Senandika Argentina

Sumber gambar: Twitter

Di sebuah kedai kopi rumahan di sudut Seyegan, malam panjang nobar partai final Piala Dunia 2022 yang mempertemukan timnas Prancis dan Argentina itu membuat saya sukar memejamkan mata.

Bayang-bayang keseruan tiga jam semalam seakan-akan terus terputar seperti kaset abadi yang sengaja mengusut di otak.

Saya dan lima kawan duduk di barisan kedua yang tegak lurus ke arah proyektor. Meski duduk bersama, kami berenam terbagi menjadi dua kubu: tiga orang di kubu Argentina dan tiga lainnya di kubu Prancis.

Dan dengan berat hati dan penuh ketaksaan, saya (harus) berada di kubu Prancis. Bukan karena saya menyenangi skuad asuhan Didier Deschamps itu, melainkan karena saya kebagian undian timnas Prancis.

Dan judi, eh, arisan kecil-kecilan itu maksudnya, pada akhirnya, tidak saya menangkan. Lalu, apakah saya lantas kecewa kemudian?

Tidak, kali ini tidak sesederhana itu.

Jujur, itu adalah campur baur rasa yang super-duper menggelikan! Ada semacam sensasi ambivalen yang luar biasa menyebalkan.

Saya tahu bahwa persisnya perasaan itu tidak bisa dilukiskan bahkan dengan narasi seapik apa pun, tetapi perkenankanlah saya berupaya mengungkainya.

Kecewa, Gayeng, dan Lega

Pertama-tama, saya akui bahwa ada secuil kekecewaan materialis kala menyaksikan Kingsley Coman dan Aurelien Tchouameni gagal mengeksekusi penalti di babak tos-tosan.

Namun, gegetun itu lamat-lamat lumer saat memorabilia gegap gempita yang mencengkeram sepanjang laga menyesaki obrolan gayeng kami setelahnya.

Seakan-akan kami tidak ingin melepaskan keseruan itu lekas-lekas. Bahkan, jika memungkinkan, ingin selamanya berada dalam situasi cemas-jemawa-jengkel-senang semalam.

Sepanjang pertandingan, kami menyimak dengan penuh ketar-ketir. Dag-dig-dug jantung terpompa ingin segera menuju peluit akhir.

Tapi, begitu semuanya berakhir, rasanya malah ingin lagi, lagi, dan lagi.

Namun, terlepas dari akrobat bola para aktor lapangan hijau semalam, ada seluang porsi kelegaan yang dominan di hati.

Ya, saya lega selega-leganya!

Lega karena Lionel Messi dan rekan-rekan senegaranya berhasil mengangkat trofi termasyhur di ajang sepakbola itu di dunia nyata.

Riil!

Dan semua olok-olok parodi bahwa Messi hanya akan juara Piala Dunia di gim virtual saja, serta-merta terpatahkan.

Saya mungkin kehilangan kesempatan menikmati secercah haram receh untuk sarapan enak pagi ini, tapi saya sama sekali tidak menyesalinya.

Dan, ya, sempurnalah Messi sekarang.

Messi, Messi, Messi

Ibarat sosok dewa yang diyaki-ni dalam mitologi tertentu, dalam universum sepakbola, saya rasa kita tak akan keberatan jika bersama-sama memanifestasikannya dalam sosok Lionel Messi.

Dan saya, sebagai generasi yang tumbuh menyaksikan aksi-aksi Messi mengolah si kulit bundar sedari kanak-kanak, merasa perlu angkat topi kepada beliau yang telah mempersembahkan sebuah “epos sepakbola” yang fenomenal sepanjang kariernya.

Benar bahwa komplimen dan pencapaian teranyar Messi ini membawa kita ke arah perdebatan klasik Cristiano Ronaldo versus Lionel Messi. Mana yang lebih hebat antara keduanya.

Namun, keberhasilan Messi melengkapi puzzle trofi dalam kariernya ini, sebaiknya kita apresiasi sebagai “dobrakan” terhadap kemuskilan yang mewujud nyata.

Kita mendamba salah satu atau bahkan keduanya memenangkan Piala Dunia sebagai “ganjaran” yang ideal atas kualitas yang mereka miliki. Tetapi, sepakbola adalah tentang kolektivitas. Para pemain tunduk di bawah kepentingan kolektif, yakni misi meraih kemenangan sebagai tim, bukan individual.

Dan kita menghendaki Messi memenangkan Piala Dunia itu justru karena CR7 gagal melakukannya. Dambaan tersebut menjadi semacam “utopia sekunder” setelah impian final idaman Argentina vs Portugal pupus karena auman kejutan dari Tim Singa Atlas Maroko.

Lihat, kita bahkan tak lagi memerkarakan apakah Messi pro-Israel, apakah Messi pernah menggelapkan pajak, apakah Messi penyintas Asperger, atau apakah Messi sudah sunat atau belum. Semua perkara remeh cemeh itu seketika tersapu begitu saja semalam.

Ini karena, dari lubuk hati yang terdalam, akui saja bahwa kita memang ingin melihat Messi memenangkan final Piala Dunia ini.

Kita ingin (sama-sama) menyempurnakan sosoknya sebagai mesias jagat sepakbola.

Bukan, bukan karena ingin menegaskan bahwa dirinya lebih baik daripada Cristiano Ronaldo.

Bukan.

Akan tetapi, lebih karena kita mendambakan kehadiran sosok sepertinya, sesempurna dirinya, dalam sejarah dunia sepakbola. Dan malam ini, kita sama-sama telah mewujudkannya.

Atau, dengan kalimat yang sedikit sembrono, Prancis boleh menang (lagi) kapan-kapan, tapi Messi—juga Argentina—mungkin hanya punya kesempatan (terakhir) malam tadi.

Dan tanpa menganggap rendah kolektivitas Tim Tango, panggung semalam memanglah arena bagi sang maestro untuk berdarah-darah di lapangan.

Di klubnya, Paris Saint-Germain (PSG), Messi mungkin bak manekin favorit di etalase terdepan. Tidak perlu cetak banyak gol, asal publik bisa melihat “kecantikannya” saja sudah cukup.

Tapi di tanah kelahirannya, Messi selayaknya Sisifus dan batu yang ia dorong selama ini telah menemukan titik pemberhentian yang sempurna tatkala Gonzalo Montiel sukses memastikan Argentina sebagai jawara dunia di Lusail Stadium semalam.

Bahkan, andai kata Messi bukanlah seorang Argentina, katakanlah dia berkewarganegaraan Spanyol, Italia, atau Burkina Faso sekalipun, itu tak masalah. Asalkan, kita bisa melihat La Pulga juara dunia di Qatar tahun ini.

Pendek kata, kita ingin Messi sesempurna mungkin.

Drama Final

Selain melahirkan seorang revolusioner Marxis-Leninis sekaliber Che Guevara, Rosario juga adalah saksi pijakan pertama Lionel Messi di muka bumi.

Itu tiga puluh lima tahun lalu, sebelum kita menyaksikan jejak, sepak, dan lenggak-lenggok aduhainya semalam.

Dan setelah sembilan edisi Piala Dunia rakyat Argentina menanti trofi Piala Dunia berpulang ke tanah Rosario, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Today is the day!

Dan agaknya Presiden Argentina Alberto Fernandez saat ini sedang getun karena lebih memilih nobar di rumah bareng cucunya, alih-alih hadir langsung mendukung di tribun.

Dan kalau boleh membandingkan, final kali ini, level keseruannya itu berkali-kali lipat daripada (setidaknya) tiga final Piala Dunia edisi sebelumnya.

Spanyol mungkin berhasil mengukuhkan titik kulminasi dari cesplengnya tiki-taka khas mereka (Catalonia—red) kala mengandaskan Belanda di Afrika Selatan 2010 silam.

Der Panzer Jerman barangkali bisa selamanya berbangga setelah berhasil mencukur habis tuan rumah Brazil, plus mencundangi Argentina di final, sewindu ke pungkur.

Dan Prancis, yang, ya, mungkin sedang amat disayang Dewi Fortuna saja sewaktu di Rusia, empat tahun silam. Mungkin karena Vladimir Putin dan Didier Deschamps zodiaknya sama-sama Libra kayaknya.

Ya, itu adalah sebuah argumentasi tolol akan sulitnya menafikan kedalaman skuad Prancis yang mumpuni.

Namun, rasai dan sepakatilah bahwa final kali ini adalah final yang lain dari final biasanya—yang cenderung pragmatis main aman. Khususnya, dinamika susul-menyusul skor yang terjadi begitu mendebarkan dan tak terduga. Bandar dan para pemasang bid pun dibuat duduk tak nyaman semalaman.

Siapa yang akan menyangka Argentina yang sudah unggul dua kosong dan tinggal sepuluh menit lagi bakal jadi juara dunia, tapi justru dipupuskan begitu cepat dengan dwigol Kylian Mbappe hanya dalam dua menit saja?

Kamu mungkin juga heran mengapa pemain-pemain seperti Ousmane Dembele dan Oliver Giroud ditarik cepat bahkan sebelum babak pertama berakhir. Digantikan oleh pemain-pemain muda minim jam terbang pula.

Namun, kita kemudian sama-sama tahu bahwa dua pemain pengganti tersebut berkontribusi dalam upaya skuad Prancis menyamakan skor.

Aksi Kolo Muani membuahkan penalti akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Nicolas Otamendi, dan Marcus Thuram pun mencatatkan assist brilian.

Lalu, ingatkah kalian yang sebelum laga final berlangsung mencaci Argentina sebagai Tim Penalti FC?

Faktanya, Prancis justru yang mendapatkan hadiah penalti lebih banyak daripada Argentina semalam.

Yah, walaupun, pada akhirnya kita juga tahu bahwa ilmu titen Lionel Scaloni dalam mempersiapkan para algojo titik putih memang ampuh bukan main.

Bahkan, siapa yang mengira tim yang diganyang Timnas Wahabi dan diyakini akan kukut gasik dari Qatar—seperti Jerman—justru bisa melenggang hingga ke final dan menjelma kampiun?

Perjalanan Argentina dalam gelaran Piala Dunia kali ini seakan menjadi alegori yang (nyaris) sempurna tentang “mimpi jadi nyata”.

Dan saya tahu, saya hanyalah satu dari ratusan, ribuan, bahkan jutaan pasang mata saksi yang berusaha mengingat, membingkai, dan memugar malam yang spektakuler ini.

Malam yang akan menjadi salah satu diorama kenangan terindah kita sebagai pencinta sepakbola.

Mudah-mudahan, jumpalitan rasa yang saya guratkan ini cukup untuk mengatakan bahwa malam semenakjubkan itu pernah ada.

Simpan dan rawatlah kenangan semalam. Anggap itu kado terindah dari King Leo…

…dan Tuhan.

Penulis: Lindu Ariansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *