Mengenal Layanan Konseling UNY dan Urgensi Kesehatan Mental Mahasiswa

Sumber gambar: Dok. Pribadi (Elshinta/Wartafeno)

Pernahkah kamu dijadikan seseorang sebagai tempat bercerita ketika ia mengalami stres? Lalu, sudahkah kamu menjadi pendengar yang baik?

Ketika seseorang mempercayai kita sebagai tempat untuk bercerita, ada beberapa sikap yang sebaiknya kita tunjukkan. Cut Munika Bastia Rahmadani, mahasiswa S2 Bimbingan Konseling UNY sekaligus student employee Unit Pelaksana Tugas Layanan Bimbingan Konseling UNY (UPT LBK UNY) memberikan pandangannya mengenai hal ini.

Pentingnya Memberi Apresiasi

Menurut Cut Munika, hal pertama yang harus dilakukan yaitu memberi apresiasi. Hargai dia (orang yang mau curhat ke kita) karena tidak mudah mengungkapkan masalah yang sedang dihadapi ke orang lain.

Kemudian, terima baik-baik apa yang diceritakan agar dia merasa nyaman bercerita. Kita sebaiknya tulus menghadirkan diri kita sepenuhnya pada orang yang bercerita. Jangan malah sambil bermain handphone atau sibuk sendiri.

Lalu, setelah mereka selesai bercerita usahakan berterima kasih karena sudah mau bercerita dan mempercayai kita sebagai tempat untuk bercerita. Meskipun, kita tidak bisa memberi solusi dengan baik, terkadang mereka yang bercerita hanya ingin didengarkan.

Mengenal UPT LBK UNY

Pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk akrab dengan kesendirian karena dibatasinya kontak fisik. Kita menjadi lebih kontemplatif dalam memandang suatu persoalan. Masalah yang biasanya bisa kita curahkan ke orang terdekat akhirnya hanya menggumpal di pikiran. Sisi lain diri kita yang tak pernah dihiraukan akhirnya menyeruak ke permukaan.

Beberapa fenomena sosial yang terjadi selama pandemi berlangsung, seperti panic buying misalnya, juga merepresentasikan beragam cara manusia beradaptasi dengan dunia dan “kenormalan yang baru”. Masing-masing individu punya cara dan pemikiran sendiri yang menurutnya adalah solusi terbaik menyikapi situasi yang mengancam.

Respons terhadap situasi mengancam juga dapat berupa kecemasan. Misalnya, cemas karena takut tertular virus, takut kehilangan pekerjaan, takut berinteraksi dengan orang lain, dsb.

Karena itulah, sikap aware terhadap kesehatan mental diri sendiri dan orang terdekat perlu dibiasakan. Jangan menganggap bahwa berkonsultasi ke psikiater atau psikolog merupakan hal yang tabu, apalagi sampai parno takut dicap gila.

UNY memiliki fasilitas layanan konseling gratis bagi mahasiswanya. Layanan UPT LBK yang telah dibuka kembali secara tatap muka setelah sempat hanya dibuka secara daring ketika pandemi.

Jika ditelusuri sekilas, masih ada beberapa mahasiswa UNY yang belum mengetahui fasilitas konseling tersebut. Padahal, layanan ini sangat berguna bagi mereka yang tidak punya tempat untuk menceritakan keluh kesahnya.

Saat ini, UPT LBK UNY berada di bawah pimpinan Diana Septi Purnama yang didampingi Agus Triyanto sebagai sekretaris. Keduanya merupakan dosen FIP UNY. Terletak di lantai satu, gedung Pascasarjana Lama FIP, kamu bisa mengunjunginya antara jam 8 pagi sampai 4 sore.

19 Konselor Profesional Siap Melayani

UPT LBK UNY saat ini memiliki 19 konselor profesional yang siap melayani konseling, dari Senin sampai Jumat. Prosedur yang harus dilakukan sebelum menggunakan layanan konseling yaitu mendaftar via Google Form.

Dalam formulir tersebut terdapat beberapa pertanyaan detail yang dapat membantu konselor untuk mendapat gambaran sekilas tentang diri pasien. Selain itu, juga disediakan daftar konselor yang dapat dipilih untuk sesi konseling.

Formulir yang masuk biasanya akan dicek oleh staf administrasi setiap pagi, kemudian pendaftar akan dihubungi untuk membuat jadwal konseling.

Marini Ria Dewi, staf administrasi yang bergabung dengan UPT LBK sejak Januari 2022 lalu, bercerita mengenai pengalamannya selama melayani keluh kesah mahasiswa UNY selama ini.

Marini menyebut bahwa terkadang beberapa mahasiswa datang dengan wajah lesu, bahkan menangis lalu bercerita ini dan itu, hingga tidak terasa sudah menghabiskan berjam-jam, lalu keluar dari ruangan dan tersenyum lagi. Pemandangan-pemandangan semacam itu sudah menjadi fenomena harian yang ia saksikan.

“Tidak apa-apa, ya kami senang karena senyum Anda adalah kebahagiaan kami,” kata Marini tersenyum ramah.

Waktu yang Tepat untuk Sambat

Meski saat ini sudah banyak layanan konseling yang tersedia gratis, seringkali seseorang masih merasa bingung kapan waktu yang tepat untuk mendatangi psikolog. Hal ini terjadi karena, menurut Cut Munika, kita terlalu sibuk beraktivitas dan kurang menyempatkan refleksi diri.

Cut Munika mengatakan bahwa saat kita menjalani rutinitas dan mulai terganggu dengan rasa tidak nyaman, misalnya tidak nafsu makan, susah tidur, selalu cemas, sebaiknya memberi jeda pada diri sendiri. Ini penting sebagai momentum merefleksikan apa sebetulnya yang mengganggu dan menyebabkan ketidaknyamanan diri tersebut.

Dan saat diri merasa sudah benar-benar tidak baik-baik saja, hendaknya segera menemui tenaga profesional yang tepat untuk meminta bantuan atau saran. Para profesional akan membantu kita mencari akar masalah yang membuat diri merasa tidak nyaman.

“Kami biasanya tidak hanya menyediakan treatment satu kali. Jika ada penyakit mental yang serius, akan ada sesi-sesi berikutnya. Jarak dengan konseling berikutnya sekitar dua minggu. Proses konseling tidak bisa instan, konselor hanya sebagai fasilitator, hasil akhirnya ada pada diri konseli itu sendiri. Jika akhirnya memang membutuhkan obat maka akan disarankan ke psikiater dengan surat rujukan,” terang Cut Munika.

Ketimbang mendiagnosis diri yang rentan miskonsepsi, menemui psikolog merupakan jalan yang tepat untuk mengetahui sebab-sebab mengapa seseorang merasa tidak baik-baik saja.

Cut Munika juga menambahkan, bahwa setiap orang memiliki kapasitasnya sendiri untuk bertahan, maka diri sendirilah yang semestinya bisa menakar kondisi diri dan kapan waktu yang tepat untuk sambat ke psikolog.

Boleh saja saat seseorang merasa stres langsung mendatangi psikolog profesional saat itu juga. Bisa juga menunggu beberapa hari kemudian untuk melihat situasi diri agar lebih stabil. Maka kenalilah dirimu betul-betul.

Kata Mereka tentang Isu Kesehatan Mental

Mengenai urgensi konseling ke psikolog dan isu kesehatan mental, empat mahasiswa UNY memberikan opininya masing-masing. Keempatnya memiliki kata-katanya sendiri, tapi kiranya bernada sama bahwa isu kesehatan mental adalah isu yang urgensial dan tidak semestinya dianggap remeh.

Nada Azharani Aziza, mahasiswi Ilmu Komunikasi, mengungkapkan bahwa sebaiknya isu kesehatan mental ditanggapi secara responsif jika gejala yang dirasakan sudah muncul.

“Orang yang memiliki masalah kesehatan mental, seharusnya langsung ditangani oleh psikolog atau ahlinya aja. Karena kalau kita cerita ke teman, takutnya, malah memperburuk keadaan. Jadi, mending ke professional aja,” ujar mahasiswi semester 3 itu.

Selain Nada, Hafidz Nur Ramadhan, mahasiswa Teknik Elektronika, juga menyatakan betapa urgennya isu kesehatan mental itu.

“Menurut saya, pentingnya seseorang yang memiliki tekanan mental untuk berkonsultasi ke psikolog, jika diukur dengan skala 1-10, adalah 9,5. Ini karena banyak sekali kasus bunuh diri akibat gangguan mental yang tidak disikapi dengan semestinya,” ungkap Ramadhan.

Senada dengan Ramadhan, Elizabet Juniarti Sirait, mahasiswi semester ganjil ini juga berpendapat sama.

“Kalau misalnya aku punya temen yang punya gangguan mental, ya aku temenin dia. Aku bakal bantuin dia untuk (mencari cara) keluar dari masalah itu,” terang mahasiswi Kampus Wates tersebut.

Seorang mahasiswa lainnya, Adhitya Ari Yudha, bahkan mengatakan bahwa dirinya siap sedia jika dijadikan tempat bercerita oleh orang lain. Ia dengan senang hati berkenan membantu.

“Karena kan itu juga bakal meringankan (beban pikiran) mereka gitu,” jawab Adhitya terkait alasan dari sikapnya itu.

UPT LBK UNY sebagai pelayan konseling mahasiswa UNY juga aktif di platform sosmed dengan membuat konten siniar di YouTube, Instagram, dan mengadakan seminar nasional maupun internasional.

Siniar edisi “Taylor (Tanya Konselor)” terbaru mereka berjudul “Luka Dibalik Stereotipe ‘Anak Bonus’” telah tayang dengan jumlah penayangan kurang dari seratus pemirsa. Angka yang cukup kecil bagi UNY, yang tahun ini saja menerima sekitar 2.334 mahasiswa baru.

Hal ini mengindikasikan masih banyak mahasiswa UNY yang belum mengetahui adanya layanan ini. Spektrum jangkauannya belum optimal dan perlu dimasifkan lagi agar lebih banyak lagi mahasiswa UNY yang merasakan dampak positifnya.

Penulis: Elshinta Ryzty

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *