Sumber gambar: Pexels
“Dunia yang bahagia ini tidak akan punya sejarah jika kita membiarkan waktu bergulir tanpa ada hentakan.”
Jika saya harus mengartikan dunia seperti apa yang dikatakan Albert Camus dalam Sampar tadi, maka pikiran termudah untuk menyatakan pada sebuah realitas tertuju pada motor saya: Shogun Axelo 125 (Suzuki FL 125 SCD) berwarna biru.
Kisah-kisah yang tercipta bersamanya selama sebelas tahun yang saya kira memberi cukup hentakan dalam sejarah hidup saya sendiri, menjadikan saya memiliki stok kisah yang kiranya cocok untuk diceritakan kepada siapa saja; sekadar untuk sebuah hiburan ataupun diambil nilai baiknya—jika itu memang baik.
Bersama motor ini, dalam menjalani hidup, saya terhentak. Bagaimana tidak, jika bersama motor ini membuat pengalaman kencan pertama saya dengan pacar pertama (sekarang telah menjadi mantan—juga teman) harus dibersamai dengan insiden menyerempet mobil di depan McD Sudirman, Kota Yogyakarta.
Atau kiranya ketika UTS hari pertama semasa SMK, saat sedang berkejaran dengan keterlambatan di bangjo Bulaksumur, ban motor saya malah ketembus mata obeng plus, alih-alih paku. Juga ketika saya mengisi ban dengan gas nitrogen, karena terpikat iklannya yang dapat menjaga keawetan ban, tapi yang terjadi malah ban saya bocor tanpa sebab di tengah persawahan daerah Pleret yang tentu jauh dari tambal ban.
Namun di luar tiga kisah yang saya pilih menjadi contoh di atas (karena banyak sekali kisah yang membuat saya terhentak yang pernah terjadi antara saya dan motor ini) tidak ada kisah yang paling berkesan kecuali kisah berikut ini.
Kenangan Mogok di Silancur
Pada suatu malam medio 2020, di sebuah rumah kawan yang desanya memiliki tradisi tidur tanpa kasur di Seyegan, Sleman, saya dan tiga kawan merencanakan sebuah liburan. Tiga kawan saya ini sebut saja Mas Dening, Mas Piter, dan Mas Kebo.
Rencana liburan kami adalah menikmati matahari terbit di Silancur Highland, Magelang. Ketika paginya saya mendapat ajakan ini, saya pikir kami akan berangkat mobil. Tidak ada firasat saya kalau akan menggunakan motor saya, si Shogun Biru itu.
Jujur saya selalu dilingkupi dengan rasa cemas serta bayangan buruk jika menempuh perjalanan baru (plus jauh) menggunakan si Shogun Biru. Kejadian ban bocor di tengah hutan atau mogok sampai saya tidak bisa pulang, bertemu dedemit, dan kesialan-kesialan lainnya menjadi bayangan muram yang berdesakan dalam kepala.
Pukul tujuh malam, saya datang ke rumah Mas Dening. Mas Piter dan Mas Kebo telah berada di sana. Seperti umumnya para pemburu sunrise, kami berencana akan berangkat pada dini hari. Tetapi, dengan berkeyakinan mantap, saya bertanya nantinya akan naik mobil siapa, ketiga kawan itu langsung memperhatikan saya.
Mas Dening pun berucap nanti berangkatnya menggunakan dua motor, satu miliknya dan satu lagi milik saya. Saya bengong. Saya keberatan dan memberikan alasan: janganlah pakai motor saya karena saya tidak yakin motor itu mampu membawa kita sampai ke tempat tujuan. Tapi Mas Kebo menjawab dengan kalimat yang akan selalu saya kenang.
“Mas, motor itu diciptakan untuk diuji,” begitu katanya. Ingin sekali saya menyahutnya dengan kalimat, “Motor ini bukan untuk diuji, Mas, melainkan ujian itu sendiri bagi penunggangnya.” Namun alih-alih menjawab seperti itu, saya malah kicep. Tapi setidaknya saya sudah mengemukakan kekhawatiran saya. “Saya sudah mengingatkan, lho, ini.”
Kami berangkat pukul dua dini hari. Saya berboncengan dengan Mas Piter. Dia yang menjadi pengemudinya. Sepanjang perjalanan, motor saya lajunya lancar-lancar saja. Malahan motor Mas Dening, yang vespa matik itu mengalami dua kali mogok akibat karet gas yang lepas, untungnya masih bisa diperbaiki secara mandiri. Namun, lagi-lagi, perasaan cemas itu tidak bisa hilang sepanjang perjalanan. Bagaimana jika motor saya yang mogok nanti? Saya hanya memperbanyak berzikir demi menenangkan diri.
Ketika jarak pada Google Maps menyisakan tiga kilometer lagi menuju Silancur, si Shogun Biru mbrebet di sebuah tanjakan, kemudian selang berapa detik, matilah motor itu. Situasi saat itu benar-benar gelap nirpenerangan.
Sinar bulan yang menimpa pohon menampilkan bayangan yang menjulang ngeri dan pada momen seperti itu, bisa-bisanya saya malah kebelet kencing. Hawa dingin khas mendekati subuh tidak lagi syahdu, melainkan pilu dan tak tertahankan. Mas Piter juga gelisah. Mas Dening dan Mas Kebo yang telah jauh di depan sebelumnya akhirnya turun menemui kami. Mas kebo yang mengenal sedikit permotoran menduga motor saya ini kelelahan. Kami pun menunggu agar motor sedikit dingin dan saya masih menahan rasa ingin kencing.
Selang sepuluh menit, Mas Kebo mencoba menghidupkan motor saya. Si Shogun Biru tetap tidak menyala. Rasa ingin kencing saya tidak tertahan lagi, maka dengan terpaksa saya kencing di bawah pohon—tentu dengan izin dahulu karena takut terkena pamali. Mas Dening menyarankan agar motor saya ini diparkirkan di masjid terdekat. Kami pun turun memutar arah.
Gagal Sunrise
Shalawat Tahrim mulai terdengar, tanda azan subuh akan segera dikumandangkan. Kami tiba di masjid bersamaan dengan jamaah-jamaah yang kebanyakan berusia tua. Azan berkumandang, saya menyulut sebatang rokok untuk menenangkan pikiran. Mas Dening memutuskan bersedia wira-wiri dari masjid ke Silancur, menjemput kami satu-satu.
“Mas, aku tak di sini saja nungguin motor,” saya mengatakannya dengan muka yang kuyu.
“Kamu jangan gitu, kita sudah sampai sini nanggung.”
“Baiklah.”
“Pokoknya kamu harus ikut naik!”
Mas Dening dan Mas Kebo beranjak lebih dulu ke tempat tujuan, sedangkan saya dan Mas Piter menunggu giliran di masjid. Mas Piter menyulut rokok. Saya menunaikan sholat subuh. Selepas salam, kotak infaq yang saya lihat di depan pintu masjid tadi mengingatkan pada sebuah petuah yang disampaikan guru agama ketika SD: bersedekahlah saat situasimu sempit, maka jalan keluar akan terbuka luas.
Saya merenung, situasi saya saat ini benar-benar sempit. Saya berada di kaki gunung dan hari ini adalah Minggu, bersama seonggok motor yang mogok entah kenapa. Dan jika kalian belum tahu, hari Minggu itu ialah hari petaka bagi pengendara yang kena mogok di manapun. Itu adalah hari kebanyakan montir-montir bengkel motor memilih libur.
Timbul sebuah pertanyaan yang menambah cemas pikiran saya selain bahwa si Shogun biru ini bisa dimaling oleh bandit-bandit Magelang, yakni di mana saya dapat menemukan bengkel motor di kaki gunung seperti ini pada hari Minggu?
Saya melipat lembaran dua ribu rupiah dan menyisipkannya ke dalam kotak infaq, sambil berharap Yang Maha Penjaga melindungi motor saya dari maling dan saya bisa pulang pada hari ini.
Saya kemudian menghampiri Mas Piter, ikut menyalakan rokok lagi, kemudian menatap langit. Kiranya kutipan dari Iwan Simatupang pada novelnya Merahnya Merah dapat menjelaskan apa yang saya rasakan: Dia tengadah mukanya ke atas. Ke mana lagi kalau tak ke atas? Atas adalah arah dari segala derita. Tapi juga, arah dari segala harap dan doa.
Kami berempat tiba juga sampai di Silancur. Sunrise gagal kami peroleh karena mendung. Hanya hamparan terasering yang indah dan penampakan Gunung Sumbing yang menjadi pelipur lelah kami. Setelah puas dengan pemandangan Silancur, mengabadikan momen, dan sarapan, kami turun kembali ke masjid. Baru saya sadari setelah langit beranjak terang, jalan yang kami lalu tadi ternyata bersampingan dengan jurang.
Sesampainya di masjid, saya lega melihat si Shogun biru itu masih ada. Mas Dening dan Mas Piter kemudian tiduran di serambi masjid. Saya dan Mas Kebo mencari info bengkel motor terdekat yang buka di hari Minggu.
Setelah bertanya-tanya, hamdalah, Mas Kebo menemukannya. Dia mengajak saya menuju bengkel itu. Namun saya sempat curiga saat berada di jalan masuk menuju bengkel itu, tertera tanda: Bengkel Las. Saya bertanya kepada Mas Kebo, kok bengkel las. Mas Kebo menjawab itu bengkel motor juga kok.
Tiada jalan lain, daripada menuntun motor hingga ke Magelang Kota, saya berikhtiar menyerviskan motor ke bengkel las ini. Benar saja itu bengkel las, tapi juga bisa menyervis motor. Itu saya ketahui setelah bertanya kepada sang montir.
Sekitar satu jam menunggu, motor saya beres servis. Problemnya ternyata ada sumbatan pada bagian pengapiannya. Saya mengucap syukur, dan meyakini kekuatan sedekah itu. Kami pulang tanpa hambatan apapun. Tenang Pak, Kabeh Ono Dalane, judul siniar antara Puthut EA dan Agus Mulyadi menjadi kesimpulan dari apa yang saya kisahkan di atas.
Seminggu kemudian motor saya kembali mogok, dan menurut bengkel langganan saya, ada udara masuk pada selang bensin yang terhubung dengan pengapian. Saat itu senja sudah terlihat. Sambil menatap langit sore dan kembali mengingat kejadian saat liburan di Silancur pekan lalu, saya mendesis khusyuk: Cok!
Penulis: Airlangga Wibisono
Penyunting: Lindu A.