Sumber Gambar: Pexels
Apakah hal-hal yang kamu tekuni saat ini berasal dari keinginan hatimu yang terdalam atau hanya karena egomu yang takut akan ketertinggalan? Benarkah kamu sedang melakukan apa yang kamu inginkan? Bukan sedang menunggu validasi dan sorakan kebanggaan dari orang-orang?
Fear of Missing Out, juga biasa disebut FOMO, kini tanpa sadar telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern. Tak lain tak bukan ialah perasaan takut tertinggal akan hal-hal yang sedang tren. Umumnya, media sosial menjadi faktor utama munculnya perasaan tersebut. Sebab, dari medsos lah kita mengetahui berbagai hal termasuk hal yang sebenarnya tidak perlu kita ketahui.
Bermula dari situ, pengguna medsos akan terpapar dengan kisah-kisah sukses nan inspiratif, perjalanan mewah, hingga momen bahagia orang lain secara terus-menerus. Setelahnya, individu cenderung merasa tertekan untuk menyamai atau bahkan melampaui pencapaian orang lain.
Selain itu, media sosial juga memberikan ilusi kontrol atas informasi yang kita konsumsi dan tampilan diri yang kita tunjukkan kepada dunia. Beberapa orang berusaha keras untuk membangun panggungnya sendiri demi dibanjiri validasi.
Di tengah upaya keras membangun citra yang sempurna di dunia maya tersebut, banyak individu terjebak dalam perangkap ketidakpuasan diri yang tidak pernah terbayarkan. Meskipun mereka berupaya untuk mengontrol tampilan diri yang mereka bagikan, seringkali rasa tidak puas terus menghantui, mengganggu kemampuan mereka untuk merasakan kebahagiaan yang sejati. Kultur media sosial telah menciptakan lingkungan di mana nilai sejati sering terabaikan demi pencapaian sekejap dalam bentuk suka dan komentar yang datang dan pergi.
Sangat disayangkan, generasi saat ini telah diperkenalkan kepada perangkat telepon seluler sebagai sarana hiburan yang tak terpisahkan sejak usia dini. Seiring berjalannya waktu, menjadikan mereka tumbuh menjadi individu yang cenderung mengembangkan ketergantungan terhadap media sosial yang dapat dijangkau dengan mudah melalui perangkat tersebut.
You Only Live Once
Kebanyakan orang FOMO memiliki prinsip hidup YOLO alias You Only Live Once. Maka dari itu, mereka yang FOMO tidak memikirkan dampak jangka panjang dari apa yang telah dilakukan. YOLO seakan mempertegas bahwa di kehidupan yang hanya sekali dijalani ini, segala hal yang sedang ngetren perlu bahkan wajib diikuti.
Misalnya saja, ikut-ikutan membeli tiket konser hanya karena yang bernyanyi adalah musisi top markotop, padahal cuma tahu satu dua baris lirik lagunya saja. Tapi ya, untuk kasus FOMO satu ini bersyarat: harus punya banyak uang.
Contoh lainnya, mahasiswa yang FOMO terhadap agenda mengulang matkul, padahal nilainya juga nggak kecil-kecil amat. Bagi saya, mending waktunya digunakan untuk mengeksplorasi hal baru daripada mengulang matkul yang lalu. Memangnya tidak bosan bertemu dengan pengajar yang sama lagi?
Atau, ada yang sibuk ikut bootcamp sana sini demi mengejar sertifikat? Apalah arti sertifikat multipel tapi ilmunya tak tembus. Pun jika ingin mengejar sertifikat, baiknya memilih yang urgensinya paling besar. Tidak perlu muluk-muluk. Memaksa diri untuk eksis di segala macam kegiatan yang dianggap penting demi mengejar puja-puji eksklusif lama-kelamaan juga bikin capek sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa FOMO juga memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan mental para penganutnya. Mereka yang FOMO cenderung selalu mengalami cemas berkepanjangan lantaran merasa dirinya kurang di segala aspek. Mereka selalu menginginkan yang lebih. Standar orang lain dijadikan patokan. Duh, begitu naifnya manusia; selalu merasa kurang atas apa yang dimilikinya.
Ketika terdapat dorongan untuk mengamati berita terbaru di media sosial, maka semakin meningkat pula kecenderungan untuk berhubungan dengan gadget. Semakin sering intensitas berinteraksi dengan media sosial, maka akan timbul potensi frustasi.
Jika sudah frustasi, aktivitas sehari-hari yang sebelumnya mungkin terasa bermakna akan mulai terasa monoton dan membosankan. Siklus ini kemudian akan kembali terulang, di mana individu cenderung merasa terdorong untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan berselancar di media sosial, mengabaikan peluang untuk berinteraksi secara lebih mendalam dengan “media sosial” yang riil (bersosialisasi di dunia nyata).
Secuil Dampak Positif FOMO
Tapi, sebenarnya FOMO tidak melulu berdampak negatif. Seiring keinginan mengikuti pencapaian orang lain, produktivitas diri juga akan meningkat. Nah, ketika produktivitas meningkat, nilai diri juga akan mengikuti. Dari situlah dapat lahir personal branding yang bagus.
Kalau sudah begitu, tidak perlu lagi membangun panggung untuk mengais validasi. Hanya diri kita sendiri yang benar-benar mengerti sejauh mana perjalanan yang telah dilalui dengan segala liku dan tantangannya. Saat akhirnya mencapai puncak kesuksesan atau pencapaian, itulah saat orang lain akan melihat hasil dari kerja keras dan tekad yang telah kita tanamkan.
Asal yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, FOMO nggak dosa, kok.
Kalaupun tidak bisa ambil dampak positif FOMO, ya, ambil saja hikmahnya. Besok-besok nggak usah ngikutin orang lain lagi. Patokan yang ideal adalah diri sendiri di masa lalu. Maksudnya, usahakan saja buat menjadi lebih baik dari hari kemarin. Bukan lebih baik dari orang lain. Dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi dan perbaikan kontinu, kita akan mampu mengembangkan potensi sejati diri tanpa terjebak dalam perangkap perbandingan yang tidak sehat.
Namun, kembali lagi ke pertanyaan, apakah benar yang sedang kamu tekuni adalah buah dari keinginan hati?
Tulisan ini dibuat untuk menenangkan hati kaum yang memegang prinsip JOMO alias Joy of Missing Out. Santai aja, kita hanya perlu rehat sejenak dan mengingat kata Ali bin Abi Thalib, “Apapun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalannya untuk menemukanmu.”
Kalau kamu, pilih berlari mengikuti tren atau berjalan di atas kapasitas speedometer-mu sendiri?
Penulis: Elshinta Ryzty
Penyunting: Lindu A.