Ironi Kampung Ramadan yang Menggelikan

Sumber gambar: Unsplash.com

Kehadiran bulan Ramadan menjadi momen istimewa guna menyemarakkan “Kampung Ramadan”, yang cukup menarik atensi publik. Acara semacam ini biasanya berlangsung sebulan penuh dan ramai akan festival dan kegiatan-kegiatan menarik bernuansa Ramadan. Mulai dari tausiah ulama-ulama masyhur menjelang berbuka, lokakarya-lokakarya seputar dunia kreatif, hingga pasar Ramadan dengan ragam menu yang begitu pepak.

Kegiatan ini biasanya diinisiasi oleh komunitas masjid jami yang cukup aktif dan eksis. Misinya, tentu sama, yakni menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh suka cita dan nuansa kegembiraan. Namun, niat baik sekalipun tidak dapat menghapus ironi-ironi yang muncul membersamainya.

Sekadar Riak dalam Semarak

Ramadan jatuh di bulan April. Pun sebentar lagi, ia akan segera berlalu. Membuat kita harus menunggu setahun lagi agar bisa menikmati sore yang meriah di “Kampung Ramadan”.

Fenomena “Kampung Ramadan” ini jelas merupakan sebuah angin segar buat kita yang menjalani puasa hanya dengan bermalas-malasan. Menjadi pilihan menarik untuk ngabuburit dan menjalankan ibadah puasa dengan lebih ceria.

Namun, kehadirannya membawa ironi tersendiri. Membuat kita patut mempertanyakan lagi arti Ramadan dalam fenomena “Kampung Ramadan” ini. Ambil contoh, yang cukup populer, Kampung Ramadan Jogokariyan (KRJ), misalnya.

Hampir setiap tahunnya, KRJ selalu kebanjiran pengunjung. Tentu, itu menjadikan tujuan meramaikan lingkungan masjid tercapai. Hanya saja, tidak semua orang datang untuk “meramaikan” masjid secara substansial.

Ramainya masjid tidak serta-merta ramai pula jamaah salatnya. Ini menjadi semacam ironi tersendiri. Menikmati bulan suci dengan berhaha-hihi, tapi lupa bahwa ibadah yang wajib itu bukan hanya puasa saja, tapi juga salat lima waktu. Kita kerap keasyikan berburu takjil, melibasnya dengan rakus begitu beduk ditabuh, sampai kelupaan salat Magrib.

Ini tuh sama kayak kita berpakaian, tapi lupa kalau resleting celana belum dikancing. Iya, lupa itu maklum, tapi masa iya enggak malu?

Narsisisme Maya

Kegiatan berburu takjil memang menjadi hal yang menyenangkan saat bulan puasa, apalagi ketika berada di tempat seramai KRJ ini. Selain murah dan terjangkau, ada voucer dari masjid untuk ditukarkan dengan berbagai jajanan dan makanan secara cuma-cuma.

Banyak orang menyempatkan berkunjung ke pasar Ramadan yang ada di area pelataran masjid. Mereka juga kerap kali membagikan foto-foto ke akun pribadi media sosial seperti membuat instastory di akun pribadi Instagram mereka.

Benar, itu sah-sah saja, tapi apa kabar masjid dekat tempat tinggal kita sendiri yang selama ini selalu kita lewati begitu saja, tanpa kita sempat mampir apalagi menghidup-hidupinya? Bukankah Masjid Jogokariyan jadi ramai itu juga karena kehadiran kita; para pengunjungnya? Lantas, mengapa kita justru tidak meramaikan masjid kita sendiri?

Kita seakan-akan rela untuk menelantarkan yang tiap hari memanggil-manggil kita setiap waktu salat hanya untuk terlihat kece dan update di dunia maya. Coba mari kita renungi kembali, bukankah semua ini hanya demi memuaskan narsisisme yang bersemayam dalam diri kita?

Fenomena semacam ini memang sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan generasi muda Indonesia. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mengajak pacar sendiri untuk ke tempat ini, hanya untuk sekedar rekreasi dan hiburan semata.

Sungguh pemandangan yang sangat ironis sekali. Bulan Ramadan bulan yang penuh keberkahan, yang semestinya dijadikan sarana untuk merefleksikan apa-apa saja yang selama ini masih belum beres pada diri kita, justru menjadi ceruk memikat untuk bermaksiat.

Belum lagi ketika saya melihat beberapa kawan yang mengunggah momen ngabuburitnya dengan sang pacar dengan caption: “KRJ date with ayang”, plus emoticon panah asmara. Itu terasa menggelikan untuk konsumsi mata dan benak saya. Kok bisa ada orang yang (dengan sadar) memadukan dua hal paradoks dengan begitu bangganya.

Saya tidak iri dan juga tidak sedang berusaha menjadi seorang mufti yang memutuskan siapa-siapa saja yang pantas masuk surga dan neraka. Namun, bukankah ini sebuah kenormalan yang cukup aneh, saudara-saudara?

Kenyataannya, kita masih sibuk eksis dan “berpesta” daripada menyigi esensi diri dalam Ramadan kali ini. Lupa bahwa Ramadan hadir untuk memberi tahu kita tentang pentingnya menahan diri, bukan sekadar menunda diri demi pemuasan yang (ironisnya) lebih menggila daripada ketika sedang tidak puasa.

Ramadan Sudah Jatuh

Tentunya, ini bukan salah panitia KRJ, dan seluruh orang yang juga berperan dalam membuat event serupa di seluruh penjuru negeri. Justru, kita sebagai pengunjung, semestinya lebih mawas dan sadar diri. Mengerti untuk apa acara-acara semacam ini dibuat dan bisa lebih bersinergi dalam menyongsong Ramadan (yang akan datang) lebih baik lagi.

Amat disayangkan jika momen tahunan semacam ini justru jadi momen hura-hura di bulan yang sebetulnya “penuh keprihatinan” ini. Saya pun bukanlah manusia suci yang pantas menilai diri sebagai sang tauladan, tetapi mari kita sama-sama perhatikan dan sadari kembali setiap momen yang hadir dalam hidup kita.

Memang, tiada manusia yang sempurna. Namun, Tuhan sendiri pun mengakui bahwa kita makhluk yang sempurna: punya akal, nafsu, dan hati nurani. Akankah kita menyia-nyiakan anugerah sebesar itu hanya untuk hal-hal yang remeh temeh?

Dan Ramadan sudah jatuh ke pungkur. Tertinggal pada masa yang sudah berlalu dengan cepat tanpa bisa kita tunda kepergiannya. Mudah-mudahan akan selalu ada kebaikan yang bisa kita pungut dari bulan mengagumkan ini. Setidaknya, untuk perenungan diri kita sendiri.

Setidaknya, untuk kita sendiri.

Penulis: Nugroho Kalis Nur Cahyo

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *