Sumber gambar: Pixabay
“Unit Kesepian Mahasiswa, bubarke wae nek wis ra ana kebermanfaatane,” begitu keluh seorang teman yang prihatin melihat kondisi UKM-nya yang kian hari kian lesu. Permasalahan ini saya kira hanya terjadi di Fenomena saja, mengingat dua tahun ke belakang konsisten merekrut tujuh orang anggota baru.
Belakangan, baru saya ketahui bahwa permasalahan ini juga melanda ormawa FT lainnya. Pun ormawa di tingkat universitas, saya rasa sedikit banyak juga merasakan hal yang sama. Sambatan di awal paragraf ini datang dari sesepuh di UKM tingkat universitas.
Pasti banyak dari penggiat organisasi baik di tingkat fakultas maupun universitas mempertanyakan, kenapa hari-hari ini ormawa tak seramai dan sebergairah dulu. Kampus Merdeka yang digadang-gadang sebagai penyebab utama nyatanya bukan faktor tunggal. Faktor internal dan eksternal saling berkelindan menjadi penyebab sepinya ormawa.
Kampus Merdeka digagas Nadiem Makarim sesaat setelah menjabat sebagai Menteri Pendidikan 2021 lalu. Di mana program tersebut mengambil alih peran ormawa sebagai wadah pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Mahasiswa dapat dengan leluasa mengembangkan minat dan bakat melalui program-program yang ditawarkan seperti Studi Independen, Magang Merdeka, dan Pertukaran Mahasiswa Merdeka.
Berbagai program Kampus Merdeka pada dasarnya dirancang untuk menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang dan tidak terbatas pada jurusan tertentu. Mahasiswa Manajemen dapat belajar pemrograman di program Studi Independen, Mahasiswa Teknik bisa mengambil mata kuliah musik di luar fakultas, bahkan di kampus lain. Sedangkan Program Magang Merdeka tidak seterbuka itu karena adanya lowongan yang masih mencantumkan persyaratan latar belakang program studi tertentu bagi pendaftarnya.
Lebih dahsyatnya lagi, peserta dari beberapa program ini dibayar. Informasi yang saya dapat dari seorang teman yang pernah mengikuti program Magang Merdeka, ia bisa mendapatkan 2,8 juta setiap bulan dengan durasi magang selama lima bulan. Bisa dibayangkan 14 juta mengucur ke kantong mahasiswa yang sehari-hari hanya makan orak-arik telur di Warmindo kesayangan. Kampus Merdeka 1-0 Ormawa.
Kurang lebih begitulah sekilas gambaran yang saya pahami tentang Kampus Merdeka. Walaupun dalam implementasinya tidak seindah yang dibayangkan, dengan macetnya konversi SKS untuk mata kuliah Magang dan Studi Independen yang tidak linier dengan jurusan. Tetapi, itu menjadi persoalan lain.
Di samping itu, urusan akademik juga menjadi pertimbangan bagi mahasiswa untuk tidak bergabung ke ormawa. Organisasi yang mengikat dengan berbagai kewajiban yang melekat di dalamnya menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa yang ingin lekas lulus dengan predikat cum laude.
Alam bawah sadar terpacu untuk mendapatkan semuanya secara instan di zaman yang serba cepat, termasuk dalam urusan akademik. Segala potensi kesulitan dan beban hidup sebisa mungkin dihindari dan langsung disisihkan ke sudut pikiran.
Pengalaman dan manfaat yang didapatkan dari Kampus Merdeka lebih nyata dan cepat dirasakan, sedangkan ormawa tak menawarkan manfaat sepraktis itu. Tak ayal, Kampus Merdeka menjadi ceruk baru yang langsung diserbu ribuan mahasiswa. Pada tahun kedua, tak kurang dari 29.952 mahasiswa tercatat menjadi peserta Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB). Jumlah yang cukup fantastis, bukan?
Lantas, dengan fakta yang demikian adanya, apakah ormawa masih relevan?
Wajah Muram Ormawa FT
Organisasi kemahasiswaan mengalami penurunan performa yang signifikan setelah pandemi Covid-19. Mahasiswa dirumahkan, ormawa sekarat. Senda gurau yang dulu ramai terdengar di PKM tak lagi terdengar gaungnya. Ormawa dikomandoi secara daring dari bilik masing-masing. Turut prihatin dengan kolapsnya dua Ormawa FT yang sampai hari ini masih belum bangkit, yakni UKMF Olahraga dan KPALH Carabiner.
Budaya daring masih dipertahankan pascapandemi karena terlanjur nyaman dengan kultur yang demikian adanya. Apalagi mahasiswa yang menjadi pengurus kebanyakan adalah produk kelas daring off-cam. Mereka mungkin belum atau hanya sesekali merasakan bagaimana berorganisasi secara luring. Pengurus ormawa dihadapkan dengan kegiatan-kegiatan luring setelah kondisi berangsur pulih. Tentu kondisi ini memusingkan bagi kebanyakan mahasiswa yang sudah beberapa tahun berhadapan dengan gawai yang dibiarkan mengoceh sendiri.
Keadaan boleh berubah dari luring, ke daring, dan kembali ke luring, tapi kultur ormawa tak banyak berubah. Lagu lama yang selalu diputar di ormawa adalah senioritas. Saya mendapatkan undangan untuk mengisi acara BEM untuk pembekalan panitia PKKMB di daerah lereng Merapi beberapa waktu lalu. Awalnya, acara berjalan menyenangkan dengan penampilan dari sejumlah kelompok.
Sekitar pukul 1 dini hari, panitia dikumpulkan untuk mengisi pos-pos yang nantinya akan dilewati peserta. Pos-pos ini diisi dengan materi “9 Nilai Fakultas Teknik” dan “Pengenalan Ormawa”. Kami (para pengisi acara) dibagi ke tiga pos berbeda dengan pembagian materi sesuai brief di pos masing-masing. Saya kebagian mengisi pos dua untuk memaparkan tiga nilai FT dan pengenalan ormawa. Dari kejauhan, terdengar bentakan menuntut jawab dari peserta pembekalan. Masuk ke pos dua, masih terjadi peristiwa semacam itu yang membuat saya akhirnya walk out karena tak ingin menjadi bagian dari aksi perpeloncoan itu.
Peserta yang datang jauh dari pusat kota dipelonco di tengah ara-ara amba lereng Merapi yang dinginnya na’udzubillah! Amat ironi melihat mahasiswa S1 PENDIDIKAN mendidik dengan cara yang demikian. Ormawa sedang lesu tapi kultur primitif seperti itu masih dipelihara. Peristiwa di atas tak luput dari peran alumni yang mengisi pos tiga, pos paling ganas katanya.
Lu senior, lu punya kuasa. Taik!
Kemuraman wajah Ormawa FT juga tercermin dari unggahan di sosial media mereka. Unggahan di laman Instagram, katakanlah, tak banyak menjawab kebutuhan informasi bagi mahasiswa. Wajah yang sangat instansial dengan deretan ucapan hari besar, mencerminkan miskinnya kreativitas penggiat ormawa; pragmatis dan minimalis.
Angin Segar bagi Ormawa
Belakangan muncul peraturan yang mewajibkan mahasiswa baru untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di kampus. Mahasiswa diwajibkan untuk mendapatkan kredit PEM (Penghargaan Ekstrakulikuler Mahasiswa) dengan nominal tertentu. Menurut pernyataan dari Edy Supriyadi selaku Wakil Dekan Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni, nantinya kredit PEM akan menjadi syarat kelulusan layaknya beban skor ProTEFL.
Ada empat jenis kegiatan yang bisa diikuti mahasiswa untuk mendulang kredit PEM diantaranya kompetisi dan wirausaha, organisasi kepemimpinan, minat dan bakat, pengabdian kepada masyarakat, serta internasionalisasi/konferensi. Ormawa sedikit mendapatkan angin segar dengan diterbitkannya peraturan ini.
Sebenarnya, ormawa tak sesuram yang disangka. Tak semua ormawa masih memelihara kentalnya senioritas semacam itu. Manfaat yang bisa didapatkan di Kampus Merdeka pun bisa didapatkan di ormawa walaupun tak seintens benefit di sana. Mahasiswa tetap dapat mengembangkan dirinya dengan berbagai pilihan ormawa di tingkat fakultas dan universitas. Pengalaman, relasi, uang, dan hal-hal lain yang bisa didapatkan di Kampus Merdeka bisa saja diperoleh melalui ormawa. Tapi dengan catatan: harus melalui proses yang agak berliku.
Si paling senior sudah saatnya Tut Wuri Handayani, dari belakang memberi dorongan. Memberikan dukungan kepada adik-adik anggota baru dengan cara lain yang lebih beradab dan elegan. Saya mafhum dengan kepedulian senior terhadap organisasi yang dahulu dihidupi dan menghidupinya. Tapi sekarang sudah bukan zaman kalian lagi, bung! Zaman berkembang, kebutuhan mahasiswa pun ikut berubah.
Nilai lama tentang kegigihan dan perjuangan masih relevan hingga hari ini. Menjadi nilai tambah dan bisa menjadi bekal di kemudian hari dalam menghadapi hidup yang serba tidak pasti. Ormawa harus berbenah dalam menjalankan roda organisasinya. Adaptabilitas menjawab kebutuhan mahasiswa perlu ditumbuhkan untuk menggaet potensi-potensi baru yang dapat memutar kembali roda keorganisasian.
Dari sepi menjadi dahsyat. Dari lesu menjadi giat.
Penulis: Fais Halim
Penyunting: Elshinta Adelia