Ilustrasi oleh Krysna Yudha Maulana
Sambil menjemur karpet-karpet di pagar masjid, Mutdasir, seorang marbot sekaligus penyedia jasa servis elektronik, melamun meratapi nasibnya. Sebagai penyedia jasa service elektronik terutama TV, Mutdasir merasa dizalimi tatkala aturan dilarang nonton TV disahkan. Sebagai seorang bujangan pun, ia merasa dirampas haknya. Pasalnya aturan itu adalah akibat dari cekcok para suami dan istri di kampungnya. Perdebatan yang jelas tidak akan dialami oleh bujangan macam Mutdasir.
Bagi Mutdasir, tak masuk akal melarang satu kampung untuk menonton TV hanya karena satu sinetron tentang perselingkuhan. Siaran yang bisa diganti tanpa mematikan fungsi TV. Ingin rasanya Mutdasir mendebat keputusan pengurus kampung. Sudah hal biasa bagi seorang Mutdasir untuk bersuara.
Jika merasa benar, Mutdasir tak ambil pusing soal dampaknya. Bahkan kalau larangan itu dibatalkan dengan catatan warga hanya bisa nonton TV di rumahnya, ia akan langsung sepakat. Persis seperti saat keputusan kampung menjadikannya marbot. Buah dari keluhannya soal kepedulian warga perihal kebersihan masjid. Pekerjaan dengan gaji pahala yang ia sendiri tidak tahu berapa jumlahnya. Setidaknya, sejak resmi jadi marbot, ia tak lagi perlu membayar iuran apa pun yang ada di kampungnya.
“Mas, kamu jadi nganterin aku, to?” suara Nanik memecah lamunan Mutdasir.
Mutdasir lekas bersiap. Tanpa basa-basi ia segera menaiki motornya yang sedari tadi terparkir di halaman masjid. Suaranya yang lembut segera meminta Nanik untuk lekas duduk di jok belakang. Mutdasir memacu gas motornya, meninggalkan karpet-karpet basah yang tengah menantang terik matahari.
Mutdasir dengan sengaja memiringkan posisi spion, ia hendak melihat wajah Nanik. Wajah adik perempuannya yang belum lama resmi jadi istri orang. Menyadari adiknya sebagai pengantin baru, Mutdasir merasa tak lagi pantas mengeluhkan aturan dilarang menonton TV.
Lagi pula, kalau mengambil sudut pandang sebagai orang yang sudah menikah, Mutdasir bisa memaklumi aturan itu. Dia ingat betul dengan keluhan bapak-bapak di pos ronda perihal tabiat istri mereka. Mereka sepakat bahwa sinetron telah merubah para istri di kampungnya menjadi pencemburu yang hobi menuduh. Para suami yang menjadi objek kecurigaan pun jadi gampang emosi. Puncaknya, dua bulan lalu, Pak Yon, menghilangkan nyawa istrinya sendiri.
Peristiwa matinya istri Pak Yon di tangannya sendiri jadi alasan terkuat larangan menonton TV disahkan. TV tak lagi sekadar menyebabkan keributan kecil di rumah warga, melainkan sudah membuat seorang suami menjadi duda dan dua orang anak jadi piatu.
Nahasnya, duda itu kini mendekam di penjara, sebab aritnya yang sehari-hari jadi senjata di ladang, ia tebaskan ke leher istrinya. Nyaris membuat leher sang istri putus.
Beberapa hari sebelum kejadian mengerikan itu, Mutdasir masih melihat Pak Yon sebagai seorang pria yang selalu memikirkan keluarga. Siang itu, seperti biasa setelah membersihkan masjid, Mutdasir bergabung dengan perkumpulan bapak-bapak di pos ronda. Pak Yon bersama lima orang lainnya terlihat khidmat menyimak cerita Pak Toyib.
Meski belum menikah, Mutdasir tak pernah absen menyimak keluh kesah kumpulan suami itu. Terlebih, posisi pos ronda berdempetan dengan warung Nanik yang masih satu bangunan dengan tempat tinggal dan tempat Mutdasir membuka jasa servis elektronik.
“Pak Yon, daripada diam saja lebih baik lekas pulang, atau nanti kena tuduh selingkuh,” ujar Pak Toyib yang disambut gelengan dan tawa kecil orang sekitar.
“Aku belum pulang bukan karena takut dituduh istri. Aku bingung kalau bertemu anakku, Siti, dia pasti akan membahas soal kuliah,” ungkap Pak Yon.
“Kalau tidak mampu, jujur saja kepada anakmu itu, Pak.”
“Masalahku bukan hanya soal kuliah Siti, tahun ini anak bungsuku juga harus didaftarkan SMA. Pasti ada uang gedung yang harus aku bayar. Hasil panenku musim ini jelas tak cukup,” keluh Pak Yon sembari mengusap aritnya.
“Ditambah mesti membagi penghasilan ke wanita lain!” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menimpali keluh Pak Yon.
Mutdasir sampai tersedak ludahnya sendiri. Ia kaget melihat istri Pak Yon berdiri menatap mereka. Dia masih tak habis pikir, di mana pun tempatnya, istri Pak Yon tak pernah ragu menuduh suaminya. Seolah memiliki bukti kuat perselingkuhan Pak Yon.
Pak Yon hanya bisa menunduk malu. Ia merasa semua mata bapak-bapak kini menatapnya. Sebagian iba, sisanya bersyukur bukan istri mereka yang bertindak demikian. Melihat situasi, Pak Yon memilih untuk minta diri. Ia tak mau didebat istrinya di depan orang lain.
“Buk… Sudah curiganya. Aku merasa tak lagi dihormati sebagai seorang suami. Kamu tidak lihat bagaimana mereka tadi menatapku?” ujar Pak Yon sesampainya di rumah.
“Melihat apa, Pak? Aku tadi cuma melihat sekumpulan lelaki yang tidak segera pulang ke rumah. Seperti tak sudi untuk lekas bertemu istri dan anaknya.”
“Buk… Pikiranmu itu sudah nggak bener.”
“Sudahlah, Pak! Seharusnya kalau bukan orang gedongan, minimal punya kesetiaan!” teriak istri Pak Yon.
Siti yang sedang ada di kamar diam-diam mengintip. Ia menyaksikan perdebatan kedua orang tuanya dari celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Matanya tak sengaja beradu tatap dengan Pak Yon.
Pak Yon pun memilih diam. Bukan karena takut berdebat. Dia merasa tak enak dengan Siti. Anak sulungnya yang cuma bisa mematung melihat Pak Yon dituduh selingkuh.
Bukan cuma Siti, Mutdasir yang ternyata ada di depan pintu rumah Pak Yon juga mematung. Sejak awal ia mendengar seluruh omelan istri Pak Yon. Omelan dengan suara keras yang membuatnya ragu mengetuk pintu.
Namun, urusannya harus segera dituntaskan. Mengembalikan rantang Pak Yon yang tertinggal di pos ronda. Sebab makanan di dalam rantang jelas tak bisa menunggu besok. Lauk pauk dan kukusan singkong itu harus segera dilahap pemiliknya.
“Ada apa, Mas Mutdasir?” tanya Siti usai membuka pintu rumah yang akhirnya diketuk oleh Mutdasir.
Pria bujangan itu lantas diam beberapa detik. Ada perasaan berbeda ketika melihat Siti. Perempuan yang hanya lebih muda setengah dekade dari Nanik.
“Ah… Saya hanya mau mengantar barang bapak yang tertinggal”
“Terima kasih, Mas. Maaf merepotkan.”
Setelah mengantar rantang, Mutdasir bergegas pergi. Dadanya bisa meledak kalau terus di sana. Menahan salah tingkahnya yang memalukan.
Baru saja beberapa langkah meninggalkan teras Pak Yon, Mutdasir mendengar suara barang jatuh. Mirip seperti suara tutup panci yang menabrak ubin keramik. “Oh, sekarang sudah mulai tak mau memakan masakan istri ya!” Suara teriakan samar-samar terdengar.
Sepanjang perjalanan, Mutdasir terus memikirkan Pak Yon. Perdebatan sepasang suami istri memenuhi pikiran Mutdasir. Bahkan setelah lewat dua hari.
Sambil menggulung kabel, Mutdasir kembali memikirkan Pak Yon. Pria yang sejak hari pertama dia jadi marbot langsung membantunya tanpa diminta. Sulit bagi Mutdasir menghilangkan sosok melas Pak Yon di pikirannya. Membuat Mutdasir agak terkejut saat Pak Yon bersama anak bungsunya masuk ke rumah sekaligus kiosnya. Menggotong TV tabung yang berukuran lumayan besar.
“Yowes, kamu langsung balik, ya,” ujar Pak Yon kepada anaknya. Remaja laki-laki yang tahun ini akan masuk SMA.
Tanpa memberi jawaban, remaja itu langsung pergi meninggalkan Pak Yon. Merasa malu dengan sikap anaknya, Pak Yon cuma bisa diam. Ketimbang mengejar anaknya dan menagih sikap sopan santun, ia memilih untuk duduk di kursi samping Mutdasir.
“Apa masalahnya, Pak?” tanya Mutdasir sambil memegang tabung TV.
“Di rumah, hanya Siti yang masih menghargaiku. Aku jadi makin bersalah tak bisa membiayai kuliahnya.” Mendengar pernyataan Pak Yon, Mutdasir cuma bisa membisu.
“Aku menggunting kabel luarnya, biar ada alasan kemari untuk menenangkan pikiran.”
“Mau dibuat selesai hari ini atau nginep tiga hari, Pak, eh Mas Yon?”
“Kalau bisa sampai sinetron sialan itu tamat, Sir,” timpal Pak Yon sembari tersenyum.
Pak Yon berdiri dari tempat duduknya, perlahan mendekat ke arah dinding yang ditempeli beberapa foto dan satu kalender. Ia memperhatikan kalender itu. Tangannya merobek tiga lembar kertas kalender. Tulisan April 2004 kini berubah menjadi Juli 2004.
“Kalau kalendernya tidak disesuaikan bisa-bisa kalian terlewat momen penting negara ini,” ujar Pak Yon, membuat Mutdasir teringat mendiang ayahnya.
Sehari setelahnya, dengan badan yang letih sepulang dari ladang, Pak Yon mampir ke kios Mutdasir. Ia hendak membawa TV-nya pulang. Istrinya ternyata jauh lebih berisik saat tidak ada TV. Bahkan semalam, Pak Yon dituduh sudah menjual TV mereka untuk menyenangkan hati selingkuhannya. Sama seperti pemeran pria di sinetron favorit sang istri. Menjual aset demi membawa selingkuhan berlibur ke luar negeri.
Belum ada dua jam sejak bertemu Pak Yon di kiosnya, Mutdasir dibuat kaget. Di perjalanan menuju masjid, ia melihat Pak Yon. Dia panik, terlebih saat melihat Pak Yon yang berlarian ke sana kemari sembari membawa arit berlumuran darah.
Melihat sosok Pak Yon yang biasanya diam berubah seperti orang kerasukan sambil membawa arit, Mutdasir langsung teringat Nanik yang tengah seorang diri di rumah. Dengan dada yang berdegup kencang, Mutdasir segera berlari.
“Pak Yon ngamuk, Pak Yon ngamuk!” pekik Mutdasir, sambil terus berlari.
“Di mana si Yono sinting itu?” teriak Pak Toyib menghadang Mutdasir.
Rupanya Mutdasir bukan orang pertama yang bertemu Pak Yono, Sudah sejak beberapa menit lalu Pak Toyib dan beberapa warga mencari Pak Yono. Ada yang membawa golok, arit, bahkan senapan burung.
“Situasi darurat! Pak Yono dalam kondisi tidak stabil mengamuk sambil membawa senjata. Warga diharap hati-hati!” suara pak RT menyebar ke seantero kampung melalui megafon (toa) masjid.
Mendengar pengumuman dan fakta sudah sejak tadi Pak Yon mengamuk, Mutdasir kembali teringat pada Nanik. “Di sana… Area masjid,” jelas Mutdasir lalu kembali berlari. Ia ingin segera sampai rumah. Memastikan adiknya baik-baik saja.
Selang beberapa waktu setelah kejadian itu, Mutdasir tahu cerita di balik arit berdarah milik Pak Yon. Bahkan peristiwa keji itu disiarkan di TV nasional. Pak Yon sebagai tersangka utama jadi incaran wartawan media untuk diwawancara. Dari wawancara dan keterangan polisi, pembunuhan itu terjadi karena Pak Yon tidak bisa mengontrol emosinya.
Siang itu, dengan badan yang capai, Pak Yon memaksakan diri untuk menggotong TV dari kios Mutdasir. Membawa barang itu kembali ke rumah. Anak bungsunya tak mau membantu dan memilih pergi dengan teman-temannya. Alhasil, dengan tubuh letih dan perut lapar, Pak Yon menggotong TV tabung itu sendirian.
Sampai di rumah, Pak Yon meletakkan TV di atas meja. Ia berjalan ke dapur. Dalam pikirannya, sebentar lagi perutnya akan terisi masakan sang istri. Namun, harapannya pupus saat melihat meja makan yang kosong.
“Aku pikir kamu sudah cukup kenyang makan di rumah lonte itu,” ujar Asri melihat Pak Yon yang terdiam menatap meja makan tanpa hidangan.
“Sudahlah, Buk, aku lelah sekali. Jangan terus kau tuduh seenaknya cuma gara-gara sinetron itu.”
“Kamu pikir aku sangat bodoh! Terlepas dari sinetron yang aku tonton, kamu memang selingkuh kan? Aku tak akan mengomel kalau bapak jujur!”
Tidak mau ribut, Pak Yon memilih tak menimpali Asri. Malas menyangkal tuduhan rutin dari istrinya.
“Siti ke mana, Buk?” tanya Pak Yon mengalihkan pembicaraan. Namun bukannya berhenti, Asri terus mengomel dan menghina Pak Yon.
“Pergi mencari kerja. Bapaknya yang miskin memilih selingkuh ketimbang membiayainya kuliah.”
Mendengar jawaban Asri, Pak Yon yang semula hendak mengaitkan aritnya ke paku yang menempel di dinding, membatalkan niatnya. Ia menggebrakkan aritnya ke meja makan. Bukannya diam melihat Pak Yon yang bereaksi demikian, omelan Asri justru makin tak terkendali.
“Pak! Kamu ini cuma buruh tani! Petani sepele yang nyekolahin dua anak saja kesusahan, kenapa masih kepikiran selingkuh!” teriak Asri berulang kali.
Kondisinya yang sedang lelah dan lapar, ditambah merasa tak lagi dihormati sebagai seorang pria dan suami, membuat Pak Yon yang naik pitam. Ia mengambil aritnya, menghempasnya secara ngawur ke arah sang istri yang terus saja mengomel. Istrinya pun berhasil dibuat diam, namun dengan pertumpahan darah.
Singkong sudah jadi tape, tak bisa lagi diolah jadi timus hangat atau sekadar singkong kukus yang menjadi bekal saat Pak Yon pergi ke ladang. Sekarang ia cuma bisa meratapi kesalahannya di balik jeruji besi. Sudah beberapa bulan dihukum di sana, kedua anaknya kompak tak pernah menjenguk, kabar yang dia tahu anak-anaknya kini diasuh oleh kerabat dari Asri.
Di tengah kegusaran hatinya, secuil kebahagiaan muncul. Sipir penjara memberi tahu bahwa ada seorang perempuan datang menjenguk. Dalam hati Pak Yon meyakini, bahwa perempuan itu adalah Siti, anak sulungnya yang tahun ini tak sanggup ia kuliahkan.
Pak Yono hanya bisa terdiam, dia tidak tahu mesti merespons apa saat perempuan di depannya bukanlah Siti. Matanya menatap dalam perempuan itu, hatinya makin terasa sakit. Rasa menyesalnya meningkat berkali-lipat.
“Pak, kalau kamu dipenjara, bagaimana nasib anak kita di perutku ini?” tanya Nanik.
Di luar gedung penjara, terlihat Mutdasir yang tengah termenung di parkiran. Ia duduk di atas motornya.
Penulis: N. Hanum