Sumber gambar: Dokumen penulis.
Identitas Buku
Judul: Black Beauty
Pengarang: Anna Sewell
Penerjemah: Linda Boentaram
Penerbit: Gagasmedia
Tebal: 326 halaman
Tahun Terbit: 2013
*
Saya membeli novel klasik berjudul Black Beauty ini di sebuah bazar buku sekitar lima bulan lalu cuma seharga setengah liter bensin. Namun, baru minggu kemarin saya bisa tuntas membacanya. Dan benar saja, selembar goceng itu sama sekali tidak seberapa dibandingkan muatan pesan-pesan yang dikandung novel bersampul depan kuda hitam ini.
Membaca Black Beauty seperti sedang menyimak diari seekor kuda, sedari ia masih kecil sampai dewasa. Dan karena Anna Sewell menulis novel ini dengan menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu seekor kuda pada zaman Victoria, kita seakan disihir bahwa novel ini memang benar-benar ditulis oleh seekor kuda. Dan andai saya membayangkan seekor kuda bisa menulis, saya akan benar-benar percaya bahwa novel ini adalah otobiografi si Black Beauty itu sendiri.
Alur Cerita
Sumber gambar: Behance
Novel dibuka dengan penggambaran latar tempat tinggal, deskripsi anggota keluarga, hingga rutinitas keseharian Black Beauty kecil. Seekor kuda jantan hitam legam dengan tanda bintang putih di dahinya. Sepanjang cerita, Black Beauty berpindah-pindah rumah dan pemilik.
Secara keseluruhan, Black Beauty sudah sembilan kali berpindah-pindah tempat tinggal. Sejak dari istal pertama tempat ia dilahirkan, pindah ke Birtwick Park bersama keluarga Hakim Gordon, diasuh Lady Anne, seorang bujangan bernama Barry, Jerry Barker yang humoris dan periang, Jakes si penarik kereta kuda, Nicholas Skinner yang keji, hingga ke pelukan Kakek Thoroughgood dan cucunya Willie, sebelum kembali pulang ke Birtwick Park.
Black Beauty lahir dari keturunan silsilah peranakan kuda yang baik dan dibesarkan dengan perlakuan yang baik pula.
Nama Black Beauty diberikan oleh istri majikan keduanya, yakni Nyonya Gordon. Ia merupakan istri dari Hakim Gordon. Dan di Birtwick Park inilah Black Beauty bertemu kuda baru yang menjadi kawannya, yakni Merrylegs dan Ginger.
Bersama Ginger, ia hampir saja meregang diri jadi kuda panggang andai saja si kusir John Manly dan si pengurus istal James Howard tidak cekatan menyelamatkan mereka dari kobaran api ketika sedang transit malam hari di tengah trip panjang.
Tak lama setelah kejadian itu, James Howard pindah ke Clifford Hall dan posisinya digantikan Joe Green yang umurnya masih 14 tahun. Usianya masih belia, tapi ia cepat belajar dan segera mampu menggantikan peran James di Birtwick Park. Black Beauty dirawatnya dengan penuh perhatian dan keakraban di antara mereka segera terjalin.
Namun, ketenangan itu segera berujung. Kehidupan Black Beauty mulai berubah sejak ia pergi dari Birtwick Park; istal yang sudah menjadi rumahnya selama tiga tahun terakhir. Menurunnya kesehatan sang pemilik, Hakim Gordon, membuat keluarganya menjual rumah dan segala asetnya lalu memutuskan meninggalkan Inggris demi menjalani pengobatan di luar negeri.
Ginger dan Black Beauty kemudian dijual ke teman lama Hakim Gordon, Mr. Earl of W, di Earlshall Park. Sementara itu, Merrylegs dihibahkan kepada seorang pendeta, sepaket bersama Joe Green yang akan bekerja di sana merawatnya.
Di Earlshall Park, Ginger dan Black Beauty, ia diasuh oleh Lady Anne. Ia adalah putri majikan yang tahu banyak tentang kuda. Ia memanggil Black Beauty dengan nama baru: “Black Auster”. Sayangnya, ia dijaga oleh penjaga istal yang ceroboh bernama Reuben Smith.
Suatu malam, dalam keadaan begitu mabuk, Reuben memacu Black Beauty dengan sangat ngawur. Dipaksanya kuda itu berlari sekilat mungkin di atas medan yang terjalnya bukan main. Black Beauty dipecut secara brutal agar menerabas jalanan berbatu tanpa sepatu hingga kuda itu letih dan kemudian ambruk. Reuben pun terhempas begitu keras ke tanah. Nyawanya tak tertolong. Reuben Smith meninggal di tempat, dan Black Beauty harus menderita cacat lutut.
Ginger, kawannya, juga bernasib serupa. Keduanya turun derajat dan dilego. Black Beauty lebih dulu dilepas ke seorang bos perusahaan taksi kuda bernama Nicholas Skinner.
Dari sinilah Black Beauty kemudian bertransformasi ke beragam “profesi”. Mulai dari kuda sewaan, kuda taksi, hingga kuda “pekerja rodi”. Ia pun jadi menghadapi beragam tipe-tipe pengendara kuda. Dari yang penyayang, pragmatis, sampai psikopatik.
Begitulah hari-hari mengenaskan Black Beauty berlangsung. Hingga suatu hari, ia kembali dipertemukan dengan Joe Green pada suatu momen tak terduga untuk kemudian kembali bersama-sama lagi. Pertemuan kembali yang sekaligus menjadi akhir cerita.
Dunia Kuda sebagai Bungkus Nilai-Nilai Kebajikan
Sumber gambar: Behance
Jika kamu membaca buku ini dengan sedikit rasa “curiga”, kamu akan sadar bahwa novel ini bukan hanya cerita seekor kuda semata. Ini adalah sentilan-sentilan nalar kemanusiaan yang bersemayam dalam alegori semesta kuda.
Isu mengenai feminisme dan dunia mode—juga standar kecantikan—ikut disinggung di sini. Itu bisa kamu rasakan saat alur cerita sampai pada pengisahan kuda tua bernama Sir Oliver yang mengisahkan ulang pengalaman menyakitkannya ketika ekor panjangnya yang indah, dipangkas dengan kejam sampai melukai bagian tulang dan daging tubuhnya demi menjadi “cantik”.
Tentang agama dan cinta juga disisipkan melalui penuturan tokoh seorang kusir yang bijak bernama John Manly berikut ini:
John Manly juga menentang keras paradigma yang membenarkan egosentrisme secara brutal. Tokoh lain, Gubernur Gray misalnya, juga turut menuturkan pesan khusus saat ia sedang menasihati tokoh Larry yang berkarakter picik.
Selain seperti membaca diari yang ditulis seekor kuda, membaca novel ini adalah sebuah satire humanis yang dibungkus dengan apik dan menggugah. Sebagaimana penuturan penulisnya sendiri, Anna Sewell, ia mengungkapkan bahwa novel ini ditulis semata-mata untuk memperkenalkan cara merawat kuda dengan kebaikan dan penuh kasih sayang sebagai sesama makhluk hidup.
“Kuda itu seperti manusia juga. Kalau kita berbuat baik padanya, ia pun akan berbuat baik pada kita.”
“Ya, kuda itu seperti manusia juga. Meskipun engkau telah membesarkannya, dia sampai hati menyepak.”
Dua kutipan Kuntowijoyo dalam salah satu cerpennya itu kiranya juga senada dengan pesan utama Anna Sewell dalam novel ini yang disimbolkan dengan tokoh Joe Green dan Reuben Smith.
Namun, sepertinya, ia tidak hanya selesai sampai di situ. Lapisan-lapisan tema bahasan, sebagaimana sudah disebut sebelumnya, terasa hadirnya meski cukup implisit. Pembaca mesti cermat untuk “memasang curiga” dalam setiap narasi yang ada. Bahwa, ya, Anna Sewell tidak cuma bicara tentang “kuda” dalam novel semata wayangnya ini.
Saya juga angkat topi kepada Linda Boentaram yang sudah menggarap terjemahan novel ini dengan cukup ciamik. Menjadi terjemahan yang nyaman dibaca tanpa terkesan sebagai terjemahan yang “memaksa” ketika membalik halaman demi halaman cerita.
Terdapat beberapa frasa dalam bahasa Inggris yang tetap dicantumkan seperti aslinya, seolah-olah tidak ingin memaksakan semuanya harus diindonesiakan. Dan itu, menurut saya, membuat narasinya lebih hidup dan menyentuh pembaca.
Secara teknis, novel ini terdiri dari tiga bagian, di mana setiap bagiannya terdiri dari bab-bab tipis (3-4 halaman) sehingga terkesan seperti kumpulan cerbung yang dibukukan. Tetapi itu justru menakjubkan jika melihat keutuhan ceritanya yang begitu kuat.
Mungkin saya terlambat bertemu novel klasik ini, tetapi keterlambatan ini barangkali jugalah momen keberuntungan yang saya amini.
Ya kapan lagi modal goceng bisa dapat novel bagus begini kan?
Pengulas: Lindu Ariansyah
Penyunting: Airlangga W.