Sumber gambar: Google Books
Identitas Buku
Judul Buku :Goodbye Things, Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Pengarang : Fumio Sasaki
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Penerbit : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 272 Halaman
Tahun Terbit : 2018
ISBN : 978-602-03-9840-2
*
Kita sering terjebak ilusi “merasa bahagia” alih-alih “menjadi bahagia”. Itu dapat kita baca pada banyak buku bertajuk self-improvement yang sedang ramai di pasaran. Saat membaca daftar isi buku Goodbye Things ini, saya merasa buku ini akan masuk jajaran buku underrated sebab memiliki judul bab-bab yang begitu mainstream. Namun, begitu menengok kembali sampul, intro, dan visualisasi gambarnya, buku pertama Fumio Sasaki ini terlihat sangat menarik untuk dituntaskan.
Dengan desain sampul yang simpel dan nyaman dipandang, buku ini membawa kesan minimalis sebagaimana judul yang dibawakan. Desain warna dan objek di bagian depannya memberikan efek melegakan tersendiri bagi orang yang mungkin hanya memandangnya sekilas di rak toko buku. Kesan minimalis tersebut begitu selaras mencerminkan isi buku tentang jalan kesederhanaan dalam mencapai kebahagiaan hidup. Di samping itu, buku ini juga dapat merefleksikan jati diri si penulis yang berasal dari negara yang terkenal akan sifat tekun, tertib, dan berciri khas bunga sakura itu.
Dengan bahasa yang ringan, Fumio mengisahkan hidupnya dalam membangun dan menetapkan kebahagiaannya. Akan tetapi, kebahagiaan yang ia maksud akan jauh dari standar kebahagiaan yang ditetapkan kebanyakan orang.
Kisah ini diawali saat dia menjadi seorang pekerja biasa yang hobi menimbun barang yang bahkan ia lupakan keberadaanya. Kebiasaan tersebut kemudian tergantikan menjadi keinginan untuk menjadi orang yang seminimalis mungkin dalam mempunyai barang.
“Rumah bukan museum; tidak perlu ada benda koleksi”, “Bayangkan toko sebagai gudang pribadi”, dan “Kota sebagai ruang pribadi” adalah beberapa judul sub bab buku yang menjadi sedikit dari banyak hal yang mampu mendorong Fumio untuk terus ‘membuang’ barang di dalam apartemen yang disewa.
Keberadaan benda-benda yang mampu menyerap energi diceritakan secara detail, mendalam, dan realistis sebagaimana yang ia alami. Terlebih, beberapa sosok idola yang Fumio masukkan dalam cerita semakin menambah keyakinan akan jalan hidup minimalis yang ditempuhnya. Sebut saja Steve Jobs, Bill Gates, Lionel Messi, Mahatma Gandhi, Mark Zuckerberg, dan tokoh terkenal lain yang dipercayainya turut menggunakan prinsip minimalis.
Dalam salah satu sub bab tersendiri, Fumio menjelaskan secara eksplisit bahwa Steve Jobs merupakan seorang minimalis sejati, khususnya pada bagian berikut:
“Hampir dalam segala hal yang ia lakukan, Jobs memulai bukan dengan memprioritaskan tugasnya, tapi dengan menentukan hal-hal yang tidak perlu. Dalam artian ini, ia bisa dikatakan sebagai minimalis sejati yang mendedikasikan diri untuk membuang hal-hal yang tidak dibutuhkan.” (halaman 180)
Namun tentu saja, tidak semua gagasan-gagasan yang terdapat dalam buku Goodbye, Things ini dapat kita ditelan mentah-mentah, apalagi jika kemudian langsung diterapkan dalam kehidupan kita saat ini.
Misalnya, terkait dengan sikap orang minimalis yang menolak hadiah karena berpikir jika menerimanya hanya akan memenuhi dan mengambil ruang kosong di rumahnya. Tentu saja itu merupakan hal yang kurang sopan dilakukan dan akan memicu kontroversi tersendiri. Oleh karenanya mesti disaring dan tidak hanya dipahami secara tekstual saja. Terutama disesuaikan dengan culture masyarakat kita yang bercitra ramah dan sopan.
Berbicara tentang citra, buku ini juga turut membahasnya. Awalnya saya terkejut saat penulis membahas terkait rasa sesal, syukur, dan emosi lain yang tercipta hanya dari sebuah barang. Fumio juga memaknai keberadaan suatu barang yang dapat menyerap energi dari dalam diri. Selain itu, diceritakan pula pengaruh ada tidaknya suatu barang yang dapat mengubah hidup kita hingga seratus delapan puluh derajat bedanya. Serta masih ada sisi magis lain yang sebenarnya bisa dijelaskan lewat logika seorang minimalis.
Budaya sesederhana minum teh di Jepang bahkan bisa menjadi dasar buku ini tercipta. Budaya minum teh selalu berlangsung di ruangan sederhana dengan satu pintu kecil yang tidak memungkinkan seseorang masuk dengan cara membusungkan dada.
Tak hanya itu, masih banyak hal-hal tak terduga lain yang jarang masyarakat awam sadari terkait pengaruh suatu barang terhadap si pemilik. Sederhana, lugas, dan memberikan kesan tersendiri bagi tiap orang yang ingin mencoba gaya hidup baru dan bosan akan kehidupan monotonnya.
Arti minimalis yang Fumio jelaskan memang hanya sebatas menyimpan barang-barang penting saja untuk diri sendiri. Namun, dari hal mendasar tersebut akan tercipta arti kebahagian yang sebenarnya bisa didapatkan melalui menginginkan apa yang sudah dimiliki. Sebaliknya, gaya maksimalis yang dibuat hanya untuk menyenangkan orang lain akan membuat seseorang merasa tercekik.
Terlepas dari rasa melankolis yang mungkin saja timbul setelah membacanya, buku ini mampu memberikan pandangan baru akan cara hidup orang lain. Meski agak ekstrem bila langsung dipraktekkan oleh seorang yang ingin berbahagia dengan kesederhanaan, bisa juga sebagai bacaan pengisi waktu luang.
Katanya, minimalis bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah metode yang membantu seseorang untuk mencapai tujuan akhir. Jadi, frasa “merasa bahagia alih-alih menjadi bahagia”sekiranya dapat menjadi diksi yang berwarna lain setelah eksistensi dan nilai akan suatu hal sudah benar-benar kita pahami.
Jadi, bagaimana? Sudah siap untuk hidup minimalis, kawan?
Pengulas: Isna Septi Wahyuni
Penyunting: Airlangga W.