Gambar diolah dari Unsplash
Bagi masyarakat miskin, bicara soal cita-cita adalah pamali. Bocah-bocah enggan bercita-cita menjadi guru, dokter, tentara ataupun polisi. Mereka cukup sadar diri; cita-cita itu butuh pendidikan dan uang. Sedangkan, yang mereka punya cuma keberanian—lebih tepatnya kenekatan. Impian mereka cukup menjadi orang yang disegani. Dan satu-satunya cara untuk disegani adalah dengan kekerasan dan anarki.
Aku seorang bajingan dan aku tak akan pernah terkalahkan!
***
Awal pembagian kelas aku tidak ambil pusing. Tak peduli siapa saja yang akan jadi teman sekelasku selama Andi, teman SD-ku, kembali menjadi teman kelasku di kelas 7. Aku dan Andi sepakat, sebagai tuan rumah (lokasi sekolah ada di desa kami) kami akan meraih supremasi di sekolah ini.
Hari Senin, waktu pertama kali masuk sekolah, aku masih memakai seragam merah-putih karena, kata Ibu, seragam SMP-ku belum selesai dijahit. Aku tahu Ibu sedang berbohong karena baru hari Minggu kemarin Bapak bilang kalau belum ada uang untuk beli seragam. Ya begitulah keluarga. Bapak selalu bicara tentang fakta, sementara ibu selalu menyampaikan apa pun agar anaknya tidak putus harapan.
Kemarin, Andi juga sudah aku bilangi supaya memakai seragam SD untuk menemaniku dan dia mengiyakan. Tapi, hari Senin ini, dia malah memakai seragam SMP. Memang bangsat kawanku satu ini.
Aku dan Andi berangkat sekolah berjalan bersama menyusuri hutan. Tenang saja, cerita ini tidak seperti cerita perjuangan bapak-bapak zaman dulu yang, untuk berangkat sekolah saja, harus membelah hutan, menyebrangi sungai, mendaki gunung, dan berduel satu lawan satu dengan harimau jawa.
Kami beruntung tidak perlu melewati kesulitan-kesulitan semacam itu. Cukup dengan berjalan kaki lima menit saja, kami sudah sampai ke sekolah. Hanya saja, karena tinggal di belantara Alas Roban, rimbun pepohonan dan belukar semak jadi rute tercepat kami agar bisa sampai ke sekolah.
Begitu masuk gerbang utama, semua mata seperti memelototiku; melihat betapa anehnya anak SD masuk kawasan sekolah SMP. Putih-merah di antara ratusan putih-biru menjadikanku sedikit malu, tapi selama mereka tidak menghinaku, aku akan diam saja. Aku yakin tidak mungkin ada anak perempuan yang menghinaku, yang paling mungkin mencemooh adalah anak laki-laki.
Kami berjalan menuju kelas sambil diam-diam melirik kanan-kiri; memastikan jika ada anak laki-laki yang berani mengejekku, aku akan langsung memukulinya, persetan dia teman satu angkatan ataupun kakak kelas. Lagi pula, kawanku Andi pasti akan membelaku. Andi tak pernah kalah jika duel satu lawan satu. Rekornya mirip denganku, hanya saja jam terbang Andi lebih ngeri.
Berkelahi memang sudah menjadi kebiasaan kami. Masih jelas dalam ingatan, kami mulai mengenal perkelahian saat duduk di kelas 4 SD. Waktu itu, aku, Andi, dan Anjas adalah tiga serangkai. Triumvirat biang kerok yang gemar gelut dengan anak dari sekolahan lain.
Sayangnya, Anjas tak lagi bersama kami. Dia dipondokkan paksa oleh bapaknya. Biar sembuh nakalnya, katanya.
Dulu, kami bertiga sering tawuran dengan anak SD sebelah yang lebih banyak pasukannya. Ini bukan sekadar perkelahian anak-anak dan bukan pula tawuran pengecut yang beraninya main lempar-lemparan batu dan kayu. Daripada itu, kami lebih suka mengajak duel satu-lawan-satu di ring alam (hutan).
Bahkan, saat ada acara Pramuka semacam “Pesta Siaga” tingkat kecamatan, kami akan menjelajah dari tenda ke tenda di bumi perkemahan, hanya untuk mengetes nyali anak-anak dari sekolah lain yang tak pernah kami kenal sebelumnya.
Singkatnya, selama tiga tahun itu, kami tak terkalahkan. Namun, rekor ini mungkin akan tercoreng oleh Anjas yang harus tunduk kepada ustaz dan santri senior di pondoknya sekarang. Bah! Malang nian nasibmu, Njas!
Hari pertama sekolah, aman; tidak ada perkelahian. Aku masuk kelas, bersiap memilih bangku paling belakang. Andi membuka pintu dan aku terdiam, ada dua cewek yang sudah duduk di bangku paling depan dekat meja guru. Salah satu cewek itu tertawa kecil dengan menutup mulut, sembari mengajak kawannya untuk melihat ke arahku.
Aku membisik kepada Andi.
“On, anak itu menertawaiku. Apakah aku harus menghajarnya?” (O’on adalah panggilan Andi di kampung).
“Kau ini gila yaa? Ini hari pertama sekolahmu dan kau sudah mau memukuli sorang perempuan?”
Aih, tiba-tiba teman berengsekku ini menjadi bijak, saudara-saudara! Padahal, dulu di kelas 5, dia sempat menantang duel guru matematika wanita untuk berkelahi, benar-benar gila. Itulah sebabnya sampai sekarang dia dipanggil O’on yang artinya bodoh bin goblok bin tolol.
Anehnya, teman sebangkunya itu tidak tertawa. Dia memandangku dengan nuansa welas asih sebelum menunduk kemudian. Dia menyuruh temannya untuk tidak cengengesan. Sepertinya, dia tipikal gadis yang sifat dan emosinya bisa bersikap dewasa walaupun ini hari pertama masuk SMP.
Aku dan Andi memilih duduk di bangku paling belakang dekat dengan jendela. Selama pagi itu, aku tidak mau berdiri hingga wali kelas masuk.
Pukul setengah delapan, wali kelas masuk. Ibu guru itu berpidato sedikit dan menjelaskan kalau kelas ini adalah kelas 7F. Lalu, dia mengabsen satu-satu. Seperti biasa, aku (Abe) dan Andi bernomor absen 1 dan 2 karena mengacu pada sistem penomoran alfabetik.
Mendengarkan guru mengabsen, aku lalu tersentak dan segera menggapai pensil dan buku. Aku mengingat urutan angka dan mengamati seisi kelas yang mengangkat tangan satu demi satu, sembari bertanya-tanya siapa nama gadis baik hati itu.
Kemudian tiba di nomor 20. Nama “Inggit Mawar Arumi” diabsen dan gadis itu mengangkat tangan. Kulitnya putih lembayung. Samar dari kejauhan warna hijau dan biru, itu adalah arteri dan nadi yang mengakar pada tempurung tangannya. Rambutnya sehitam tinta pena, lurus memanjang. Ada bando merah jambu di atas kepala sebagai asosoris pemanis.
Pendek kata, dia cantik.
Anjing! Aku jatuh cinta!
Kutulis dengan tergesa-gesa namanya di halaman pertama buku tulis, nama perempuan yang menaruh mata welas padaku itu.
“Kamu menulis nama perempuan itu ya? Untuk apa? Lama-kelamaan kau juga kenal,” kata Andi dengan menyenggol sikutku saat menulis nama anak perempuan itu.
“Berengsek kau, On! Kecoret ini jadinya!” sahutku dengan marah.
Aku tidak mau di namanya ada coretan apa pun. Lagi pula, namanya adalah tulisan perdanaku di bangku SMP.
Pertama sekolah aku hanya bawa buku dan pensil, aku tidak punya penghapus. Kemudian aku ingat sebelum berangkat sekolah, ibuku memberi karet gelang pada kaos kakiku yang terus melorot jika diajak berjalan. Kucopot sepatuku sebelah, ku ambil karet gelang itu, lalu kupasangkan pada ujung pensil yang panjangnya tinggal seperempat ini. Kuhapus coretan Andi.
Ibu guru melihatku, disangka aku anak rajin sebab aku satu-satunya anak yang mengeluarkan buku dan pensil. Karena malu aku langsung menutup buku, dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kupasang kembali karet gelang di kaos kaki dan kupakai lagi sepatuku.
Wali kelas pun bilang hari pertama masuk kelas ini adalah hari bebas. Kami diberi kesempatan untuk saling kenal mengenal teman satu kelas. Namun, daripada itu, aku mengajak Andi untuk minggat, melompat pagar di samping kelas, di dekat WC siswa.
“Tak perlu saling kenal mengenal, lama kelamanaan kau juga kenal,” ungkapan si Andi tadi aku lemparkan lagi kepadanya karena dia susah diajak minggat.
“Yaudah, daripada nanti kau ngamuk karena ada yang menghina, mending kita pulang saja,” balas Andi.
Tanpa perlu menjelaskan, Andi sudah tahu maksudku mengajaknya minggat.
Tak terasa dua tahun berlalu. Waktu yang cepat jika dilalui hanya dengan duduk bengong di barisan belakang. Hari demi hari berganti, tak pernah kubayangkan bahwa bukan hari Minggu yang kutunggu-tunggu. Aku benci hari Jumat dan ketika libur, aku ingin cepat-cepat hari Senin.
Beberapa kali aku dan Andi terlibat masalah dengan kakak kelas, yang selalu kami selesaikan dengan perkelahian di belakang sekolah. Masalahnya hanya persoalan sepele, kadang ada kakak kelas yang melototi Andi. Aku tidak terima lalu kuajak berkelahi.
Ada pula masalah saat kami main sepulang sekolah. Saling meledek di jalan, aku tandai orangnya, besoknya kami datangi kelasnya, Andi menghajarnya di tempat. Perkelahian ini yang kami maksudkan untuk meraih supremasi. Aku dan Andi ingin jadi orang yang disegani.
Teman-teman kelasku sudah tidak kaget lagi jika setelah istirahat seragamku yang putih jadi banyak noda coklat tanah, termasuk Inggit yang lama-kelamaan memaklumiku sebagai bocah liar saja.
Biasanya sepulang sekolah setelah aku berkelahi, Inggit tiba-tiba berada di sampingku saat aku berjalan lalu berkata, “Mbok wis rausah gelutan terus!”. Setelah mengatakan itu, jalannya dipercepat meninggalkanku. Itu dia katakan selalu setelah aku berbuat onar. Lagi, lagi, dan lagi. Karena aku kepala batu, aku tak pernah peduli perkataannya.
Selain itu, Inggit juga heran dengan aku. Aku bocah berengsek, tapi memiliki prestasi belajar yang lumayan bagus. Inggit ranking 2 di kelas, sedangkan aku ranking 4. Pernah sekali aku ranking 1 dan dia runner-up.
Masa bodoh Inggit heran padaku, tapi aku memang sering meminjam diktat miliknya. Mungkin dikiranya aku berprestasi karena selalu pinjam bukunya.
Kalau datang jam istirahat dan sedang malas berbuat onar, aku menghampiri Inggit di mejanya dan duduk di bangku sebelahnya. Sembari melamuninya, aku jadi sadar. Ternyata nyaman itu bukan tentang duduk di barisan depan atau belakang, tetapi tentang siapa yang duduk di samping kita.
Dan jujur, aku menyesal selama dua tahun ini cuma duduk bersama Andi.
“Nggit, kamu tadi nulis kan? Boleh aku pinjam diktat IPA-mu? Aku belum nyatet apa pun,” ujarku dengan tak sedetik pun aku berkedip.
“Tumben kamu nggak istirahat, Be? Kamu nggak nyari masalah lagi po?” balas Inggit dengan senyum sinis. Biar begitu, entah bernada sinis atau bukan, senyumnya tetap sama manisnya buatku.
“Hehe,” jawabku sembari menggaruk kepala entah mengapa. “Boleh kan tapi?”
“Ini boleh aja, tapi kenapa kamu sering nggak nyatet sih? Bukuku aja udah ada tiga yang kamu bawa pulang,” sahutnya cemas kalau-kalau aku menghilangkan diktat miliknya.
“Aku tadi ketiduran makanya nggak sempat nulis,” jawabku sekenanya.
Aku kehabisan alasan. Kemarin, alasanku lupa tidak bawa buku. Alasan lainnya, yang tak kalah klise, karena guru telah menghapus catatannya di papan tulis. Aku tahu semua ini adalah alasan palsu. Lagi pula, aku meminjam buku catatan miliknya tidak ada niat untuk menyalin.
Selama ini, aku membawa pulang bukunya hanya karena senang saja membaca tulisan tangannya. Namun, tanpa aku sadari, aku mengulang kembali apa yang sudah disampaikan guru di kelas. Dan karena Inggit, kurasa belajar itu cuma bonus.
Inggit bilang ada tiga diktat yang aku pinjam, padahal seingatku cuma dua. Ah, sial, di mana yang satunya ya? Mana belum kusalin pula.
Oh, mungkin buku itu tergeletak di atas kasur tanpa seprai di kamar lusuhku. Atau mungkin saja terselip di kolong tempat tidur.
“Hey, bukuku kamu jaga kan, Be?” pekik Inggit membangunkan lamunanku.
“Ada kok. Besok Senin aku kembaliin. Janji!” sahutku coba menenangkan Inggit. Cuih, mulut dusta ini bisa-bisanya bilang janji.
Aku sangat merasa bersalah padanya. Jika bukunya aku bawa, dia tidak bisa belajar di rumah. Padahal, sebagaimana umumnya, anak perempuan cenderung lebih kompetitif untuk berprestasi secara akademik.
Aku termenung. Sepecundang itukah aku, hanya berani meminjam bukunya?
Sampai di rumah, kucari mati-matian buku itu, dan Senin nanti, akan kutepati janjiku untuk mengembalikannya. Setelah itu, aku tak akan meminjam dan membawa pulang bukunya lagi.
***
Hari Senin pun tiba. Aku tidak berangkat sekolah, aku bolos karena sakit. Padahal aku janji untuk mengembalikan buku. Tapi aku yakin Inggit pasti memaklumi.
Esoknya, aku bersemangat berangkat sekolah. Tiap hari aku biasanya berangkat bersama Andi, tapi kali ini kutinggalkan dia. Kutunggu-tunggu di depan kelas hingga bel berbunyi belum muncul juga batang hidungnya. Lalu, kuputuskan untuk menunggunya di dalam saja.
Duduk di bangku, kuamati teman-teman semua sibuk cerita sendiri, dengan topik yang sama: lelayu.
“On, Inggit kok nggak berangkat, ya? Kenapa juga semua anak bercerita tentang hal yang sama hari ini?” tanyaku.
“Be, Inggit tidak akan pernah berangkat sekolah lagi. Dia kemarin tiada. Kemarin, kami sekelas bareng-bareng melayat ke rumahnya,” jawab Andi.
“Bajingan kau, On! Kenapa baru bilang sekarang! Kemarin sore kau kan main ke rumahku!” teriakku pada Andi dengan menarik kerah bajunya, membuat suasana kelas menjadi hening seketika.
“Sori, Be, kemarin aku tak berniat memberitahumu. Aku hanya berniat menjengukmu dan enggan memberimu kabar buruk karena kamu juga sedang sakit,” jawab Andi dengan tatapan penuh bersalah padaku. Aku pun meluruhkan cengkeramanku dari kerahnya.
“Sepulang sekolah kau harus antarkan aku ke kuburannya, On!”
“Mau apa kau dengan kuburannya?”
“Mengembalikan buku catatannya,” jawabku berusaha tegar.
Setelah asar kami langsung ke kuburan kampungnya Inggit. Andi tak tahu di mana Inggit disemayamkan karena kemarin hanya melayat sampai di rumah duka saja. Puluhan nisan aku bacai satu-satu. Kucari-cari mana kuburan yang masih segar tanah dan taburan mawar-melatinya. Dan akhirnya…
Inggit Mawar Arumi
binti Sulaeman
Ketemu! Pekikku dalam hati mendapati hanya namanya di nisan yang kini bisa kupandang. Tidak akan ada lagi binar matanya yang tulus. Gadis jelita yang rajin memarahiku telah pergi untuk selamanya. Alasan-alasan klise meminjam diktat sudah tak berguna lagi.
Dari Andi kemudian aku tahu bahwa Inggit meninggal dunia karena komplikasi tifus, demam berdarah, dan gastritis (radang lambung). Keluarganya tidak ada dana untuk membawanya ke rumah sakit hingga akhirnya dia tiada.
Aku rasa Inggit meninggal bukan karena komplikasi penyakit, melainkan dibunuh oleh kemiskinan.
“Buku yang kubawa tak jadi kukembalikan, Nggit. Kupikir-pikir aku akan menyimpannya saja daripada buku ini rusak atau hilang di sini. Aku pulang dulu…” gumamku sembari mengelus nama indah yang terlukis di nisan itu.
Inggit telah meninggal dunia. Aku kehilangannya. Karena tiadanya, ketimbang bertobat dari perkelahian, aku malah ingin terus memacu diri. Semua lelaki kemaki yang aku temui ingin aku pukuli bahkan hingga SMA nanti.
Sialnya, begitu duduk di bangku SMA, aku malah dipilih teman-teman untuk dijadikan seksi keamanan kelas. Dan anehnya, selama 3 tahun berturut-turut hingga aku lulus SMA, jabatan itu selalu melekat padaku.
Mungkin, dengan begitu, aku tidak akan berbuat onar. Bukankah ini strategi politik yang hebat?
Sehebat rezim di negeri ini yang merangkul seluruh oposisi menjadi koalisi. Cuih!
Atau kemungkinan lain, memang oleh Inggit di sana….
…aku disuruh berhenti berkelahi.
***
“Ngono, Mbok, ceritaku dulu pas SMP,” ujarku pada penjual warung kecil di belakang terminal Pasar Subah sembari bernostalgia ketika melihat anak-anak SMP seliweran berangkat sekolah naik angkot.
“Lha saiki Mas Andi lan Mas Anjas, kancane SD sampean, padha ning endi, Mas?” balas Mbok Atun menanyakan kabar dua kawan dekatku itu.
“Andi sudah mati, Mbok, dua tahun lalu karena gegar otak. Kalau Anjas, sekarang di bui, sudah 6 tahun. Dia dipenjara karena membakar hidup-hidup salah satu anak pondok sampai mati. Katanya sih karena mencuri uangnya.”
“Kok yo ngeri tenan to, Mas,” balas Simbok merasa seram sendiri.
“Dari dulu kami memang seperti bajingan kecil, Mbok,” jawabku singkat setelah gemplong terakhir kutelan dan rokok kutukas.
“Ya wis, sampun, Mbok. Kula kopi ireng siji, gemplong siji, ambi rokok Surya-ne juga siji. Pira?” Kataku sembari mengabsen menu apa saja yang sudah kumakan.
“Telu… siji… ro loro. Dadine enem, Mas,” jawab Simbok sambil menghitung total harga dari menu sarapanku pagi ini. Semuanya habis enam ribu rupiah.
Aku menggapai dompet dari saku belakang celana jinku. Nahas, tak selembar pun rupiah kudapati. Yang tampak hanya sebuah pasfoto 2×3 remaja berseragam SMP.
Inggit Mawar Arumi
Aku masih mengingatmu, Nggit. Dalam kerontang dompetku ini, mungkin hanya potret kecil wajahmu yang paling berharga.
“Dicatet wae ya, Mbok. Aku rung gableg duit. Sesok nek wedusku wis payu, tak saur,” kataku terpaksa berutang lagi. Hanya kambing seekor itu yang bisa aku jadikan jaminan dari lambe lamis ini.
“Iyo, Mas Abe,” jawab Mbok Atun, seperti biasanya.
Mbok Atun memang selalu berbaik hati padaku. Entah hingga berapa baris cacatan utangku di warung kecil itu. Dia tak pernah marah dan menagih. Mungkin dia kasihan padaku karena sekarang aku cuma hidup berdua dengan adikku.
Bapak dan ibu sedang mengukir langit di surga.
Penulis: Ade Listanto
Penyunting: Lindu A.