagi) hanya memunculkan satu paslon saja yang akan meneruskan estafet kepemimpinan BEM FT UNY 2023, yakni Azrul-Zahra.

Lalu, apakah dengan demikian Azrul-Zahra lantas auto win dan muskil dikalahkan? Eits, tunggu dulu. Kotak kosong bukan lawan sembarangan yang bisa Anda remeh-temehkan, Bung!

Balada Calon Tunggal

Fenomena calon tunggal bukanlah barang anyar di panggung politik. Itu merupakan hal yang nisbi terjadi. Namun, situasi semacam itu adalah situasi yang—semestinya—paling dihindari dalam iklim demokrasi.

Bukan hal yang keliru juga jika ada yang menyatakan bahwa kehadiran calon tunggal ini menurunkan minat partisipasi politik kita—warga FT UNY. Ya mau gimana lagi, siapapun yang maju jadi calon tunggal, niscaya ia jugalah “sang terpilih” nantinya. Hanya menunggu waktu. Kemenangan sudah di depan kornea.

Dan kalau memang, dari ribuan mahasiswa FT, hanya ada sepasang kandidat yang siap maju menduduki kursi eksekutif mahasiswa periode selanjutnya, ya apa mau dibuat?

Toh, bukan salah Azrul-Zahra yang jadi paslon tunggal. Mereka hanya peserta pemilwa dan KPU FT UNY pun sudah memberikan waktu pendaftaran yang terbuka bagi siapapun—mahasiswa FT UNY dari prodi manapun—yang ingin mencalonkan diri, asal memenuhi persyaratan tentunya.

Loh, kalau adanya cuma satu calon, kenapa nggak langsung aklamasi aja? Ngapain harus repot-repot kampanye, nyoblos, dan ngitungin surat suara satu-satu? Kurang kerjaan banget.

Begini. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, agar pesta demokrasi kampus bisa tunai secara “paripurna”. Itu jadi penting—barangkali—guna menegaskan bahwa politik kampus (wabil khusus FT) tidak menganut sistem monarki absolut. Mungkin, lho, mungkin.

Kedua, untuk menguji—sekali lagi—elektabilitas sang calon (tunggal). Mengukur seberapa “digdaya” calon tersebut di hadapan kotak kosong. Walaupun, tak memungkiri bahwa kehadiran calon tunggal membuat kelangsungan pemungutan suara terkesan sebagai prosesi yang bertele-tele dan fafifu seremonial belaka.

Tolok Ukur Elektabilitas

Jika boleh saya mengibaratkan, kotak kosong itu seperti Rocky, si batu peliharaan Patrick Star yang ikut lomba “balap lari”. Dalam episode “The Great Snail Race” itu, Rocky sama sekali tidak diunggulkan untuk menang. Jangankan menang, diperhitungkan saja enggak. Dia sekadar genap-genap kompetisi—yang ganjil, tentunya.

Tapi toh, pada akhirnya Rocky yang memenangkan perlombaan, mengalahkan Gary dan Snellie. Memang, kemenangannya menjadi suatu pemandangan yang amat absurd, tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi.

Benar, kisah Rocky itu barangkali bukan suatu analogi yang baik, tapi maksud saya, akan selalu ada potensi bahwa “kekalahan konyol” semacam itu bisa terjadi. Senadir bagaimanapun probabilitasnya. Dan Azrul-Zahra juga harus siap akan “ancaman” satu ini.

Dan memang, eksistensi kotak kosong ini bukanlah gertak sambal semata. Kekalahan konyol semacam itu memang pernah terjadi di dunia nyata.

Dalam pilkada serentak 2018 lalu, Makassar memberikan kejutan ke publik. Paslon Appi-Cicu kalah suara dengan kotak kosong pada pilwakot empat tahun silam itu. Calon tunggal yang didukung 10 partai besar itu kalah sebanyak 36.550 suara melawan kotak kosong.

Contoh lain, pada pilkades di Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, 2013 lalu, kotak kosong memenangkan pemilihan bahkan hingga empat kali pencoblosan. Duh, ini sih, bukan cuma kalah, tapi babak belur!

Sebagai calon tunggal, Azrul-Zahra tidak sedang melaju di jalan tol nan mulus. Kotak kosong bisa saja menyulap dirinya jadi viaduk, yang rapuh-kokohnya ditentukan oleh seberapa maksimal paslon mengoptimalkan masa kampanyenya.

Kalau terlena, bisa saja mereka dipermalukan oleh kotak kosong. Dua kasus di atas bukan tidak mungkin juga akan menimpa Azrul-Zahra—dan calon tunggal lainnya—pada pemilwa kali ini.

Kotak kosong bukan saja jadi lawan mujarad, tapi sekaligus tolok ukur elektabilitas calon tunggal secara langsung. Jika tahun lalu, pemilih kotak kosong mencapai angka , bukan tidak mungkin tahun ini akan melonjak lagi.

Menang Tak Menakjubkan, Kalah (Lebih) Memalukan

Balada calon tunggal tidak berhenti sampai di situ. Maju sebagai calon tunggal sebetulnya menghadirkan situasi yang cukup “canggung” bagi paslon Azrul-Zahra. Ya gimana enggak, kalau mereka menang, ya itu bukan suatu hal yang fantastis—apalagi membanggakan. Lha, calon tunggal je, ya maklum kalau auto win. Kayak main bola, tapi menang WO gitu.

Tapi kalau mereka sampai kalah suara melawan kotak kosong, itu tentu akan menjadi kekalahan yang bukan sekadar kekalahan belaka, tapi juga merupakan kekalahan yang memalukan cum memilukan.

Jelas bahwa saya tidak memiliki kontrol atas apa yang sepatutnya dirasakan oleh orang lain, tapi, seperti kata Emil Cioran, dalam segala tindakan di jengkal hidup manusia, pikiran akan selalu bisa berperan sebagai “perusak kesenangan”. Sebetulnya itu bagus agar kita selalu melek akan pentingnya hal-hal preventif termasuk menahan diri untuk tidak buru-buru jemawa.

Bayang-bayang “kemenangan canggung” dan “kekalahan konyol” itu adalah hantu bagi setiap calon tunggal yang berpentas di gelanggang politik termasuk percaturan level kampus sekalipun. Oleh karena itu, hasil paling ideal bagi calon tunggal adalah kemenangan mutlak. Bahkan mungkin bukan lagi “idealnya”, tapi lebih tepatnya memang “seharusnya” demikian.

Kenapa begitu?

Ya balik lagi, ini tentang signifikansi elektabilitas paslon tersebut. Kotak kosong akan menjelma pisau bermata dua bagi calon tunggal. Ia bisa ikut menghorekan kemenangan mutlak mereka, tapi sekaligus bisa menusuk dan mencabik-cabik citra sang calon. Kotak kosong tak cuma mampu menegaskan kemenangan telaknya, tapi juga bersedia membanting remuk elektabilitas calon tunggal.

Dan kalau sampai pemilwa nanti, pahit-pahitnya, Azrul-Zahra ternyata mendapatkan suara lebih sedikit daripada kotak kosong, jelas musababnya cuma ada dua: kalah populer, atau kalah terpercaya.

Kalau kalah populer, jelas nggak mungkin lah ya, lha wong kandidat Yang Mulia Kotak Kosong ndak pernah gembar-gembor kampanye sana-sini je. Tapi kalau kalah terpercaya, nah itu justru mungkin.

Kenapa mungkin?

Ya karena Yang Mulia Kotak Kosong tidak pernah menjanjikan apa-apa kepada kita—para pemegang suara hak pilih. Dengan demikian, otomatis, “beliau” pun tidak akan mungkin mengkhianati apa pun kepada kita. Tidak ada celah bahwa kita bakal dikhianati oleh kotak kosong.

Sebaliknya, Azrul-Zahra tidak punya pilihan lain selain harus menang telak melawan kotak kosong pada gelaran pemilwa kali ini. Itu adalah satu-satunya hasil yang ideal—tanpa perlu mencoreng muka dengan urgensi pencoblosan ulang.

Jadi, sekali lagi, kotak kosong bukan lawan yang pantas diremeh-temehkan. Ingat, bahkan “seekor batu” pun bisa memenangkan perlombaan lari!

Camkan itu.

Penulis: Lindu Ariansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *