Malaikat Beraroma Sampah

Sumber gambar: Pixabay

Cadel bingung kenapa ruh betah betul di tubuh orang miskin. Dia pernah ditabrak truk. Jantungnya berdegup kencang. Hampir saja dia kira akhirat beraoma sampah, ditambah sedikit bau gosong asap kendaraan. Dia tidak tahu bagaimana, saat membuka mata, tubuhnya sudah ada di bawah badan kendaraan pengangkut sampah. Sial, tubuh kurusnya malah membuat dia selamat. Dia cuma bisa termenung melihat roda truk menggilas karungnya. Isi karungnya berhamburan ke jalan. Rongsokan yang Cadel kumpulkan sejak subuh jadi sia-sia.

Sudah tiga minggu ini Cadel kena tipes. Rasanya lebih parah ketimbang hampir mati ditabrak truk sampah. Bibir keringnya tertutup rapat, menyembunyikan doa berupa permintaan untuk mati. Matanya yang tak pernah dipakai belajar membaca cuma bisa menatap ke arah plafon rumah. Dia tak paham apa pun, kecuali siapa manusia yang ia lihat pada lembar spanduk tepat di atasnya.

Mustahil Cadel tak ingat. Dia paling heboh baris di depan tatkala rombongan dengan spanduk datang ke lingkungannya. Cadel hanya perlu senyum saat foto dan melafalkan ucapan terima kasih ketika direkam, setelah itu dua kantung sembako dan sebuah amplop jadi hak milik. Dia tak hanya menjual senyum. Dia juga nekat adu pukul dengan Gento, demi spanduk untuk atap rumahnya.

“Halo, Pak Cadel,” sapa seorang pria, namanya Ki Abis.

Dia bukan aki-aki, tapi memang begitu panggilannya. Hari ini setelah mengambil sampah-sampah dari rumah warga dia pergi ke tempat Cadel. Ia masuk ke rumah Cadel, duduk tepat di samping Cadel yang terbaring lemah.

“Mobilnya sudah datang, ayo kita ke Rumah Sakit,” jelas Ki Abis.

Cadel tersenyum, kulit bibirnya yang kering jadi seperti gambar spanduk yang mengelupas, sebab terlalu sering kena hujan dan terik matahri yang panas. Tubuh lemahnya diangkut Oleh Ki Abis. Andai saja yang mengangkut tubuhnya adalah pria di spanduk, sudah pasti bukan aroma sampah yang dia hirup. Perlahan tubuh Cadel ke luar dari rumahnya, dia sedikit malu mesti dibopong oleh Ki Abis.

“Orang miskin dilarang sakit, Del!” teriak Gento menyambut tetangganya yang sudah dua minggu lebih tidak dia lihat. 

“Lihat! Inilah mobil yang dinaiki orang miskin sekarat,” seru Gento sembari membuka kancing pintu dari gerobak besi yang terkait di motor Ki Abis. Cadel dibaringkan di sana, lalu ditutup jarik tipis yang sedari tadi sudah menggantung di leher Gento.

“Kamu tidak ikut, Gen?” 

“Ah, tidak usah, Ki. Nanti kabari saja kalau orang ini ditolak Rumah Sakit. Biar aku siapkan lubang kuburnya,” timpal Gento.

“Ya sudah, kalau gitu tolong gantikan aku mengajar membaca, jangan sampai sekolah kita libur,” pinta Ki Abis, ia teringat dengan Sekolah Marjinal yang sudah sebulan ini beroperasi. Berdiri di kawasan kampung pemulung, tempat Cadel dan Gento tinggal.

“Tidak mau, kalau belajar mengumpat atau mulung aku siap jadi guru, jadi Kepala Sekolah pun aku sudi,” tolak Gento lalu dibalas senyum dan gelengan kepala Ki Abis.

“Oiya, aku nyaris lupa. Cadel, aku rasa sakitmu itu gara-gara spanduk. Tanpa kau sadari tubuh jelekmu terus menagih janji orang yang kau lihat tiap berbaring. Tubuhmu yang minta dikasih identitas, dikasih makan, dan dikasih pekerjaan layak,” terus terang Gento.

Cadel yang menyimak tersenyum. Tenaganya tidak ada, kalau ada sudah dia pukul mulut Gento. Namun, dia urung, bisa jadi hari ini dia betulan mati kalau kepalan tangannya menghantam mulut Gento. Cadel tahu, pemulung sekaligus preman itu tak akan mengalah dua kali, seperti kemenangan Cadel soal spanduk.

Ki Abis menyalakan mesin motornya. Gerobak besi yang dikaitkan di belakang bergetar. Getaran yang sama kerasnya dengan suara mesin motor. Getaran itu membuat kepala Cadel yang pusing makin tak karuan. Suara mesin motor menggeram melewati jalanan kampung pemulung yang sedikit menanjak dan tak rata. Getaran jadi makin terasa, membuat Cadel meringis kesakitan.

Baru setelah keluar dari jalan kampungnya, Cadel merasa lega. Jalan raya yang mulus membuat perjalananya lebih nyaman. Dia ingin sekali memejamkan mata dan tertidur, tapi terik matahari membasmi kantuknya. Dalam hati, Cadel berharap untuk pingsan. Dia mengeluh, kenapa orang miskin tak mudah hilang kesadaran. Susah betul bagi Cadel untuk pingsan, untuk mati lebih susah lagi. Kalau nyaris mati atau sekarat Cadel bisa.

Sudah dua puluh menit Cadel berbaring di atas gerobak yang membawanya ke Rumah Sakit. Dia merasa pegal di bagian mata karena terus terpejam tanpa tertidur. Pelan-pelan ia paksa otot lehernya yang lemas menggiring kepalanya ke samping. Akhirnya, mata Cadel bisa dibuka dengan kondisi yang lebih nyaman.

Posisi kepala Cadel dekat dengan kancing pintu gerobak. Saat dia membuka mata dengan posisi kepala miring, matanya masih bisa menangkap bagian tubuh Ki Abis. Dia heran kenapa Ki Abis mau saja repot-repot, pura-pura tidak tahu tentu lebih mudah. Ki Abis memang ahli dalam ikut campur.

Cadel mengalihkan pandangannya. Dia menatap ke tepi jalan, melihat tiang-tiang panjang yang menompang berbagai macam spanduk. Dia tak tahu di mana tiang itu menancap, entah di paving trotoar atau di tanah lahan hijau jalan raya. Dia tidak peduli. Dia hanya fokus melihat berbagai iklan di spanduk. Dia tak bisa baca, tapi paham apa saja yang dia lihat. Ada iklan tempat tinggal, tempat liburan, sampai tempat pendidikan. Ada juga iklan soal air, di sana ditampilkan dua bocah berkulit hitam yang sedang meringis bahagia. Di bagian belakang anak-anak itu terlihat gambar pegunungan sebagai simbol mata air.

Melihat iklan air di spanduk jalan, membuat Cadel ingat dengan spanduk di rumahnya. Spanduk yang datang bersama orang-orang pemberi janji ini itu. Janji membangun saluran air, salah satunya. Janji yang enam bulan lalu resmi tak dipenuhi, sebab telah diambil alih oleh Ki Abis. Cadel jadi ingat, hari itu Ki Abis datang dengan sebuah gambar dan tiga orang ahli pipa. Setelah hari itu, kampung pemulung tempat Cadel tinggal jadi punya sumber air.

Usai tiga puluh menit perjalanan, mereka sampai di Rumah Sakit. Awalnya sempat dihadang satpam, tapi setelah Ki Abis menelpon seseorang, mereka akhirnya bisa masuk. Ki Abis tersenyum. Di dalam Rumah Sakit, Ki Abis kembali menelpon orang, kali ini sampai tiga kali untuk membuat Ki Abis kembali tersenyum. Setelah itu, Cadel yang tak punya KTP pun dapat perawatan. Ditambah Cadel, sudah enam orang dari kampung pemulung yang bisa di rawat di Rumah Sakit berkat Ki Abis.

Sudah seminggu Cadel di rawat di Rumah Sakit. Andai bisa, dia ingin dirawat selama-lamanya di sana. Dengan begitu dia bisa tidur di alas yang empuk, dan dapat makanan secara rutin, meskipun dengan rasa yang hambar. Tapi hari kepulangannya sudah tiba.

Ki Abis datang menjemput Cadel. Kali ini dengan motor tanpa gerobak. Di perjalanan Cadel membisu, dia bingung mesti bilang apa. Dia mau berterima kasih, tapi tak tahu rangkaian kalimat yang pas. Sampai di depan rumahnya pun Cadel hanya bisa manggut-manggut dan memberi Ki Abis senyuman.

“Saya titip motor di sini ya, Pak Cadel?” izin Ki Abis.

“Oh, ya, boleh, Ki.”

“Saya mau ke sekolah, mau ngajar,” jelas Ki Abis.

“Sekolahannya masih buka?” tanya Cadel.

“Tentu, Pak Cadel kan sudah ikut repot memasang asbes, mana mungkin baru sebentar langsung tutup.”

“Hehehe, ya buat kampung sendiri, Ki. Aku kira sudah tutup, habis aku ragu,” timpal Cadel dengan pelafalan huruf ‘r’ yang buruk.

Setelah percakapan singkat itu, Cadel mengekor di belakang Ki Abis. Dia ikut ke sekolah yang dibangun di bagian paling belakang kampung pemulung. Dia melihat tiga belas orang duduk di sana, mayoritas anak-anak. Para orang dewasa pasti lebih memilih mulung ketimbang belajar alfa dan beta. Anehnya, Cadel melihat Gento yang duduk di barisan depan paling pojok. Preman itu tertarik belajar rupanya, padahal dulu menentang pembangunan sekolah.

Ki Abis berjalan ke bagian depan, dia berdiri tepat di depan papan tulis. Memulai kegiatan belajar yang ditunda lantaran harus menjemput Cadel di Rumah Sakit. Dua jam berlalu. Kelas dibubarkan. Anak-anak buru-buru ke luar; sebagian ingin segera bermain, sebagian lagi hendak menyusul orang tua mereka ke pengepul.

Tersisa Gento, Ki Abis, dan Cadel. Tanpa ragu, Cadel berjalan ke depan. Dia melirik ke arah Gento yang tertunduk menghadap buku di pangkuannya. Samar-samar Cadel bisa mendengar suara Gento yang lancar membaca. Suara itu membuat Cadel makin semangat menghampiri Ki Abis. 

Sekarang Cadel berdiri di dekat Ki Abis yang tengah menghapus papan tulis. Sejak dulu Cadel sudah menaruh curiga dengan Ki Abis. Dia tak percaya, orang yang pernah jadi mahasiswa itu cuma tukang ambil sampah. Kecurigaanya makin menjadi tatkala tiga janji yang sering digaungkan para calon pejabat dipenuhi oleh Ki Abis. Janji-janji itulah yang disusun oleh partai-partai, agar jagoannya bisa dipercaya sebagai kaum intelektual yang paham kondisi negeri, kemudian dapat suara terbanyak.

“Ki Abis, kau mau nyalon jadi pejabat, ya?” seru Cadel. Ki Abis terkejut lalu menoleh ke arah Cadel.

“Hah, gimana maksudnya, Pak?”

“Ngaku saja, tak perlu bayar, namamu bakal langsung aku coblos,” ujar Cadel. Dalam hati dia berpikir, suaranya bisa membalas kebaikan Ki Abis.

“Tidak, Pak Cadel. Kalau pun iya, partai mana yang mau ajak tukang sampah yang juga mantan napi seperti saya?”

Penulis: N. Hanum

1 Response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *