Mewaspadai Candu Konsumtif Paylater

Sumber gambar: Pexels

Dalam era digital seperti saat ini, kecanggihan teknologi dan kemudahan akses informasi serta jangkauan produk tidak dapat dipungkiri telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Salah satu dampaknya adalah kecenderungan untuk mengadopsi gaya hidup konsumtif.

Mahasiswa seringkali tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya karena ingin terlihat modis atau trendi. Sekarang, hanya lewat ibu jari saja kita sudah bisa membeli apa yang kita mau dengan maraknya toko-toko daring.

Nah, kemudahan berbelanja online masih ditambah lagi dengan adanya layanan paylater yang muncul semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Makin dimanjalah kita untuk bisa dengan mudah mendapatkan apa yang kita idamkan.

Fenomena paylater melahirkan dampak negatif terhadap perilaku konsumtif mahasiswa. Kemudahan dalam membeli barang dengan pembayaran di lain hari seringkali membuat mahasiswa tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya melebihi kemampuan finansial mereka.

Terkadang, kecanduan paylater dan gaya hidup konsumtif yang tidak terkendali dapat menyebabkan mahasiswa mengalami masalah keuangan serius dan bahkan mengalami stres berkepanjangan.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana kecanduan paylater dan gaya hidup konsumtif dapat mempengaruhi keuangan dan kesejahteraan kita, terutama di kalangan mahasiswa yang seringkali masih dalam masa transisi menuju kemandirian finansial.

Saya pun tak terkecuali juga termasuk orang yang pernah menggunakan layanan ngutang 4.0 ini. Beruntung, saya masih berada di level yang belum akut. Saya mengaktifkan paylater agar meningkatkan atau mempertahankan level pelanggan di aplikasi itu sendiri karena berbagai tawaran kemudahan berbelanja lainnya; mulai dari fitur gratis ongkir yang lebih banyak hingga potongan harga yang lebih sering.

Dari mengaktifkan paylater di aplikasi tersebut, saya bisa membeli apa yang saya butuhkan dan saya mau. Namun, jujur, kemudahan ini juga seperti pisau bermata ganda. Bisa sangat membantu saat kita harus membeli sesegera mungkin barang yang urgen kita butuhkan, tapi sekaligus seperti melepaskan rem pada batas keuangan yang (seharusnya) kita sadari.

Seorang kawan bahkan pernah bercerita kepada saya bagaimana dirinya bisa menggunakan layanan paylater. Katanya, awal mulanya hanya karena penasaran, apakah bisa digunakan untuk berbelanja atau tidak. Selanjutnya, setelah bisa digunakan, ia merasakan kemudahan dalam bertransaksi seperti membeli pulsa, token listrik, dan kuota internet melalui layanan paylater ini.

Dari segi teknis, sekilas ia merasa terbantu karena tidak perlu lagi harus datang ke konter pulsa untuk beli segala kebutuhannya itu. Namun, meski ia merasa bahwa dirinya sudah kecanduan, ia merasa ada beban tersendiri juga yang harus ia penuhi.

Ia harus menabung setiap harinya untuk melunasi tagihan paylater tersebut di bulan selanjutnya. Dengan statusnya yang masih mahasiswa dan tidak memiliki pemasukan selain dari kiriman bulanan orang tuanya, ia pun mesti tahu batasan. Sebulan paling banyak ia hanya akan menggunakan dana pinjaman paylater sebanyak 200 ribu rupiah saja.

Hampir di setiap aplikasi belanja online menyediakan layanan sejenis paylater ini. Namun, limit dana yang diberikan bisa beragam. Mulai dari ratusan ribu sampai puluhan juta rupiah. Ada juga yang menerapkan sistem limit yang semakin longgar jika kalian semakin sering menggunakan layanan paylater.

Mungkin untuk sebagian orang dengan bertambahnya jumlah limit paylater pasti senang bukan kepalang bak mendapatkan durian runtuh. Tak dimungkiri, hal tersebut pernah saya rasakan. Namun, itu hanya ilusi untuk membuat kita terus berbelanja lagi dan lagi.

Mau pakai dana sebanyak apapun jelas itu urusan masing-masing, tapi seyogianya kita juga tahu kemampuan finansial kita sendiri. Toh, jika tidak mampu membayar tagihan, yang susah juga diri kita sendiri. Menjadi kerepotan yang kita sulam-sulam sendiri pada akhirnya.

Gaya hidup konsumtif adalah sebuah pola perilaku yang ditandai oleh kecenderungan untuk mengkonsumsi barang dan jasa dalam jumlah yang berlebihan, tanpa mempertimbangkan efek negatif yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Hal ini biasanya dipantik oleh dorongan untuk memenuhi keinginan yang (seringkali) sekunder dan reaksioner, hanya berdasarkan pada hasrat sesaat, tanpa memperhatikan nilai atau manfaat jangka panjang dari konsumsi tersebut.

Gaya hidup konsumtif dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti makanan, fesyen, teknologi, dan rekreasi, serta dapat mempengaruhi keuangan dan kesejahteraan seseorang secara keseluruhan.

Gaya hidup konsumtif di kalangan mahasiswa menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dalam lingkungan kampus saat ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi gaya hidup konsumtif di kalangan mahasiswa adalah merebaknya budaya konsumerisme, social pressure, dan periklanan di dunia maya terutama medsos.

Budaya konsumerisme yang semakin berkembang di masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku mahasiswa dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Fenomena ini bisa lahir karena adanya tekanan sosial, termasuk dari lingkungan pertemanan.

Tekanan teman sebaya dalam hal memiliki barang-barang mewah atau melakukan aktivitas yang mahal dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup konsumtif mahasiswa. Namun, problem ini umumnya lahir dari ketidakmampuan seseorang untuk mengatakan “tidak” pada kelompok pertemanannya. Selalu mengiyakan ajakan main dan menghambur-hamburkan uang tanpa peduli isi dompet.

Sementara itu, media sosial juga dapat menjadi sumber informasi baik barang-barang mewah, makanan dan minuman mahal, dan tempat-tempat yang eksklusif. Hal ini dapat memicu mahasiswa untuk melakukan perilaku konsumtif.

Konsumerisme yang dilakukan biasanya bermotif untuk kebutuhan eksis dirinya. Banyak orang rela mengantre masuk ke kedai kopi ternama hanya demi sebuah klip instastory di akun medsosnya.

Sebetulnya, ada banyak cara untuk menghindari, atau setidaknya mengontrol perilaku konsumtif itu. Cara tersimpel yang bisa kita lakukan adalah dengan membuat pencatatan arus kas pribadi secara rinci dan mengenali standar prioritas diri. Dengan cara tersebut, minimal kita akan paham mana pengeluaran yang perlu dan yang kurang perlu.

Penulis: Wahyu Riyani Efraim

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *